0


PUISI RIYON FIDWAR
Menggumam
:buat Maira

Apa yang akan aku jadikan puisi
bila cerita belum sebait kau

Kita lepas saja sajak-sajak kini
dari pada esok akan menjadi hutang

Alamak, jangan cengeng,
besok kita cari jalan untuk melunasi

Tuhan tidak pernah berdusta
apalagi mencuri
nasib yang sudah diberikannya padamu

Apa yang akan aku jadikan puisi
bila cerita belum sebait kau

Apakah aku harus berpura-pura
mencintaimu untuk melupakan semuanya?

Kampungdalam, 07022014

PUISI RIYON FIDWAR
Puisi Gelap Puisi Lelap

Puisi gelap puisi lelap
dari manakah racun yang
mengendap dalam lambungku,
yang meremas paru-paruku,
yang mengaburkan pandangku?

Darah mengutuk dalam nadiku,
bulu-buluku berdiri jika setiap saat
mengenang nasib yang miskin dan pelit.

Puisi gelap
tanpa tanda-tanda, meninju hulu hati,
merapuhkan tulang.

Tak ada yang bisa dijadikan obat di sini,
sebab bulu perindu belum patah di mataku,
belum jatuh di hatimu.

Mari bercerita tentang kecewa
yang selalu menimpa hari-hari kita. Ya.
Rayu aku sedikit lagi, biar kau tahu
bagaimana sakitnya sebuah jarum terbenam di perutmu.

Di sini rasanya tak ada yang perlu aku ceritakan lagi
badanku sudah terlalu kurus untukmu.

Puisi lelap
mengenang sakit yang sudah membeku dalam mimpi
mendustai kata hati, menyakiti diri sendiri.

Biarkan tuhan yang memutuskan
tali hidup dalam diriku.

Puisi gelap puisi lelap.
Darah mengutuk dalam nadiku,
bulu-buluku berdiri jika setiap saat
mengenang nasib yang miskin dan pelit.

Kampungdalam, 12022014

PUISI RIYON FIDWAR
Bingung Malam

Kau tahu sayang,
yang membuat aku jenuh itu adalah nyamuk,
binatang ini membunuh inspirasiku.
Menghisap energi yang sudah aku tabung selama beberapa minggu ini.
Bukankah aku sudah pernah berjanji padamu
bahwa beberapa minggu ke depan aku akan gemukan
seperti yang kau harapkan

Namun terkadang permintaanmu itu
harus pupus di tengah malam. Sebab aku susah tidur,
pikiranku selalu melayang pada hutang,
pada nabi dan kepadamu
Itu sebabnya pertumbuhan daging dalam diriku selalu menyusut

Kau tahu sayang,
aku sudah tak sabar menjadi Rambo
berotot kekar bertulang besi atau
menjadi Mike Tyson berleher beton.
Tapi malam-malamku diganggu oleh para bedebah itu
:nyamuk dan hutang.
Bagaimana caraku membunuh keduanya?

Aku tahu malam ini kau sudah tertidur
dan tak bisa membaca bait-bait ini.
Bila sudah siang, sempatkanlah agak sewaktu untuk membacanya.
Inilah rahasia yang kusimpan selama ini

Nyamuk-nyamuk itu selalu saja mengiung-ngiung
di telinga. Dan hutang membeku dalam kepala
pecah berhamburan ketika terlelap.
Itu yang menyebabkan aku terbangun tengah malam
dan tak bisa tidur lagi. Aku semakin kurus
digigit nyamuk dan hutang kepada nabi
juga kepadamu.

