0



Oleh Riyon Fidwar

Siapa yang menyangka bila sebuah karya memiliki kejutan-kejutan yang luar biasa? Tujuannya memberi keinsyafan kepada kita selaku manusia, sebab yang mengarang karya tersebut adalah manusia. Bagian dari masyarakat. Jadi jangan heran jika setiap pengarang mengambil realitas sosial sebagai tema ceritanya. Dalam sebuah cerpen yang berjudul Kak Ros misalnya, di sana ada semacam perbandingan penilaian terhadap seseorang. Si “Aku” dalam cerita ini, pertama kali melihat seorang sosok yang bernama “Kak Ros” seorang perempuan yang ‘berhati lembut’, si “Aku” langsung terkesima terhadap sifat perempuan itu. Perempuan berhati lembut. Penyayang. Peduli terhadap lingkungan. Terutama tetumbuhan yang selama ini ia tanami.
Bahkan, saking tertariknya pada sifat perempuan itu, si “Aku” selalu menuri waktu untuk melihat perempuan itu, meskipun ia mengesampingkan tujuan kedatangnya ke temapat itu.
 menyediakan waktu untuk mencari sejenis tanaman papaitan yang mengobati tifus, TBC, dan darah tinggi. Seperti pada dialog berikut: “Kenapa daun begitu lebih penting bagi kau ketimbang seminar?” pengarang di sini semacam memberi tanda lewat, si “Aku” antara perbedaan alam dan sastra. Meskipun kedua ‘dunia’ ini dapat memberi yang pengaruh dalam kehidupan.  Tanaman misalnya, bisa mengobati suatu penyakit yang kita derita, seperti dan papaitan yang disebut pengarang. Sastra juga bisa mengobati penyakit, meskipun cara kerjanya tidak seperti tumbuhan. Seperti pada paragraf berikut:

Hih, tentu saja lebih penting. Apalagi dibanding semacam seminar. Sastra itu dunia kreatif, dunia melakukan. Maka yang paling penting dilakukan ya menulis, bukan berkumpul-kumpul membuat rumusan. Ah, penyair. Kau mesti tahu: betapa indah yang diungkapkan kata, dan betapa buruk pengarangnya.

Meskipun berbeda, kedua ‘dunia’- sastra dan tumbuhan- ini memberi dampak yang sama dalam kehidupan. Realitas semacam ini dimanfaatkan oleh pengarang untuk mencipatakan dunia yang lain (baru) dengan tujuan untuk membenahi diri, apa yang sudah kita berikan kepada alam. Pertanyaan seperti ini dirumuskan oleh Gus tf Sakai dalam cerpennya yang berjudul Kak Ros.
Kadang-kala kita selaku pembaca hal-hal semacam ini kita abaikan begitu saja. Kita anggap bukan suatu yang istimewa untuk dijadikan bahan diskusi atau semacamnya. Hal-hal yang sering didiskusikan dalam diskusi karya sastra itu hanya budaya pengarang, kreativitasnya, tema karyanya, dan berapa banyak karyanya sudah dipublikasikan di media, juga sejauh mana pengarang itu dikenal. Sedangkan masalah sosial yang hanya sedikit disinggung oleh pengarang diabaikan begitu saja. Itu dianggap hanya permainan bahasa atau penambah latar cerita saja.
Itu tetap saja kurang penting jika berbicara tentang sastra, yang penting melakukannnya seperti yang sudah dikatakan oleh Gus tf Sakai dalam cerpen ini. Menurut saya, cerpen-cerpen yang tulis oleh Gus tf Sakai memiliki roh dan kekuatan yang bisa mengajak pembaca “menyeberangi” imajinasi yang penuh kejutan. Bahasa yang digunakan dalam setiap cerpennya pun mudah dan enak dibaca. Tanpa ada embel-embel kelebaian. Tidak membosankan. Setiap membaca dialog-dialog dalam setiap cerpennya, seperti kita mendengar dialog masyarakat sekitar. Sangat sederhana namun memiliki arti yang filosofis.
Dalam cerita yang berjudul Kak Ros misalnya, percakapan-percakapan antar tokoh sangat sederhana, seperti:

“Daun memang sangat mungkin disukai, disenangi, bahkan disayangi orang, Ben. Orang yang sangat sayang pada daun bisa saja tampak seperti bercakap-cakap saat merawatnya.”  
“Maksud Om ... bunga?                         
“Bukan. Daun. Tidakkah menurutmu daun sangat luar biasa?

