0
Judul Buku: Kupu-Kupu Fort de Kock : Tarikh Luka Pendekar Selendang Putih
Penulis: Maya Lestari Gf
Penerbit: Koekoesan
Cetakan: Pertama 2013
Tebal: 405 Halaman
Harga: Rp. 65. 000, 00,-
Peresensiator: Riyon Fidwar*


Silat sudah dikenal luas. Mulai dari pedesaan hingga kota. Jika mendengar kata ‘silat’ maka yang akan terbayang bagi kita sebuah seni bela diri dengan menggunakan gerakan pendek yang bisa melumpuhkan lawan. Bahkan juga mematikan. Keterampilan ini sudah berkembang luas di Indonesia. Yang dikenal dengan sebutan pencak silat. Tradisi silat awalnya diturunkan secara lisan, dari mulut ke mulut, diajarkan dari guru ke murid. Dari kelisanan ini sejarah silat susah ditentukan dengan pasti kapan awal mulanya muncul di tanah air.

Di Minangkabau, silat lebih dikenal dengan sebutan silek. Di daerah ini silat (silek) sudah menjadi sebuah tradisi. Sehingga silat terus berkembang hingga ke seluruh alam matrilinear ini. Itu bisa dibuktikan dengan nama-nama silat yang ada (terutama dalam novel ini), seperti silat Lintau, silat Komango, silat Harimau, dan silat 21 hari. Dalam salah satu buku yang saya baca mengenai tentang sejarah silat, menjelaskan bahwa, silat (silek) di Minangkabau diciptakan oleh seorang datuk yang bernama Datuk Suri Diraja dari Pariangan, Tanah Datar abad XI. Kemudian silat tersebut dibawa dan dikembangkan para perantau Minang ke berbagai negara di Asia Tenggara. Selain memiliki sejarah, silat juga memiliki fungsi dan adatnya.

Kini tradisi lisan silat (silek) telah diubah menjadi tradisi tertulis. Misalkan syarat-syarat silat di Minangkabau. Bahkan gerakan-gerakannya pun sudah ada yang divisualisasikan. Dengan begitu, pengajaran ilmu silat semakin mudah. Dan, silat juga telah ditulis ke dalam dunia fiksi. Ini disebabkan oleh kesadaran manusia yang sadar akan pentingnya sebuah seni tradisi. Perubahan dari lisan menjadi teks sesuatu yang alami. Sudah sering terjadi. Yang menjadi ketakutan sekarang ini adalah teks-teks silat yang telah dirubah itu hanya menjadikan sebuah bahan bacaan yang monoton. Sehingga mengurangi minat untuk mempelajarinya (membaca) lebih mendalam.

Dengan adanya kesadaran manusia itu, dihidupkanlah kembali teks-teks tersebut ke dalam sebuah dunia baru. Yaitu dunia fiksi. Hal-hal tak terduga seperti inilah sebenarnya yang perlu diperhatikan dan dipertahankan. Kejutan-kejutan kecil namun memberi percikan yang besar. Seperti bunga api di malam tahun baru. Inilah yang disebut “reinkarnasi”. Salah satu cerita fiksi yang menceritakan tentang silat adalah Kupu-Kupu Fort de Kock : Tarikh Luka Pendekar Selendang Putih ditulis oleh Maya Lestari Gf.

Fort de Kock adalah salah satu benteng peninggalan Belanda yang didirikan di Bukit Jirek, Bukittinggi, Sumatera Barat (1825) oleh Kapten Bouer pada masa Baron Hendrik Merkus de Kock menjadi komandan Der Troepen dan wakil Gubernur jenderal Hindia Belanda. Karena itulah benteng ini dikenal dengan nama Benteng Fort de Kock. Benteng ini dibangun sebagai lambang bahwa Belanda telah berhasil menduduki Sumatera Barat. Benteng ini juga pernah digunakan oleh serdadu Belanda sebagai kubu pertahanan dari serangan rakyat Minangkabau, yaitu Perang Paderi (1821-1837).

Novel ini secara tidak saya sadari alur penceritaannya hampir sama dengan alur ceritanya Tonke Drag (Surat kepada Raja). Mereka sama-sama menceritakan seorang murid yang sedang menjalankan tugasnya demi kebaikan. Dalam cerita Tonke Drag, tokoh utamanya diutus menyampaikan surat (rahasia) kepada seorang raja. Sedangkan dalam novel silat Maya Lestari Gf. Tokoh utamanya juga diutus untuk mencari keberadaan seseorang. Kesamaan yang saya maksud adalah sebuah tugas yang diemban tokoh utamanya. Kemudian pertarungan demi pertarungan yang dihadapi dan akhirnya (tokoh utama) menemukan jati dirinya yang sebenarnya. Yang membedakannya tentu saja proses kreatif. Meskipun dalam cerita, Tonke Drag mengambil setting-nya berupa kerajaan. Namun secara tidak saya sadari susunan alur dan plotnya hampir sama.

Apakah ini sebuah kebetulan? Tentu saja. Setiap karya fiksi pasti mengalami hal yang demikian. Dari kesamaan alur tersebut, ada perbedaan mendasar. Ada satu hal yang memberi saya tertarik dengan novel Maya Lestari Gf (Kupu-Kupu Fort de Kock) ini, yaitu kolaborasi antara cerita silat dan cinta. Ini adalah sebuah kejutan yang luar biasa dari Maya Lestari Gf. Kebiasaan-kebiasaan seperti ini biasanya sering dilupakan. Bagi Maya Lestari Gf sendiri, perpaduan ini menjadi salah satu “titik tumpu” pembaca untuk lebih menikmati alur demi alur ceritanya. Sehingga dengan begitu, penikmat tidak cepat dirundung rasa jenuh.

Seperti pada awal cerita novel ini (bab 1) yang begitu abstrak. Begitu juga bab selanjutnya. Namun pada saat bertemu di bab ke-8, Maya Lestari Gf memberi ruang untuk pembaca membuka imajinasi baru. Dari suasana ngeri, mencekam, mulai dari kejadian pembunuhan di jembatan Siti Nurbaya, penampakan sosok hitam oleh si Man, sampai pada perjanjian yang berdarah. Maya Lestari Gf meleburkan suasana-suasana tersebut, dalam sekejap, menjadi sebuah penyegaran. Inilah yang saya maksud kejutan itu. Ditambah lagi ending cerita ini, sepertinya itu mustahil terjadi. Tapi Maya Lestari Gf berhasil menarik atau mempermainkan, lebih tepatnya, imajinasi pembaca. Ini sebuah imajinasi yang luar biasa. Tanpa kematangan yang memadai, mungkin Maya Lestari Gf sudah terlena dengan cerita “silatnya”. Jika itu terjadi, maka novel ini akan kaku. Namun, Maya ternyata sudah mengantisipasi kekakuan itu.  Bahkan sejak dari awal (mulai dari bab ke-8).

Dengan kreatifitaslah novel Kupu-Kupu Fort de Kock ini membedakannya dengan novel-novel sebelumnya. Sekali lagi saya katakana bahwa salah satu yang membuat novel ini hidup adalah pembauran antara cerita silat dan cinta. Meskipun pasal utamanya silat.


*Riyon  Fidwar adalah kreator TJ

Post a Comment

 
Top