Oleh Riyon Fidwar
Siapa yang menyangka bila sebuah karya
memiliki kejutan-kejutan yang luar biasa? Tujuannya memberi keinsyafan kepada
kita selaku manusia, sebab yang mengarang karya tersebut adalah manusia. Bagian
dari masyarakat. Jadi jangan heran jika setiap pengarang mengambil realitas
sosial sebagai tema ceritanya. Dalam sebuah cerpen yang berjudul Kak Ros misalnya, di sana ada semacam
perbandingan penilaian terhadap seseorang. Si “Aku” dalam cerita ini, pertama
kali melihat seorang sosok yang bernama “Kak Ros” seorang perempuan yang
‘berhati lembut’, si “Aku” langsung terkesima terhadap sifat perempuan itu. Perempuan
berhati lembut. Penyayang. Peduli terhadap lingkungan. Terutama tetumbuhan yang
selama ini ia tanami.
Bahkan, saking tertariknya pada sifat perempuan
itu, si “Aku” selalu menuri waktu untuk melihat perempuan itu, meskipun ia
mengesampingkan tujuan kedatangnya ke temapat itu.
menyediakan waktu untuk mencari sejenis
tanaman papaitan yang mengobati
tifus, TBC, dan darah tinggi. Seperti pada dialog berikut: “Kenapa daun begitu lebih penting bagi kau ketimbang seminar?” pengarang
di sini semacam memberi tanda lewat, si “Aku” antara perbedaan alam dan sastra.
Meskipun kedua ‘dunia’ ini dapat memberi yang pengaruh dalam kehidupan. Tanaman misalnya, bisa mengobati suatu
penyakit yang kita derita, seperti dan papaitan
yang disebut pengarang. Sastra juga bisa mengobati penyakit, meskipun cara
kerjanya tidak seperti tumbuhan. Seperti pada paragraf berikut:
Hih, tentu saja lebih penting.
Apalagi dibanding semacam seminar. Sastra itu dunia kreatif, dunia melakukan.
Maka yang paling penting dilakukan ya menulis, bukan berkumpul-kumpul membuat
rumusan. Ah, penyair. Kau mesti tahu: betapa indah yang diungkapkan kata, dan
betapa buruk pengarangnya.
Meskipun
berbeda, kedua ‘dunia’- sastra dan tumbuhan- ini memberi dampak yang sama dalam
kehidupan. Realitas semacam ini dimanfaatkan oleh pengarang untuk mencipatakan
dunia yang lain (baru) dengan tujuan untuk membenahi diri, apa yang sudah kita
berikan kepada alam. Pertanyaan seperti ini dirumuskan oleh Gus tf Sakai dalam
cerpennya yang berjudul Kak Ros.
Kadang-kala
kita selaku pembaca hal-hal semacam ini kita abaikan begitu saja. Kita anggap
bukan suatu yang istimewa untuk dijadikan bahan diskusi atau semacamnya.
Hal-hal yang sering didiskusikan dalam diskusi karya sastra itu hanya budaya
pengarang, kreativitasnya, tema karyanya, dan berapa banyak karyanya sudah
dipublikasikan di media, juga sejauh mana pengarang itu dikenal. Sedangkan
masalah sosial yang hanya sedikit disinggung oleh pengarang diabaikan begitu
saja. Itu dianggap hanya permainan bahasa atau penambah latar cerita saja.
Itu
tetap saja kurang penting jika berbicara tentang sastra, yang penting
melakukannnya seperti yang sudah dikatakan oleh Gus tf Sakai dalam cerpen ini.
Menurut saya, cerpen-cerpen yang tulis oleh Gus tf Sakai memiliki roh dan
kekuatan yang bisa mengajak pembaca “menyeberangi” imajinasi yang penuh kejutan.
Bahasa yang digunakan dalam setiap cerpennya pun mudah dan enak dibaca. Tanpa
ada embel-embel kelebaian. Tidak membosankan. Setiap membaca dialog-dialog
dalam setiap cerpennya, seperti kita mendengar dialog masyarakat sekitar.
Sangat sederhana namun memiliki arti yang filosofis.