Aku tak tahu dari pukul berapa aku menulisi bait-bait ini.
Ya, tanpa aku sadari jam di dinding sudah menunjukkan waktu normal
:00.39 WIB. Oh, tidak. Sudah tidak normal lagi.
Kau lihat, semua sudah tidak normal lagi!
Semua keliru. Dan mataku sudah sayu

Air putih sudah berbotol-botol aku tenggak,
sedangkan mata belum juga normal dibawa mimpi.
Ini semua tidak normal,
Tuhan agaknya sudah mengurangi nikmat dari dalam diriku.
Oh, tidak. Itu sama saja tidak normal

Kau tahu sayang,
aku sangat senang menulisi ini,
sebab beginilah caraku mengigau
semuanya. Termasuk nasib.

Kampungdalam, 13022014

PUISI RIYON FIDWAR
Terkurung Di Luar

Jangan tertawakan nasibku, Bung.
Ini hanyalah segmen yang sengaja aku minta
untuk mengatakan pada pacarku
bahwa aku bukanlah seorang bangsawan
yang berlagak seperti borjuis.

Dengarlah suara mesin air yang gaduh itu,
rasanya ingin memecahkan gendang telinga.
Perhalus saja suaranya dengan nyanyian melayu, Bung.
Bukankah kita orang sumatera ini menyukai lagu itu.
Apa lagi yang kau tunggu.
Bunyikanlah sekeras mungkin
kalahkan suara azan dari masjid sebelah.

Aku di sini setengah gila memikirkan hutang
kepada tuhan. Kepada nabi. Juga kepada presiden.

Kalau bukan karena nabi aku masih menjadi seorang yahudi
yang bersifat seperti orang bar-bar.
Kalau bukan karena presiden entah di negeri mana
yang akan aku diami.

Jangan tertawakan nasibku, Bung.
Ini hanyalah segmen yang sengaja aku minta
untuk mengatakan pada pacarku
bahwa aku bukanlah seorang bangsawan
yang berlagak seperti borjuis.

Kampungdalam, 11022014

PUISI RIYON FIDWAR
Terkurung Di Dalam

Aku habiskan matahari dalam kamar
dengan diam-diam aku tulis juga pesan buatmu
:berupa sajak. Aku belum mati.
Meskipun setiap waktu aku terkunci.

Ai, berapa lama lagi kematian akan datang
untuk membukakan pintu? Aku sudah letih terkunci
di sini. Rasanya tidak enak sekali. Panas. Pengap.
Sebuah pentilasi yang ada di atasnya
hanya memberi bau sampah.

Terkurung di sini bagaikan dijatuhi seribu rajam
sakit sekali. Tak ada tangan tuhan yang terjulur
untuk menarikku keluar. Aku berteriak.
Teriakku dibungkam oleh suara kumbang
yang sedang melubangi kayu.

Buku-buku yang kubaca sungguh tak memberi kunci
untuk keluar. Bahkan disetiap bait kalimatnya
hanya memberi nasihat : bersabarlah, tuhan akan datang!
Lalu aku tertidur dalam kesabaran. Aku bermimpi.
Dalam mimpi aku melihat tuhan menjauhiku
dan sengaja menjatuhkan kunci ke dalam neraka.

Aku habiskan matahari dalam kamar
dengan diam-diam aku tulis juga pesan buatmu
:berupa sajak.
Aku belum mati.

Kampungdalam, 11022014

PUISI RIYON FIDWAR
Senandung Haloban 1990-2014
:kuhadiahkan buat Haloban

Negeri pantai barat yang jauh dari kota
dekat dengan badai dan matahari terbenam.

Lihatlah gunungnya hijau seperti penduduknya,
jalannya lurus, tanpa persimpangan yang membingungkan.

Kota ini kota karang dan badai.
Nelayan tak henti-hentinya menimba garam dari laut
dijadikan garam dapur

"Tuan, kami memasak kuah dari air kelapa
hanya untuk mengganti susu bayi kami"
Sebab di sini sangat kering
sampai ke dada kami.

Ketika hujan turun selebat-selabatnya
kami berebut minum dengan tanah yang juga haus,
makanya di negeri ini tak pernah banjir.

