0


Oleh Riyon Fidwar*

Pengarang-pengarang peranakan Cina (Tionghoa) saat ini mulai menonjolkan dirinya (khususnya sastra) ke permukaan dunia kesastraan Indonesia. Sebenarnya pengarang-pengarang peranakan Cina sudah ada di Indonesia sebelumnya. Bahkan jauh sebelum ada Balai Pustaka. Namun keberadaan karya-karya mereka sangat jauh sekali, bakhan tidak tersentuh oleh kritisi sastra pada waktu itu. Hanya Pramoedya Ananta Toer yang telah menyinggung sedikit karya-karya yang lahir dari tangan peranakan etnis Cina ini. Secara lebih dalam digali oleh peneliti asal Prancis, yaitu Claudine Salmon. Mutu karya-karya dari tangan peranakan Cina pun tak kalah hebatnya dari mutu karya-karya pengarang-pengarang bumiputera (pribumi).

Kebanyakan dari pengarang peranakan ini mengangkat tema-tema karyanya tak terlepas dari ketertindasan yang mereka alami, selain itu juga sejarah masyarakatnya. Tak jauh beda dengan tema-tema pengarang bumiputera lainnya. Namun yang memikat dari karya peranakan ini adalah saat mereka mengangkat tema tentang ketertindasan. Seperti halnya Hanna Fransisca, salah seorang penyair peranakan Cina. Sebelum menghadirkan puisi-puisinya ke permukaan, Hanna telah menerbitkan karya-karyanya di media sosial maya. Kini dia berhasil mencatatkan namanya di dunia kepenyairan Indonesia saat ini.

Salah satu buku kumpulan puisinya adalah Konde Penyair Han. Dalam buku kumpulan puisi ini, Hanna Fransisca memberi sedikit warna bagi perpuisian tanah air. Dengan bahasa yang sederhana dan sarat makna itu dia mencoba mempertanyakan kembali ke-Indonesia-annya (etnis Cina di Indonesia umumnya). Namun di sini saya hanya mengambil satu dari sekian puluh puisi Hanna Fransisca yang terhimpun dalam buku tersebut, yaitu Konde.

Konde adalah sanggul. Konde atau sanggul ini biasa digunakan oleh perempuan, sedangkan lelaki tidak pernah menggunakannya. Pada puisi yang berjudul Konde ini, Hanna Fransisca mencoba mempersiapkan dirinya untuk sebuah ritual suci. Layaknya ummat islam pergi ke rumah ibadah. Hanna secara bersungguh-sungguh mengikuti ritual itu selayaknya yang diajarkan para leluhurnya ketika melakukan ritual keagamaan. //Penyair Han/ menyanggul sajak/ dengan bunga Padma:// Jika dilihat dari paragraf pertama ini, tentu kita akan bertanya, siapa penyair yang dimasudkan Hanna Fransisca? Dan siapa pula Han? Apakah Hanna Fransisca sendiri atau ada “Han” yang lain yang dimaksudkan oleh Hanna Fransisca sendiri?

//Penyair Han// menurut saya ini adalah sebuah simbol bahwa Hanna Fransisca tidak sendiri, melainkan dia (Hanna) memiliki kelompok, etnis dan kebudayaan. Seperti kata “Han” di sini adalah kebudayaan, bukan Hanna Fransisca. Lalu kata ”penyair” adalah orang yang melakukan sebuah kegiatan dalam dunia kepenyairan, baik laki-laki maupun perempuan. Salah satu kebudayaan Cina yang sakral adalah di bidang sastra. Kebudayaan Cina sangat menghargai sastra dan itu sudah menjadi tradisi bagi mereka untuk “mengagunggkan” karya sastra, layaknya seperti silat, dll. Istilah “Han” sebenarnya sangat ambigu. Namun di sini saya lihat hanya digunakan Hanna untuk mengacu kepada kebudayaan dan unsur-unsurnya, seperti bahasa, aksara, seni dan lain-lain.

Maka kalimat pembuka puisi yang berjudul Konde itu sangat tepat sekali, yaitu //Penyair Han//. Apalagi ditambah dengan kekuatan yang sacral menurut ajaran leluhur etnis Cina, yaitu dengan menggunakan bunga Padma (teratai). Seperti kalimat selanjutnya dalam puisi ini menyanggul sajak/ dengan bunga Padma:// kesakralan itu jelas sekali terasa, bahwa etnis Cina sangat menghargai kesusastraan. Oleh karena itu, puisi ini terasa ada unsur “magic” di dalamnya. Seolah-olah dengan bahasa Hanna yang sangat sederhana dan sarat makna itu mencoba mengajak kita memasuki dunia alam bawah sadar, seakan-akan kita berada di dunia yang lain. Puisi ini jika diibaratkan kepada seseorang yang sedang sembahyang dengan khusuk saat menghadap Tuhannya, maka puisi ini telah berhasil menggapai kekhusukan itu.

Pada paragraf kedua Hanna Fransisca mulai bermain dengan kata-kata. Si aku (selaku tokoh dalam puisi ini) mencoba mencari-cari siapa dirinya sesungguhnya. Ke mana dia (aku) akan pergi menemui Tuhannya. //”Tuan, sekepal jantungku berdegup mencarimu,/ menggunting urat hasrat dari nafsumu,/ dan Tuhanku mengajari menyimak,/ mengejar lekuk yang kauasinkan dari hatimu.”/ Amin. Pencarian jati diri ini tentu saja dialami oleh setiap manusia. Jika dilihat dari segi politisnya (keberadaan etnis Cina di Indonesia) tentu saja ada kaitannya. Si aku merasa terintimidasi di tanah kelahirannya sendiri. Untuk itulah dia (aku) mencari tempat perlindungan, apakah kepada Tuhan atau kepada seseorang yang bisa menyelamatkan hidupnya.

Kalimat terakhir dari puisi ini sangat “asing” rasanya bagi saya, yaitu //mengejar lekuk yang kauasinkan dari hatimu.”/ Kata “kauasinkan” ini memberikan ke-ambiguisitas-nya dalam makna puisi yang berjudul Konde ini. Mengasinkan di sini bisa berupa makanan khas Cina yang selalu direndam dalam air garam beberapa hari sebelum disantap. Padanan kata ini memberikan warna baru dalam puisi ini, sebab Hanna Fransisca meramu puisi ini dengan beberapa unsur, pertama unsur kebudayaan, keagamaan, politis, dan unsur kuliner.
Kejelian ini yang sangat saya kagumi dalam Konde Hanna Fransisca. Dia “menyanggul” sajak ini dengan kematangan. Sangat jarang sekali penyair mengolah puisi seperti ini, menggabungan beberapa unsur ke dalam sebuah wadah yang sempit. Dan sangat mendukung sekali ketika puisi Konde ini di letakkan pada pembukaan (puisi pertama dari sekian puisi yang terkumpul dalam Konde Penyair Han). Dalam puisi “Konde”, Hanna mencoba mengkritik keterindasan yang dialami etnis Cina dengan bahasa yang hampir mirip tidak mengkritik. Bagi saya sendiri, itulah kelebihan Hanna Fransisca saat “menyanggul” sajaknya.

Padang, 2014
*Riyon Fidwar tinggal di Padang dan bekerja di ruang pendokumentasian TJ.

**Telah terbit di koran Harian Rakyat Sumbar, 29 November 2014

Post a Comment

 
Top