Oleh
Riyon Fidwar
Sifat
manusia memang bersifat relatif. Satu sisi baik dan satu sisi yang lain adalah
buruk. Sifat manusia yang dua ini bagaikan sisi mata uang tak bisa dipisahkan.
Itulah sifat manusia yang memang tak bisa dipisahkan dari kehidupan. Secara
umum sifat manusia yang dua ini (baik-buruk) tidak dapat dinilai dengan
mengatakan “kamu orang baik” atau “kamu orang jahat” juga “dia orang baik”
serta “dia orang jahat”. Memang kata-kata seperti ini memang mudah, bahkan
sering kita ucapkan kepada orang yang kita senangi atau orang yang kita benci
sekalipun. Sungguh anehlah rasanya bila kita memfonis seseorang dengan title
“baik” atau “buruk”. Sebab, ‘baik’ dan ‘jahat’ itu sifatnya relatif. Namun,
secara sadar atau tidak sadar, itulah kebiasaan kita manusia terlalu cepat menilai
orang meskipun kita belum mengenalnya dengan baik.
Kalau
dipikir-pikir memanglah aneh bahkan boleh dikatakan ‘sadis’. Lebih sadis dari
Hitler. Pada zaman Hitler, banyak orang-orang yang mati dibunuh dengan tidak
manusiawi. Nah, sahabat mantagi, apakah penilaian (baik-buruk) kepada seseorang
juga disebut tidak manusiawi? Bisa jadi. Sebab, apabila seseorang telah difonis
‘baik’ atau ‘buruk’ maka dia telah difonis itulah yang akan membinasakan
dirinya sendiri. Beban moral akan mengendap dalam dirinya, selamanya. Sampai
dia mati. Bahkan setelah mati pun.
Betapapun
tidak, ketika kita mengatakan kepada seseorang dengan mengatakan “kamu orang
baik”, maka semenjak itulah beban moral harus ditanggungnya. Mulai dari detik
itulah dia memperbaiki sifatnya. Dari jahat menjadi baik, meskipun itu terpaksa
dilakukannya. Kemudian puja-puji pun tumbuh subur di kepalanya dan itu membuat
telinganya naik tinggi dan tinggi melebihi ujung rambutnya. Tetapi, apabila dia
melakukan sedikit saja kesalahan, baik itu disengaja atau tidak disengaja, maka
cerca dan caci-maki ganjarannya. Bahkan tak jarang pula untuk dihinakan.
Dengan
begitu, dia pun diasingkan dari pergaulan. Orang yang telah tersisih dari
pergaulan pastilah bertambah-tambah perangainya. Rasa dendam pun mulai ditanam
dalam diri. Dia mulai dugunjing, dicela perbuatannya yang sedikit itu. Padahal,
kalau dilihat asal muasalnya kita juga yang salah. Sebab dahulu kita sering
menyanjung-nyanjung perangainya. Beban moral dan beban mental yang sangat berat
pun menghantam batinnya. Bisa-bisa orang seperti ini depresi dan mengakhiri
hidupnya. Sebab, menurutnya dia tidak ada gunanya lagi hidup di tengah-tengah
masyarakat. Huh, sungguh terlalu!
Sagabat
mantagi yang budiman, itu sebabnya mengapa saya katakana di muka tadi, bahwa
memfonis seseorang dengan mengatakan “dia orang baik” lebih kejam dari pada
seorang Hitler. Kalau Hitler langsung membunuh, habis urusan. Kalau yang ini,
disiksa dulu dengan mengangkatnya setinggi mungkin dan kemudian
menghempaskannya sekuat mungkin. Setelah dia mati, di cerca pula. Ah, sungguh
kejam perbuatan ini.
Menilai
orang bukanlah hal yang tidak baik. Tetapi ada cara lain. Bukan dengan cara
memfonis dengan mengatakan “kamu baik” atau “kamu jahat”. Banyak sebenarnya
cara menilai orang, diantaranya dari sifat, dari tutur bahasanya, dari
pergaulannya, dan lain sebagainya. Nah, sahabat mantagi, janganlah terlalu
cepat menilai orang sebelum mengetahui lebih dahulu silsilah hidupnya yang
sebenarnya. Sebab, di dunia ini tak ada yang tetap, semua relatif. Begitu juga
dengan sifat manusia
*Tulisan ini pernah dimuat di koran Singgalang Minggu (Mantagi)
Post a Comment