Inilah yang saya maksud percakapan yang biasa kita dengar di lingkungan kehidupan itu. Sangat sederhana. Namun ketika saat membacanya kita merasa tenang. Sebab tak ada bahasa yang tidak dipahami di sana. Semuanya kita mengerti. Persoalannya adalah bagaimana seorang pengarang itu menjinakkan bahasa ke dalam karya-karyanya. Inilah pekerjaan yang sangat sulit, memang. Namun bagi Gus tf Sakai sendiri pekerjaan itu sudah “selesai”.
Yang membuat saya tertarik pada cerita yang berjudul Kak Ros ini adalah kehati-hatian pengarangnya dalam menyusun cerita. Kemudian di ujung ceritanya kita dikejutkan dengan sebuah kejutan yang dari awal tidak pernah terduga. Perempuan itu dipanggil Kak Ros. Sifatnya lemah lembut terhadap tumbuhan. Dia selalu bicara kepada tiap tumbuhan. Bahkan untuk memindahkan semut yang berjalan di daun sekalipun. Itu yang menjadi ketertarikan tokoh “Aku” ingin mengenali perempuan tersebut. Tapi hanya satu yang membuat tokoh “Aku” masih bertanya tentang sikap perempuan itu, yaitu pandangan matanya.
Sebagian besar tokoh-tokoh dalam cerita fiksi adalah rekaan. Tokoh-tokoh tersebut tidak saja berfungsi untuk memainkan cerita, tetapi juga berperan untuk menyampaikan ide, plot, dan juga tema. Untuk menilai karakter si tokoh kita bisa melihat dari perkataan dan sikapnya di dalam cerita. Seperti yang dikatakan oleh Abrams (dalam Zainuddin Fenani) bahwa menilai tokoh dalam sebuah karya fiksi dapat dilihat dari apa yang dikatakan dan apa yang dilakukan. Dengan demikian membicarakan karakter tokoh tentu tidak terlepas dari plot cerita.
Pada cerita ini, pengarang mengungkapkan sebuah perilaku manusia yang secara disadari atau tidak telah mengendap dalam diri masing-masing, yaitu sifat kemanusiaan. Inilah sifat kita selaku manusia yang berpikir. Sebagai manusia, kita juga dituntut berprilaku baik bukan hanya kepada sesama manusuia, tetapi juga sifat kita kepada  makhluk lain juga kepada lingkungan. Sifat seseorang memang susah ditebak. Dia yang bertubuh cantik atau gagah belum tentu memiliki sifat yang baik seperti yang tergambar pada dirinya. Demikian juga yang bertubuh kurang baik. Belum tentu ada padanya sifat yang buruk.
Lewat postur tubuh belum cukup untuk menentukan baik buruknya seseorang. Seperti  halnya Kak Ros misalnya, perempuan yang cantik, sangat menyayangi tumbuhan. Bahkan si “Aku” pernah melihat Kak Ros bercakap dengan dedaunan. Namun dibalik kecantikan perempuan itu, secara diam-diam dia seorang pembunuh.

… Kulangkahkan kaki menuju teras, menuju pintu depan, saat kudengar lengkingan suara kucing dari halaman samping.
Lengking yang aneh. Seperti gerung ngeong keras, lalu tiba-tiba terhenti. Ada pula suara seperti pukulan (atau tumbukan?) beruntun lalu satu-satu.

... Kepala seekor kucing, nyaris gepeng, menjulur dari karung goni….




*Penulis bekerja di ruang Pendokumentasian TJ. 

Pernah dimuat di Singgalang Minggu, 23 Maret 2014

Post a Comment

 
Top