Kami tak pernah mengeluh jika tak ada kiriman beras dari kota,
sebab bahan pangan bergudang-gudang tersimpan dalam hutan kami
dalam laut kami, dalam kali kami, dalam pulau kami, bahkan
di dalam diri kami sendiri.

Jika malam
tuan akan melihat beribu-ribu kunang-kunang laut
menempel di karang-karang laut,
sepanjang malam ombak berdentum,
sangat lembut.

Bulan pertama menurut perhitungan kami
sangat indah dilihat dari tengah laut.

Ah, negeri ini begitu damai
gelombang dan karangnya adalah senyawa yang tak bisa dipisahkan dari kami.
Inilah sebuah artefak
yang tak pernah tandas digilas zaman.

Inilah negeri air sepuluh tahun yang lalu.

Jika tahun ini tuan datang lagi ke negari ini,
maka, tuan tidak akan melihat kunang-kunang laut lagi
sebab laut telah ganas dan jahat
dan mengusir kunang-kunang itu ke negeri lain.

Sehingga, sekarang, kami sudah pandai mengeluh
sebab perbekalan kami untuk seratus tahun ke depan
telah tergadai.

Kami sebenarnya ingin sekali mencarinya kembali
tapi kami terbentur dengan kebodohan
dan kenaifan kami sendiri.

Kami sudah pandai menipu tuhan
dengan cara berpura-pura berdo'a,
sedangkan waktu kami sendiri-sendiri
kami lebih ganas dari pada buaya.

Tuan tak perlu lagi heran
sebagian yang kami lakukan ini adalah pelajaran dari guru-guru kami
yang sama sekali tidak pernah sekolah
mereka datang dari goa
bukan dari kota.

Mereka menyuruh kami membaca buku-buku
yang tak pernah kami tahu artinya.

Secara diam-diam kami mencuri uang ayah dan ibu
untuk pergi ke sekolah, di negeri yang jauh
sesuai dengan tuntunan islam yang chaos dalam diri kami.

Sekarang kami sudah pintar membaca dan menulis,
bahkan mengartikan buku-buku yang tak kami pahami itu.

Namun dengan kepintaran itu
kami diam-diam membunuh kawan kami sendiri.

Marapalam, 08 Januari 2014

PUISI RIYON FIDWAR
Tentang Seorang Lelaki yang Selalu Termenung

Lelaki itu selalu murung,
apa lagi ketika malam hari.
Mulai dari pukul sembilan hingga pukul dua dini hari.
Tak tahu apa yang ada dalam pikirannya
matanya kosong menatap sebuah parit
yang airnya mengalir entah ke mana.

Lalaki itu selalu murung
menatap parit kecil itu.
Namun secara diam-diam
dia menulis puisi:
“Puisiku puisi malang”

Padang, 16112013

PUISI RIYON FIDWAR
Kabar Puisi

Maaf, aku baru bisa menuliskanmu surat
Ada yang ingin aku beritakan kepadamu. Tentang surat
Yang waktu itu kau kirimkan

Aku tak memaksamu untuk menangisi surat ini
Karena memang tak ada yang perlu ditangisi.

:Sekarang aku sudah punya kekasih
paling setia dan jujur. Kami menghabiskan waktu
hanya di tempat tidur. Badanku menjadi kurus

Bicaranya sangat romantis kepadaku
Dengan nada-nada yang menggoda.

Kau tahu:
Dia menekan dadaku sangat dalam
Sakitnya mendesak ke otak. Aku mual
Aku berhenti mendesah

Dia semakin bergairah
Digamitnya tubuhku. Semakin erat
Aku tak bisa bernafas.

Di atas meja kecil
Dekat ranjang kami. Ada sebuah gunting
Meminta darah!

Aku tak memaksamu untuk menangisi surat ini
Karena memang tak ada yang perlu ditangisi

Semejak kejadian itu
Kami pisah ranjang
Dia terbaring di rumah sakit
Aku terbaring di kuburan

Padang, 16112013

Post a Comment

 
Top