Dalam
cerita yang berjudul Kak Ros misalnya,
percakapan-percakapan antar tokoh sangat sederhana, seperti:
“Daun memang sangat mungkin disukai, disenangi, bahkan
disayangi orang, Ben. Orang yang sangat sayang pada daun bisa saja tampak seperti
bercakap-cakap saat merawatnya.”
“Maksud Om ... bunga?
“Bukan. Daun. Tidakkah menurutmu daun sangat luar
biasa?
Inilah yang saya maksud percakapan yang biasa kita
dengar di lingkungan kehidupan itu. Sangat sederhana. Namun ketika saat
membacanya kita merasa tenang. Sebab tak ada bahasa yang tidak dipahami di
sana. Semuanya kita mengerti. Persoalannya adalah bagaimana seorang pengarang
itu menjinakkan bahasa ke dalam karya-karyanya. Inilah pekerjaan yang sangat
sulit, memang. Namun bagi Gus tf Sakai sendiri pekerjaan itu sudah “selesai”.
Yang membuat saya tertarik pada cerita yang berjudul Kak Ros ini adalah kehati-hatian
pengarangnya dalam menyusun cerita. Kemudian di ujung ceritanya kita dikejutkan
dengan sebuah kejutan yang dari awal tidak pernah terduga. Perempuan itu
dipanggil Kak Ros. Sifatnya lemah lembut terhadap tumbuhan. Dia selalu bicara
kepada tiap tumbuhan. Bahkan untuk memindahkan semut yang berjalan di daun
sekalipun. Itu yang menjadi ketertarikan tokoh “Aku” ingin mengenali perempuan
tersebut. Tapi hanya satu yang membuat tokoh “Aku” masih bertanya tentang sikap
perempuan itu, yaitu pandangan matanya.
Sebagian besar tokoh-tokoh
dalam cerita fiksi adalah rekaan. Tokoh-tokoh tersebut tidak saja berfungsi
untuk memainkan cerita, tetapi juga berperan untuk menyampaikan ide, plot, dan
juga tema. Untuk menilai karakter si tokoh kita bisa melihat dari perkataan dan
sikapnya di dalam cerita. Seperti yang dikatakan oleh Abrams (dalam Zainuddin
Fenani) bahwa menilai tokoh dalam sebuah karya fiksi dapat dilihat dari apa
yang dikatakan dan apa yang dilakukan. Dengan demikian membicarakan karakter
tokoh tentu tidak terlepas dari plot cerita.
Pada cerita ini, pengarang
mengungkapkan sebuah perilaku manusia yang secara disadari atau tidak telah
mengendap dalam diri masing-masing, yaitu sifat kemanusiaan. Inilah sifat kita
selaku manusia yang berpikir. Sebagai manusia, kita juga dituntut berprilaku
baik bukan hanya kepada sesama manusuia, tetapi juga sifat kita kepada makhluk lain juga kepada lingkungan. Sifat
seseorang memang susah ditebak. Dia yang bertubuh cantik atau gagah belum tentu
memiliki sifat yang baik seperti yang tergambar pada dirinya. Demikian juga
yang bertubuh kurang baik. Belum tentu ada padanya sifat yang buruk.
Lewat postur tubuh belum cukup
untuk menentukan baik buruknya seseorang. Seperti halnya Kak
Ros misalnya, perempuan yang cantik, sangat menyayangi tumbuhan. Bahkan si
“Aku” pernah melihat Kak Ros bercakap
dengan dedaunan. Namun dibalik kecantikan perempuan itu, secara diam-diam dia
seorang pembunuh.
… Kulangkahkan kaki
menuju teras, menuju pintu depan, saat kudengar lengkingan suara kucing dari
halaman samping.
Lengking yang aneh.
Seperti gerung ngeong keras, lalu tiba-tiba terhenti. Ada pula suara seperti
pukulan (atau tumbukan?) beruntun lalu satu-satu.
... Kepala seekor kucing, nyaris gepeng, menjulur dari
karung goni….
*Penulis bekerja di ruang
Pendokumentasian TJ.
Pernah dimuat di Singgalang Minggu, 23 Maret 2014
Post a Comment