0
Oleh: Riyon Fidwar

Menyambut bulan suci Ramadhan memberi kesenangan sendiri pada tiap diri individu. Bulan Ramadhan atau disebut juga sebagai bulan puasa merupakan sebuah kegiatan yang wajib dilaksanakan oleh umat Islam di dunia. Sebab bulan Ramadhan adalah salah satu rukun Islam. Sebagai seorang yang memeluk agama Islam, maka diwajibkan olehnya berpuasa selama sebulan penuh. Pada bulan ini, Allah melipatgandakan rahmat pada hambanya yang selalu taat menjalani. Berpuasa berarti menahan rasa haus dan lapar. Namun dalam berpuasa bukan hanya lapar dan haus saja yang ditahan, melainkan semua hal-hal yang bersifat membatalkan puasa itu sendiri. Misalnya seperti menceritakan aib orang lain di tengah orang ramai, berdusta, mencuri, dan lain sebagainya yang sifatnya membatalkan puasa. Sebenarnya berpuasa melatih diri dari sifat-sifat yang dilarang dalam Islam. Selain itu, juga mengajarkan kita bersikap ikhlas dan sabar. Hikmah dari puasa sendiri memang sangat banyak. Selain membersihkan diri dari segala “penyakit” juga bisa mempererat tali silaturahim kita sesama muslim.

Dalam menghadapi bulan suci Ramadhan ini, ada kebiasaan-kebiasaan bahkan telah menjadi tradisi kita selaku pemeluk Islam, yaitu menentukan hari pertama puasa. Ketika menentukan hari pertama puasa, para petinggi-petinggi agama mulai “panik” dan bingung menentukan jadwal pertama puasa tersebut. Misalkan saja puasa tahun ini, banyak di antara kita yang masih bingung ketika ingin menunaikan puasa pertama. Ada yang memulai puasa hari Selasa dan ada juga yang memulai hari Rabu. Pilihan-pilihan seperti ini sangat membingungkan, ditambah lagi pengumuman hari pertama puasa itu dilakukan sehari sebelum hari “H”. Penetapan hari pertama puasa seharusnya dilakukan tiga atau dua hari sebelum hari yang sudah ditentukan itu. Dengan begitu puasa yang ditunaikan itu tidak dipenuhi dengan kebimbangan-kebimbangan.

Bagi masyarakat yang menunaikan puasa, ada yang mengikuti instruksi pemerintah (dimana penetapan puasa itu jatuh pada hari Rabu) ada juga yang tidak (penetapan puasa hari Selasa). Dalam hal ini sebenarnya tidak ada yang perlu disalahkan, namun sebaiknya ini perlu diperhatikan lebih baik lagi. Hendaknya tidak ada lagi jumlah puasa itu yang naik turun (ada yang jumlahnya 29, ada juga yang jumlah puasanya 30). Pada tahun 2012 juga begitu, penetapan hari pertamanya juga memiliki pandangan yang berbeda pula. Tak ubahnya dengan puasa tahun ini. Nampaknya penetapan hari pertama puasa yang memiliki “cabang” ini telah menjadi taradisi kita selaku yang menunaikan ibadah puasa ini. Yaitu tradisi “bimbang” dalam menentukan hari pertama puasa.

Sebenarnya ini adalah masalah pilihan, yang jelas puasa di bulan Ramadhan kita tunaikan dengan penuh keikhlasan dan kesabaran. Begitu juga halnya ketika kita dituntut untuk memiliki calon kandidat yang maju pada pesta demokrasi atau pemilu 2014. Kita harus memiliki sesuai dengan hati nurani, juga dengan keikhlasan tanpa ada ragu serta tanpa ada paksaan. Seperti yang telah kita lihat saat sekarang ini, baik di jalan raya maupun di tempat-tempat umum lainnya, partai-partai politik mulai memperkenalkan para calon kandidatnya kepada masyarakat. Bermacam-macam ragam warna spanduk dan pamflet yang terpasang. Begitu juga dengan slogan-slogan yang digunakan, mengatakan bahwa “dia”-lah yang paling bagus dan benar dan kita harus memilihnya. Begitu semua spanduk atau pamflet para kandidat politik saat ini.

