0
Oleh Riyon Fidwar

Berbicara mengenai harga diri sepertinya tidak henti-hentinya dibicarakan orang. Harga diri harus dijaga oleh setiap manusia, tentunya. Harga diri adalah harga yang paling mahal untuk diperdagangkan. Jika ada seseorang yang mau menjual harga diri hanya karena sesuatu, itu sudah keterlaluan sekali. Tapi kenyataannya, ada juga yang mau menjual harga dirinya dengan sesuatu yang diharapkannya. Dengan harta benda, pangkat, dan lain sebagainya. Tak jarang juga seseorang menghinakan harga diri seseorang. Misalnya dengan cacian yang pedas. Banyak sekali cara sebenarnya untuk menghinakan harga diri seseorang. Seperti iri, dendam, dan sebagainya. 

Harga diri pun adalah cermin seseorang untuk melihat sejauh mana budi pekerti seseoranng pula. Orang yang suka menghinakan harga diri orang lain berarti bisa dinilai orang itu tak mempunyai budi pekerti yang baik. Sebab hanya orang-orang yang berbudi pekerti baiklah yang memiliki akhlak baik pula. Bagaiamana kita bisa menilai seseorang itu mempunyai bedi pekerti atau akhlak yang baik atau buruk? Jawabannya mudah. Coba perhatikan bahasa dia bicara. Jika baik bahasa yang digunakan seseorang dalam berkomunikasi, maka baik pula orang tersebut. Begitu sebailiknya. Sebab manusia tak ubahnya dengan sebuah kendi. Jika kita ingin mengetahui apa isi yang ada di dalam kendi tersebut, kita harus menuangkannya terlebih dahulu. Jika pasir yang keluar dari kendi tersebut, berarti pesirlah isi kendi itu. Jika air yang keluar berarti air isi dari kendi tersebut. Begitu seterusnya. 

Begitulah cara saya menilai seseorang, baik yang baru saya kenal maupun yang sudah lama saya kenal. Dengan begitu, saya bisa mengenal watak dan tabiat baik buruk seseorang. Perumpamaan seperti sebenarnya adalah “wasiat” dari guru saya ketika saya mesih duduk dibangku madrasah aliyah (MA). “Wasiat” itupun sampai sekarang masih saya amalkan. 

Pernah satu kali, ketika saya pulang dari kampus, tiba-tiba ada seorang pengendara motor memaki saya dengan mengatakan “anjing”. Kemudian saya berhenti melangkah. Beribu-ribu pertanyaan dalam diri saya, apakah orang seperti saya yang tidak mempunyai kendaraan harus dihinakan dengan sebutan anjing?! Apakah hanya orang-orang yang mempunyai kendaraan saja yang memiliki kebebasan memakai jalan, sedangkan pejalan kaki tidak?! Mengapa pengendara itu kok tiba-tiba memaki saya sepedas itu?! Saya tersinggung. Seakan-akan harga diri saya waktu itu hilang atau tidak berarti apa-apa. Saya mengerutu sepanjang jalan menuju kediaman saya (kosan). Dan secara tidak saya sadari, saking jengkelnya berkatalah saya dalam hati “pukikmak kau, semoga kau mati dilindas truk pengendara sialan!”. Tapi perkataan itu tidak sempat melompat keluar mulut. 

Kejadian itu tidak saya sangka. Ketika saya pulang dari kampus jam sudah menunjukkan pukul 19.45 WIB. Saya hanya pejalan kaki yang unggul. Saya mau menyeberang jalan, tentunya terlebih daulu harus memahami situasi jalan. Sudah lengangkah kendaraan atau belum. Itu saja. Ketika sudah agak lengang, saya dengan cepat menyeberang jalan. Namun tiba-tiba, lewat sebuah kendaraan yang dikendarai oleh anak muda. Melintas cepat tepat dibelakang saya. Secara spontan keluar dari mulutnya “anjing!” tentu saja tuturny itu mengarah kepada saya. Setiba saya diseberang jalan, saya tertegun dan bertanya-tanya dalam diri saya. Pikiran saya mulai bercampur aduk. Antara kesal dan sesal. Kesal karena saya dihinakan seperti “anjing” dan sesal kepada diri saya sendiri yang sudah kehilangan harga dirinya. 

Apakah orang-orang yang tidak mempunyai kendaraan harus menerima cela seperti itu dari para pengendara yang tidak tahu aturan? Keterlaluan sekali menurut saya. Baru sepeda motor yang dia punya, apa lagi jika mobil. Mungkin sudah banyak yang mati ditabraknya saja. Saya coba untuk menenagkan diri dengan mengingat “wasiat” guru sekolah dulu. Ternyata memang benar, perkataan seseorang itu sangat berdampak kepada etikanya. Keterlaluan!


*Tulisan ini sudah pernah dimuat di koran Singgalang Minggu (Mantagi)

Post a Comment

 
Top