0


Oleh: Riyon Fidwar

Berbicara tentang karya sastra, berarti berbicara mengenai seni, yaitu seni berbahasa. Sebab, bahasa adalah medium karya sastra. Dengan bahasalah si pengarang menyampaikan maksud dan tujuannya itu kepada pembaca. Penciptaan sebuah karya sastra oleh pengarang bukan semata-mata hanya untuk mengekspresikan diri, melepaskan kegundahan dalam dirinya, atau sebagainya, tetapi ada satu tujuan lain yang lebih penting kita sadari, yaitu untuk berpikir kritis. Sebab, kreativitas dalam seni sastra bukanlah semata-mata hanya sebuah aktivitas yang otonom.

Sebagai sebuah dunia yang dibangun dengan kekreatifan pengarangnya, karya sastra berfungsi untuk mencatat sejumlah besar kejadian-kejadian, yaitu kejadian yang telah disusun dalam kerangka kreativitas dan imajinasi. Pada dasarnya, seluruh kejadian dalam sebuah karya sastra, termasuk jenis karya sastra yang paling absurd pun merupakan bentuk asal kejadian yang pernah atau mungkin terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Dengan ciri kreativitas dan imajinasilah karya sastra memiliki kemungkinan yang lebih luas dalam mengekspresikan kenyataan yang ada di alam semesta ke dalam dunia yang disebut fiksi. Meskipun begitu, karya sastra memiliki sebuah tujuan, yaitu sebagai motivasi ke arah yang positif.

Seperti yang telah disinggung di atas tadi bahwa karya sastra bukanlah semata-mata untuk dirinya sendiri, hanya untuk melepaskan kemelutan hati si pengarang. Karya sastra, selain dari itu, juga untuk tempat mengeksporasi diri, untuk berpikir kritis. Sebab, karya sastra diciptakan oleh pengarang untuk menghibur dan juga untuk mendidik. Karya sastra sebagai proses kreativitas seorang pengarang jelas merupakan pernyataan-pernyataan individu yang tersembunyi. Dalam kehidupan sehari-hari, ada bermacam-ragam cara kita untuk mengungkapkan atau menyatakan reaksi-reaksi yang tersembunyi tersebut dan setelah terwujud, itulah yang kita sebut sebagai karya sastra, sehingga mendapat bermacam-ragam pula respon dari para penikmat atau pembaca.

Sebagai makhluk sosial, untuk menciptakan sebuah karya, pengarang juga tidak terlepas dari hubungan-hubungan masyarakat yang didiaminya. Seorang pengarang juga memiliki sejarah yang panjang, aliran, zaman dan berbagai kategori sosial lainnya. Eksistensi pengarang dalam eksistensi sosial bukan hanya eksistensi yang otonom, tetapi merupakan eksistensi alternatif, sebab pengarang sendiri adalah personalitas sosial itu sendiri. Sebagai anggota masyarakat, partisipasi pengarang tidak pernah terbatas, terutama pada kreativitas dan intelektual. Bahkan, ide dan pikiran-pikirannya jarang sekali terbuang.

Dalam struktur sosial, pengarang tidak lagi dipandang sebagai sentral, dengan kata lain, fungsi kreativitas karya sastra disamakan dengan keterampilan lain. Secara moral, dikaitkan dengan fungsinya sebagai pencipta karya, sesungguhnya dalam masyarakat mana pun pengarang selalu dihormati. Sebab, pengarang adalah seorang individu yang mempunyai sejumlah keistimewaan, terutama dari segi kualitas psikologisnya.

Konteks sosial juga mempengaruhi sistem pengetahuan si pengarang dan dengan sendirinya mempengaruhi sistem kreativitasnya. Di pihak lain, pengalaman-pengalaman pengarang sebagai individu jelas sangat singkat baik itu dari segi jasmani maupun rohani. Sebab, manusia dibatasi dengan ruang, waktu, kualitas, dan khusunya keterbatasan usia. Namun, keterbatasan itu tidak hanya semata-mata menjadikan pengarang fakum dengan lingkungannya, melainkan dengan keterbatasan itu, pengarang lebih menggali untuk mengetahui potensi-potensi yang ada dalam dirinya. Sehingga ia mampu membangun sebuah dunia baru, dunia yang terlahir imajinasi dan kreativitas, yang kita kenal sebagai karya sastra.

Karya sastra yang dibangun oleh pengarang tidaklah sebuah proses yang mudah seperti membalikkan telapak tangan. Tetapi, untuk membangun sebuah karya sastra pengarang terlebih dahulu bergelut dengan berbagai persoalan sosial, sebab pengarang adalah anggota masyarakat yang berinteraksi dengan masyarakat lainnya. Selain itu, pengarang pun mengalami gejolak dalam jiwanya sehingga ia (pengarang) melahirkan karya-karya yang sedemikian rupa.

