Oleh: Riyon Fidwar
Berbicara
tentang karya sastra, berarti berbicara mengenai seni, yaitu seni berbahasa.
Sebab, bahasa adalah medium karya sastra. Dengan bahasalah si pengarang
menyampaikan maksud dan tujuannya itu kepada pembaca. Penciptaan sebuah karya
sastra oleh pengarang bukan semata-mata hanya untuk mengekspresikan diri,
melepaskan kegundahan dalam dirinya, atau sebagainya, tetapi ada satu tujuan
lain yang lebih penting kita sadari, yaitu untuk berpikir kritis. Sebab,
kreativitas dalam seni sastra bukanlah semata-mata hanya sebuah aktivitas yang
otonom.
Sebagai sebuah
dunia yang dibangun dengan kekreatifan pengarangnya, karya sastra berfungsi
untuk mencatat sejumlah besar kejadian-kejadian, yaitu kejadian yang telah
disusun dalam kerangka
kreativitas
dan imajinasi. Pada dasarnya, seluruh kejadian dalam sebuah karya sastra,
termasuk jenis karya sastra yang paling absurd pun merupakan bentuk asal
kejadian yang pernah atau mungkin terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Dengan ciri
kreativitas
dan imajinasilah karya sastra memiliki kemungkinan yang lebih luas dalam
mengekspresikan kenyataan yang ada di alam semesta ke dalam dunia yang disebut
fiksi. Meskipun begitu, karya sastra memiliki sebuah tujuan, yaitu sebagai
motivasi ke arah yang positif.
Seperti yang
telah disinggung di atas tadi bahwa karya sastra bukanlah semata-mata untuk dirinya
sendiri, hanya untuk melepaskan kemelutan hati si pengarang. Karya sastra,
selain dari itu, juga untuk tempat mengeksporasi diri, untuk berpikir kritis.
Sebab, karya sastra diciptakan oleh pengarang untuk menghibur dan juga untuk
mendidik. Karya sastra sebagai proses kreativitas seorang pengarang jelas
merupakan pernyataan-pernyataan individu yang tersembunyi. Dalam kehidupan
sehari-hari, ada bermacam-ragam cara kita untuk
mengungkapkan atau menyatakan reaksi-reaksi yang tersembunyi tersebut dan
setelah terwujud, itulah yang kita sebut sebagai karya sastra, sehingga
mendapat bermacam-ragam pula respon dari para penikmat atau pembaca.
Sebagai makhluk
sosial, untuk menciptakan sebuah karya, pengarang juga tidak terlepas dari
hubungan-hubungan masyarakat yang didiaminya. Seorang pengarang juga memiliki
sejarah yang panjang, aliran, zaman dan berbagai kategori sosial lainnya.
Eksistensi pengarang dalam eksistensi sosial bukan hanya eksistensi yang
otonom, tetapi merupakan eksistensi alternatif, sebab pengarang sendiri adalah
personalitas sosial itu sendiri. Sebagai anggota masyarakat, partisipasi
pengarang tidak pernah terbatas, terutama pada kreativitas dan intelektual.
Bahkan, ide dan pikiran-pikirannya jarang sekali terbuang.
Dalam struktur
sosial, pengarang tidak lagi dipandang sebagai sentral, dengan kata lain,
fungsi kreativitas
karya sastra disamakan dengan keterampilan lain. Secara moral, dikaitkan dengan
fungsinya sebagai pencipta karya, sesungguhnya dalam masyarakat mana pun
pengarang selalu dihormati. Sebab, pengarang adalah seorang individu yang
mempunyai sejumlah keistimewaan, terutama dari segi kualitas psikologisnya.
Konteks sosial
juga mempengaruhi sistem pengetahuan si pengarang dan dengan sendirinya
mempengaruhi sistem kreativitasnya. Di pihak lain, pengalaman-pengalaman
pengarang sebagai individu jelas sangat singkat baik itu dari segi jasmani
maupun rohani. Sebab, manusia dibatasi dengan ruang, waktu, kualitas, dan
khusunya keterbatasan usia. Namun, keterbatasan itu tidak hanya semata-mata
menjadikan pengarang fakum dengan lingkungannya, melainkan dengan keterbatasan
itu, pengarang lebih menggali untuk mengetahui potensi-potensi yang ada dalam
dirinya. Sehingga ia mampu membangun sebuah dunia baru, dunia yang terlahir
imajinasi dan kreativitas, yang kita kenal sebagai karya sastra.
Karya sastra
yang dibangun oleh pengarang tidaklah sebuah proses yang mudah seperti
membalikkan telapak tangan. Tetapi, untuk membangun sebuah karya sastra
pengarang terlebih dahulu bergelut dengan berbagai persoalan sosial, sebab
pengarang adalah anggota masyarakat yang berinteraksi dengan masyarakat
lainnya. Selain itu, pengarang pun mengalami gejolak dalam jiwanya sehingga ia
(pengarang) melahirkan karya-karya yang sedemikian rupa.
