0



Oleh Riyon Fidwar

            Sudah empat hari saya tidak menulis. Lebih tepatnya tidak ada satupun tulisan yang saya selesaikan. Saya mencoba untuk merangsang otak dengan membaca. Buku, artikel koran, cerpen, puisi, novel, dan bahan bacaan lainnya. Namun otak saya belum juga bisa membangun sebuah ide. Saya mulai bingung. Apakah ini sebuah cobaan? Kebingungan saya semakin menjadi-jadi, dikarenakan saya tidak bisa menulis. Jangankan membuat artikel. Satu puisi pun tidak ada yang selesai. Saya coba membalik-balikkan kamus, mungkin dari sana ada ilham. Nihil. 

            Akhirnya saya putuskan untuk tidak menulis selama beberapa hari. Bukan berarti bahan bacaan saya abaikan begitu saja. Tidak. Saya tetap membaca. Meskipun bacaan itu tidak khatam. Dalam hati saya selalu menggerutu “Mengapa saya tidak bisa menulis?!” Ini lebih tepatnya sebuah keluhan.

            Sudah hari kelima. Menjelang keenam. Sebuah tulisan pun tidak ada yang selesai. Bingung. Saya mencoba menetralkan pikiran dengan aktifitas yang lain, seperti membuka akun fesbuk. Beberapa pemberitahuan muncul di bagian atas. Salah satu pemberitahuan itu berisi tentang seseorang mengubah status sosialnya :penulis. Kemudian saya bertanya kepadanya, mengapa dia bisa berpikiran merubah statusnya menjadi seorang penulis. Cepat-cepat saya tulis lewat pesan fesbuk. Dengan sekejap sudah terkirim. Tidak berapa lama terkirimnya pesan tersebut sudah mendapat balasan. Menulis sudah menjadi kebiasaan saya, jadi apa salahnya saya jadikan status saya. Di kartu tanda penduduk saya juga menggunakan “penulis” sebagai status sosial (pekerjaan). Jelasnya. Saya memang tidak begitu terkenal di dunia kepenulisan. Bahkan sampai sekarang tulisan saya belum juga masuk ke koran-koran nasional. Seperti yang kamu ketahui, tulisan saya hanya beredar di koran-koran lokal. Ya, setidaknya saya menulis. Jadi status (pekerjaan) “penulis” yang saya buat tidak ada masalahkan. Jelasnya lebih menekankan. 

            Kekaguman saya semakin bertambah, ketika dia menyebutkan bukan hanya di fesbuk tapi juga di kartu tanda penduduk pun dia mengganti status. Luar biasa. Ini menjadi salah satu bentuk keberanian seorang penulis yang saya temui. Seorang penulis yang sudah lama menulis saja tidak berani membuat status (pekerjaan)-nya menjadi “penulis”. Kebanyakan penulis lebih suka membuat status (pekerjaan)-nya berupa pekerjaan-pekerjaan yang dominan menunjang penghasilan. Atau berupa jabatan. Pada hal, jika dipikirkan matang-matang menulis juga sebuah pekerjaan. Apa salahnya dijadikan sebagai jabatan. Mengapa pekerjaan menulis jarang sekali dijadikan sebagai status sosial? 

            Pekerjaan menulis saya rasa lebih rumit dibandingkan pekerjaan menghitung nilai rupiah. Menulis lebih susah dibandingkan pekerjaan kontraktor. Menulis lebih rumit dibandingkan dengan pekerjaan kantor. Tapi mengapa para penulis tidak begitu berani menggunakan “penulis” sebagai status sosial. Inilah salah satu kelalaian yang harus diperhatikan untuk menghargai karya tulis. Untuk menghargai sebuah karya tulis harus dimulai dari si pengarang sendiri. Bukan dari orang lain yang mengagumi tulisan tersebut.

            Saat saya selesai berkirim-kirim pesan dengan teman saya itu, akhirnya saya mendapat sebuah “rahmat” yang bisa dimanfaatkan untuk sebuah bahan tulisan. Saya sangat terinspirasi dengan pesan-pesan dari teman saya itu. Sebuah ilmu menghargai sudah saya dapat. Mungkin ini sebuah balasan dari apa yang selama ini saya baca. Dan judul tulisan ini adalah sebuah inspirasi dari kemacetan yang berhari-hari dialami otak saya. Semoga dengan ini lebih banyak lagi inspirasi-inspirasi yang datang. Amin!

*Tulisan ini pernah dimuat di koran Singgalang Minggu (Mantagi)

Post a Comment

 
Top