Oleh Riyon
Fidwar
Keadaan
di desa kami saat ini begitu riang dan semangat. Orang-orang rantau entah dari
kota mana datang ke desa kami, kampung halaman mereka. Rasa gembira membumbung
tinggi seperti asap tungku di tiap rumah yang terbang ke langit. Setiap hari
semakin banyak yang datang. Bukan hanya orang kampung ini, melainkan
orang-orang kota juga. Mereka datang semata-mata hanya ingin berlibur,
mengganti suasana mata. Itu saja. Lain halnya dengan mereka yang datang dari
rantau menjenguk sanak-famili yang sudah berbilang tahun berpisah. Linangan
airmata haru ketika bertemu.
Melihat
suasana desa seperti ini, tentu saja aku terheran-heran. Bagaimana mungkin
kampung sekecil ini menyimpan penduduknya? Ah, ini belum seberapa yang datang.
Dulu, ketika saya masih berumur belasan tahun, orang-orang rantau datang semua
ke sini. Di antara yang datang itu sedikit sekali yang tidak berkeluarga.
Rata-rata semuanya membawa keluarga. Rumah dan kampung ini rasanya mau muntah
karena terlalu banyaknya manusia di dalamnya. Jelas mamakku ketika kami lagi
menyaksikan orang banyak itu menuruni kapal-kapal kayu di pelabuhan.
Orang
banyak yang turun dari kapal kayu itu kami tonton dari sebuah kedai kopi yang
tidak terlalu jauh dari pelabuahan. Sedangkan keluarga yang datang itu akan
menyambut mereka dari perut kapal-kapal dan menyalami serta membopong
barang-barang bawaannya. Pada saat itulah kau akan menyaksikan tatakrama
orang-orang pantai. Mereka akan menangis haru sejadi-jadinya di atas pelabuahan
sambil memeluk orang rantau yang baru saja datang itu. Peluk-cium adalah
sedekah dan rahmat. Orang yang datang pun akan ikut-ikutan menangis. Melihat
ini, anak-anaknya yang tidak biasa mendapat hal tersebut terheran-heran dengan
laku orang tuanya tersebut. Begitulah salah satu cara kami orang pantai
menyambut familinya yang datang dari rantau.
Orang-orang
di kedai kopi ada yang terbahak-bahak menyaksikan pemandangan itu. Bagi mereka
yang kenal, mereka mendapat lambaian tangan dari yang datang ketika melewati
kedai tersebut seperti tangan presiden ketika melambai pendukungnya.
“Orang-orang rantau ini akan terus berdatangan hingga dua hari jelang hari
raya”. Celoteh mamakku. Aku tambah bingung, bagaimana mungkin kampung sekecil
ini menyimpan penduduknya? Pertanyaan ini selalu mendidih jika orang-orang
rantau itu datang. Kejadian tahun ini benar-benar membuatku bingung. Beberapa
tahun yang lalu tak seorang pun yang datang mengunjungi kampung ini, kecuali
mereka anak-anak sekolah dan para mahasiswa di luar desa ini.
Aku
sangat bingung. Apakah mereka sudah diusir karena tidak memiliki surat
kependudukan kota yang sah hingga rumah yang mereka miliki habis digusur. Atau
hal-hal lain yang menyangkut tentang transmigrasi illegal? Pikiranku berkecamuk
hebat sekali. Mataku sendiri tak sedetik pun terpicing sudah dua malam ini
karena memikirkan sebab-sebab yang paling konyol ini. Aku sendiri pun heran,
mengapa hal tersebut bisa tumbuh dalam benakku. Sehingga menjadi sebuah
gumpalan-gumpalan pertanyaan yang membingungkan diri sendiri. Aku yakin,
orang-orang kampungku, kawan dan semuanya tidak pernah memikirkan hal konyol tersebut.
Akulah satu-satunya orang yang memikirkannya. Subahanallah!
*Tulisan ini pernah dimuat di koran Singgalang Minggu (Mantagi)
Post a Comment