Karya sastra ditulis oleh para pengarang tidak hanya untuk dirinya sendiri, melainkan untuk masyarakat pembaca. Untuk dapat terbaca oleh masyarakat pembaca, pengarang, di dalam karyanya haruslah menggunakan bahasa yang tidak hanya ia (pengarang) yang mengerti isi dari karya tersebut. Tetapi juga yang paling penting adalah bagaimana pengarang bisa menyajikan sebuah karya yang menarik dengan bahasa yang dapat dipahami oleh masyarakat pembaca. Sebab, karya sastra diciptakan sebagai sebuah pengajaran yang ideal, mudah dipahami dengan bahasa pengarang yang sederhana, namun memiliki unsur-unsur mendidik. Selain dari pada itu, karya sastra juga diciptakan sebagai dunia hiburan.

Selain mendidik dan menghibur, karya sastra juga menyediakan ruang bagi pengarang untuk berpikir kritis. Seperti halnya di dalam karya-karya (puisi) Hanna Fransisca yang terhimpun dalam kumpulan puisi Konde Penyair Han memberi penyadaran yang baru terhadap kita yang membaca. Dalam kumpulan puisi itu, ada sehimpun keluhan hati dan melahirkan kritik terhadap penguasa. Kritik itu disampaikan dengan lugas dan tegas, bahwa setiap ras atau etnik yang tumbuh di negara ini adalah sama. 

Hanna Fransisca mencoba menulis kembali sejarah Tionghoa di Indonesia lewat puisi-puisi yang ditulisnya. Sebab, Hanna adalah salah satu pengarang sastra yang berdarah peranakan Tionghoa. Dengan kata lain, keturunan Tionghoa. Tionghoa adalah masyarakat yang telah menyatu dengan bangsa Indonesia dan tidak bisa dipisahkan lagi. Posisi seperti inilah yang mendasari penulisan beberapa puisinya ditujukan kepada Gus Dur. Sebab, Gus Dur pernah mengatakan bahwa bangsa Indonesia terdiri dari tiga ras, yaitu ras Melayu, ras Tionghoa dan ras Austro-melanesia. Pernyataan ini dinyatakan pada tahun 1998 sebelum Gus Dur menjadi presiden Republik Indonesia.

Dalam puisi Hanna yang berjudul Di Sudut Bibirmu Ada Sebutir Nasi, sangat jelas bahwa Hanna memberikan kritik kepada pemimpin negeri ini, agar penyama-rataan ras dan agama, dan tidak adanya lagi pengelompokan-pengelompokan. Sebab, pengelompokan-pengelompokan tersebut akan mengakibatkan perselisihan yang berkepanjangan. Selain itu, puisi yang berjudul Nyanyian Tanah Negeri juga memberi pernyataan yang serupa. Kenapa demikian? Tentulah ada faktor-faktor atau sejarah yang panjang yang sangat mempengaruhi pengarang untuk menulis kritikan ini lewat sebuah karya sastra. Untuk mengetahui itu semua, kita harus menilik lebih dalam sejarah perkembangan kaum Tionghoa, baik sebelum reformasi maupun sesudah reformasi.

Selain membangun sebuah dunia baru yang kita sebut sebagai sebuah karya sastra yang mendidik dan menghibur, ternyata karya sastra juga menyediakan tempat bagi kita ruang untuk berpikir kritis. Tujuannya untuk menyadarkan kita selaku pembaca atau penikmat karya sastra sadar akan kelemahan-kelemahan kita selama ini. Mungkin selama ini kita sebagai penikmat hanya bisa terhibur dengan hadir sebuah karya sastra atau hanya bisa menganggapnya sepele, sebab karya sastra dibangun dengan angan-angan belaka. Persepsi yang demikian adalah kekeliruan yang besar dan sangat merugikan kita sendiri selaku pembaca yang budiman.

Bukan hanya Hanna Fransisca yang memberi kritikan lewat karya sastra, ada banyak pengarang lainnya yang mencoba melakukan hal yang demikian. Diantaranya adalah W.S Rendra, Widji Thukul, Taufik Ismail, dan lain-lain. Tujuannya untuk menyadarkan kita kembali tentang kejadian-kejadian yang terjadi dimasa silam. Jadi, mengapa kita sebagai penikmat tidak mencoba mendekati karya sastra serapat-rapatnya, melainkan menjauhinya sejauh mungkin sebagai musuh yang pengecut. Bukan sebagai guru yang jujur. Padahal, dalam karya sastra secara tidak langsung kita bisa bertanya mengapa, dan bagaimana?

Budaya telah menjauhkan kita dari segalanya, termasuk budaya membaca. Kita sekarang diperkenalkan dengan budaya meniru atau copy paste. Dalam hal ini, tidak ada yang patut disalahkan? Semua kembali pada kepribadian kita, selaku diri sendiri, dan selaku anggota masyarakat. Banyak ruang bagi kita untuk mengekspresikan diri, menyampaikan aspirasi, dan salah satunya adalah karya sastra.

Padang, 16092012

*penulis adalah mahasiswa jurusan sastra Indonesia Unand dan pegiat di Ruang Diskusi dan Dokumentasi Tubuh Jendela

Editor: Yori Firmanda



Post a Comment

 
Top