Oleh Riyon Fidwar
Berbicara
mengenai harga diri sepertinya tidak henti-hentinya dibicarakan orang. Harga
diri harus dijaga oleh setiap manusia, tentunya. Harga diri adalah harga yang
paling mahal untuk diperdagangkan. Jika ada seseorang yang mau menjual harga
diri hanya karena sesuatu, itu sudah keterlaluan sekali. Tapi kenyataannya, ada
juga yang mau menjual harga dirinya dengan sesuatu yang diharapkannya. Dengan
harta benda, pangkat, dan lain sebagainya. Tak jarang juga seseorang
menghinakan harga diri seseorang. Misalnya dengan cacian yang pedas. Banyak
sekali cara sebenarnya untuk menghinakan harga diri seseorang. Seperti iri,
dendam, dan sebagainya.
Harga
diri pun adalah cermin seseorang untuk melihat sejauh mana budi pekerti
seseoranng pula. Orang yang suka menghinakan harga diri orang lain berarti bisa
dinilai orang itu tak mempunyai budi pekerti yang baik. Sebab hanya orang-orang
yang berbudi pekerti baiklah yang memiliki akhlak baik pula. Bagaiamana kita
bisa menilai seseorang itu mempunyai bedi pekerti atau akhlak yang baik atau
buruk? Jawabannya mudah. Coba perhatikan bahasa dia bicara. Jika baik bahasa
yang digunakan seseorang dalam berkomunikasi, maka baik pula orang tersebut.
Begitu sebailiknya. Sebab manusia tak ubahnya dengan sebuah kendi. Jika kita
ingin mengetahui apa isi yang ada di dalam kendi tersebut, kita harus
menuangkannya terlebih dahulu. Jika pasir yang keluar dari kendi tersebut,
berarti pesirlah isi kendi itu. Jika air yang keluar berarti air isi dari kendi
tersebut. Begitu seterusnya.
Begitulah
cara saya menilai seseorang, baik yang baru saya kenal maupun yang sudah lama
saya kenal. Dengan begitu, saya bisa mengenal watak dan tabiat baik buruk
seseorang. Perumpamaan seperti sebenarnya adalah “wasiat” dari guru saya ketika
saya mesih duduk dibangku madrasah aliyah (MA). “Wasiat” itupun sampai sekarang
masih saya amalkan.
Pernah
satu kali, ketika saya pulang dari kampus, tiba-tiba ada seorang pengendara
motor memaki saya dengan mengatakan “anjing”. Kemudian saya berhenti melangkah.
Beribu-ribu pertanyaan dalam diri saya, apakah orang seperti saya yang tidak
mempunyai kendaraan harus dihinakan dengan sebutan anjing?! Apakah hanya
orang-orang yang mempunyai kendaraan saja yang memiliki kebebasan memakai
jalan, sedangkan pejalan kaki tidak?! Mengapa pengendara itu kok tiba-tiba memaki saya sepedas itu?!
Saya tersinggung. Seakan-akan harga diri saya waktu itu hilang atau tidak
berarti apa-apa. Saya mengerutu sepanjang jalan menuju kediaman saya (kosan).
Dan secara tidak saya sadari, saking jengkelnya berkatalah saya dalam hati
“pukikmak kau, semoga kau mati dilindas truk pengendara sialan!”. Tapi
perkataan itu tidak sempat melompat keluar mulut.
Kejadian
itu tidak saya sangka. Ketika saya pulang dari kampus jam sudah menunjukkan
pukul 19.45 WIB. Saya hanya pejalan kaki yang unggul. Saya mau menyeberang
jalan, tentunya terlebih daulu harus memahami situasi jalan. Sudah lengangkah
kendaraan atau belum. Itu saja. Ketika sudah agak lengang, saya dengan cepat
menyeberang jalan. Namun tiba-tiba, lewat sebuah kendaraan yang dikendarai oleh
anak muda. Melintas cepat tepat dibelakang saya. Secara spontan keluar dari
mulutnya “anjing!” tentu saja tuturny itu mengarah kepada saya. Setiba saya
diseberang jalan, saya tertegun dan bertanya-tanya dalam diri saya. Pikiran
saya mulai bercampur aduk. Antara kesal dan sesal. Kesal karena saya dihinakan
seperti “anjing” dan sesal kepada diri saya sendiri yang sudah kehilangan harga
dirinya.
Apakah
orang-orang yang tidak mempunyai kendaraan harus menerima cela seperti itu dari
para pengendara yang tidak tahu aturan? Keterlaluan sekali menurut saya. Baru
sepeda motor yang dia punya, apa lagi jika mobil. Mungkin sudah banyak yang
mati ditabraknya saja. Saya coba untuk menenagkan diri dengan mengingat
“wasiat” guru sekolah dulu. Ternyata memang benar, perkataan seseorang itu
sangat berdampak kepada etikanya. Keterlaluan!
*Tulisan ini sudah pernah dimuat di koran Singgalang Minggu (Mantagi)
Post a Comment