Pada hal pemilihan umum atau pesta rakyat yang dilakukan oleh penduduk Indonesia pada umumnya itu masih jauh, namun para kandidat telah lebih dahulu memperkenalkan nama dan parpol yang mendukung mereka serta tak lupa pula visi dan misi yang mereka “perjuangkan”. Para kandidat parpol nampaknya sangat senang dan bangga menempelkan “wajah” mereka di spanduk-spanduk yang berukuran besar maupun kecil. Bahkan ada yang membuat fotonya sebesar baliho. Kesenangan mereka itu terlihat dari cara mereka tersenyum ketika difoto dan akhirnya dicetak untuk kepentingan iklan mereka. Hal tersebut pastilah memakan banyak uang. Masalah uang siapa yang mereka gunakan untuk pengiklanan diri mereka itu, siapa yang tahu.

Datangnya bulan Ramadhan atau bulan puasa biasanya para kandidat yang ikut dalam pesta rakyat itu memanfaatkan situasi ini. Misalnya dalam penyebaran spanduk dan baliho yang bernuansa Ramadhan, pembagian imsakiah yang bergambar bakal calon yang dipiih nantinya saat pesta rakyat itu tiba, dan lain sebaginya. Hal ini ketika bulan Ramadhan sebenarnya sudah lazim dan itu bukan lagi rahasia umum. Dengan penyebaran gambar dan nama para calon-calon serta visi dan misi ini bertujuan untuk mengenalkan kepada masyarakat bahwa merekalah yang pantas dipilih.

Penyambutan Ramadhan kali ini begitu meriah, ditambah lagi penyambutan pesta rakyat tahun depan. Para kandidat tentu saja tak mau kalah dengan kandidat yang lain. Persaingan pun terjadi di mana-mana, seperti persaingan pengiklanan antar calon, dan sebagainya. Bukan hanya di media massa (televisi) para kandidat mempromosikan dirinya, tetapi juga di media sosial (internet) pun para kandidat tak luput mempromosikan diri mereka. Inilah saatnya bagi para kandidat membangun sebuah kepercayaan kepada masyarakat. Ada juga kandidat yang mengadakan buka bersama dengan para orang-orang miskin dan anak yatim, ini nampaknya telah menjadi agenda setiap kandidat politik. Dengan begini para elit politikpun menunjukkan rasa kepeduliannya terhadap masyarakat, terutama masyarakat miskin dan anak yatim.

Kegiatan ini dilakukan bukan hanya seorang atau dua orang kandidat politik saja, melainkan semua kandidat yang mendaftarkan dirinya untuk ikut dalam pesta rakyat tahun depan. Kemeriahan pemilu tahun depan tentu saja dimulai dari sekarang, apalagi momennya sekarang sangat tepat buat “kampanye”. Di simpang-simpang jalan kota misalnya, sederatan spanduk tergantung di satu tempat, kadang-kadang ada spanduk kandidat yang satu terhimpit oleh spanduk kandidat yang lain. Inilah persaingan politik, jatuhkan lawan dengan kelemahan-kelemahan mereka, naikkan diri sendiri dengan kelebihan yang dimiliki.

Inilah kebiasaan yang telah menjadi taradisi bagi para politikus-politikus. Jika ini terus menerus terjadi, bagaimana nasib perpolitikan kita ke depannya. Apakah harus dipertegas dengan hukum rimba? Memakan daging kawan atau lawannya untuk tetap hidup. Dengan kata lain, yang paling kuatlah yang menjadi pemenang.

*Penulis adalah mahasiswa Sastra Indonesia Unand dan pegiat TJ.
Editor: Yori Firmanda


Post a Comment

 
Top