Karya sastra
ditulis oleh para pengarang tidak hanya untuk dirinya sendiri, melainkan untuk
masyarakat pembaca. Untuk dapat terbaca oleh masyarakat pembaca, pengarang, di
dalam karyanya haruslah menggunakan bahasa yang tidak hanya ia (pengarang) yang
mengerti isi dari karya tersebut. Tetapi juga yang paling penting adalah bagaimana
pengarang bisa menyajikan sebuah karya yang menarik dengan bahasa yang dapat
dipahami oleh masyarakat pembaca. Sebab, karya sastra diciptakan sebagai sebuah
pengajaran yang ideal, mudah dipahami dengan bahasa pengarang yang sederhana,
namun memiliki unsur-unsur mendidik. Selain dari pada itu, karya sastra juga
diciptakan sebagai dunia hiburan.
Selain mendidik
dan menghibur, karya sastra juga menyediakan ruang bagi pengarang untuk
berpikir kritis. Seperti halnya di dalam karya-karya (puisi) Hanna Fransisca
yang terhimpun
dalam kumpulan puisi Konde Penyair Han memberi
penyadaran yang baru terhadap kita yang membaca. Dalam kumpulan puisi itu, ada
sehimpun keluhan hati dan melahirkan kritik terhadap penguasa. Kritik itu
disampaikan dengan lugas dan tegas, bahwa setiap ras atau etnik yang tumbuh di
negara ini adalah sama.
Hanna Fransisca
mencoba menulis kembali sejarah Tionghoa di Indonesia lewat puisi-puisi yang
ditulisnya. Sebab, Hanna adalah salah satu pengarang sastra yang berdarah
peranakan Tionghoa. Dengan kata lain, keturunan Tionghoa. Tionghoa adalah
masyarakat yang telah menyatu dengan bangsa Indonesia dan tidak bisa dipisahkan
lagi. Posisi seperti inilah yang mendasari penulisan beberapa puisinya
ditujukan kepada Gus Dur. Sebab, Gus Dur pernah mengatakan bahwa bangsa
Indonesia terdiri dari tiga ras, yaitu ras Melayu, ras Tionghoa dan ras
Austro-melanesia.
Pernyataan ini dinyatakan pada tahun 1998 sebelum Gus Dur menjadi presiden
Republik Indonesia.
Dalam puisi
Hanna yang berjudul Di Sudut Bibirmu Ada
Sebutir Nasi, sangat jelas bahwa Hanna memberikan kritik kepada pemimpin
negeri ini, agar penyama-rataan ras dan agama, dan tidak adanya lagi
pengelompokan-pengelompokan. Sebab, pengelompokan-pengelompokan tersebut akan
mengakibatkan perselisihan yang berkepanjangan. Selain itu, puisi yang berjudul
Nyanyian Tanah Negeri juga memberi
pernyataan yang serupa. Kenapa demikian? Tentulah ada faktor-faktor atau
sejarah yang panjang yang sangat mempengaruhi pengarang untuk menulis kritikan
ini lewat sebuah karya sastra. Untuk mengetahui itu semua, kita harus menilik
lebih dalam sejarah perkembangan kaum Tionghoa, baik sebelum reformasi maupun
sesudah reformasi.
Selain membangun
sebuah dunia baru yang kita sebut sebagai sebuah karya sastra yang mendidik dan
menghibur, ternyata karya sastra juga menyediakan tempat bagi kita ruang untuk
berpikir kritis. Tujuannya untuk menyadarkan kita selaku pembaca atau penikmat
karya sastra sadar akan kelemahan-kelemahan kita selama ini. Mungkin selama ini
kita sebagai penikmat hanya bisa terhibur dengan hadir sebuah karya sastra atau
hanya bisa menganggapnya sepele, sebab karya sastra dibangun dengan angan-angan
belaka. Persepsi yang demikian adalah kekeliruan yang besar dan sangat
merugikan kita sendiri selaku pembaca yang budiman.
Bukan hanya
Hanna Fransisca yang memberi kritikan lewat karya sastra, ada banyak pengarang
lainnya yang mencoba melakukan hal yang demikian. Diantaranya adalah W.S Rendra,
Widji Thukul, Taufik Ismail, dan
lain-lain. Tujuannya untuk menyadarkan kita kembali tentang kejadian-kejadian
yang terjadi dimasa silam. Jadi, mengapa kita sebagai penikmat tidak mencoba
mendekati karya sastra serapat-rapatnya, melainkan menjauhinya sejauh mungkin
sebagai musuh yang pengecut. Bukan sebagai guru yang jujur. Padahal, dalam
karya sastra secara tidak langsung kita bisa bertanya mengapa, dan bagaimana?
Budaya telah
menjauhkan kita dari segalanya, termasuk budaya membaca. Kita sekarang
diperkenalkan dengan budaya meniru atau copy
paste. Dalam hal ini, tidak ada yang patut disalahkan? Semua kembali pada
kepribadian kita, selaku diri sendiri, dan selaku anggota masyarakat. Banyak
ruang bagi kita untuk mengekspresikan diri, menyampaikan aspirasi, dan salah
satunya adalah karya sastra.
Padang, 16092012
*penulis
adalah mahasiswa jurusan sastra Indonesia Unand dan pegiat di Ruang Diskusi dan
Dokumentasi Tubuh Jendela
Editor: Yori Firmanda
Post a Comment