0



Oleh Riyon Fidwar

Keadaan di desa kami saat ini begitu riang dan semangat. Orang-orang rantau entah dari kota mana datang ke desa kami, kampung halaman mereka. Rasa gembira membumbung tinggi seperti asap tungku di tiap rumah yang terbang ke langit. Setiap hari semakin banyak yang datang. Bukan hanya orang kampung ini, melainkan orang-orang kota juga. Mereka datang semata-mata hanya ingin berlibur, mengganti suasana mata. Itu saja. Lain halnya dengan mereka yang datang dari rantau menjenguk sanak-famili yang sudah berbilang tahun berpisah. Linangan airmata haru ketika bertemu. 

Melihat suasana desa seperti ini, tentu saja aku terheran-heran. Bagaimana mungkin kampung sekecil ini menyimpan penduduknya? Ah, ini belum seberapa yang datang. Dulu, ketika saya masih berumur belasan tahun, orang-orang rantau datang semua ke sini. Di antara yang datang itu sedikit sekali yang tidak berkeluarga. Rata-rata semuanya membawa keluarga. Rumah dan kampung ini rasanya mau muntah karena terlalu banyaknya manusia di dalamnya. Jelas mamakku ketika kami lagi menyaksikan orang banyak itu menuruni kapal-kapal kayu di pelabuhan. 

Orang banyak yang turun dari kapal kayu itu kami tonton dari sebuah kedai kopi yang tidak terlalu jauh dari pelabuahan. Sedangkan keluarga yang datang itu akan menyambut mereka dari perut kapal-kapal dan menyalami serta membopong barang-barang bawaannya. Pada saat itulah kau akan menyaksikan tatakrama orang-orang pantai. Mereka akan menangis haru sejadi-jadinya di atas pelabuahan sambil memeluk orang rantau yang baru saja datang itu. Peluk-cium adalah sedekah dan rahmat. Orang yang datang pun akan ikut-ikutan menangis. Melihat ini, anak-anaknya yang tidak biasa mendapat hal tersebut terheran-heran dengan laku orang tuanya tersebut. Begitulah salah satu cara kami orang pantai menyambut familinya yang datang dari rantau.

Orang-orang di kedai kopi ada yang terbahak-bahak menyaksikan pemandangan itu. Bagi mereka yang kenal, mereka mendapat lambaian tangan dari yang datang ketika melewati kedai tersebut seperti tangan presiden ketika melambai pendukungnya. “Orang-orang rantau ini akan terus berdatangan hingga dua hari jelang hari raya”. Celoteh mamakku. Aku tambah bingung, bagaimana mungkin kampung sekecil ini menyimpan penduduknya? Pertanyaan ini selalu mendidih jika orang-orang rantau itu datang. Kejadian tahun ini benar-benar membuatku bingung. Beberapa tahun yang lalu tak seorang pun yang datang mengunjungi kampung ini, kecuali mereka anak-anak sekolah dan para mahasiswa di luar desa ini. 

Aku sangat bingung. Apakah mereka sudah diusir karena tidak memiliki surat kependudukan kota yang sah hingga rumah yang mereka miliki habis digusur. Atau hal-hal lain yang menyangkut tentang transmigrasi illegal? Pikiranku berkecamuk hebat sekali. Mataku sendiri tak sedetik pun terpicing sudah dua malam ini karena memikirkan sebab-sebab yang paling konyol ini. Aku sendiri pun heran, mengapa hal tersebut bisa tumbuh dalam benakku. Sehingga menjadi sebuah gumpalan-gumpalan pertanyaan yang membingungkan diri sendiri. Aku yakin, orang-orang kampungku, kawan dan semuanya tidak pernah memikirkan hal konyol tersebut. Akulah satu-satunya orang yang memikirkannya. Subahanallah!


*Tulisan ini pernah dimuat di koran Singgalang Minggu (Mantagi)

Post a Comment

 
Top