Oleh Riyon Fidwar
Bila ada yang menyebutkan kata
“pisang” kepada anda, tentu tergambar dalam kepala anda pasti buah. Bentuknya panjang
sedikit melengkung (ada juga yang bentuknya pendek) berwarna kuning (dan
hijau). Enak dimakan. Bisa menambah berat badan. Begitulah jika kata “pisang”
disebutkan kepada anda. Namun, bila anda pergi ke pasar raya dan mendengar
seorang laki-laki meneriakkan kata “pisang” itu berarti bukan “pisang” yang
sesungguhnya seperti yang sudah anda bayangkan tadi. Melainkan sebuah daerah
atau kampung yang berada antara Kampung Dalam dan By-pass di kota Padang.
Yang meneriakkan kata “pisang” di
pasar itu adalah agen atau supir opelet jurusan Pisang. Bukan pisang
sesungguhnya melainkan nama sebuah perkampungan: Pisang, kemudian opelet
tersebut akan lanjut menuju Simpang Malintang. Warna opelet itu merah. Jika
anda naik opelet ini, anda akan merasakan suasana yang tak biasa seperti di
opelet-opelet lain. Di opelet ini tak ada musik, penumpangnya kebanyakan
ibu-ibu, supirnya bapak-bapak, opeletnya sudah tua pula.
Jika opelet lain, anda tentu sudah
tahu bagaimana, supirnya anak muda, musik on
sepanjang jalan, penumpanya tidak hanya ibu-ibu, ngebut-ngebut pastinya. Hal ini tak akan pernah anda dapat jika
anda menaiki opelet pisang yang jalannya selalu damai, tentram, tak ada masalah
kalau sedang jalan. Mungkin para supirnya memegang prinsip biar pelan asal selamat untung datang. Haha..
Saya sendiri pernah beberapa kali
naik opelet tersebut ke pasar raya dari Simpang Malintang. Hampir dua jam saya
duduk di opelet itu karena sangat pelannya. Jika naik opelet dari Pasar Baru
mungkin saya tidak akan menanggung “penderitaan” selama itu. Sekitar 30 atau 45
menit sudah sudah sampai pasar raya. Tapi apa yang terjadi, satu jam lebih
–hampir dua jam- saya duduk di bangku opelet yang bermerek Pisang itu tanpa
musik dan diapit oleh ibu-ibu yang ingin belanja sayur-sayuran. Menjenuhkan
memang. Tapi harus bagaimana lagi, semua yang sudah terjadi tak bisa diundur
atau diulang. Sekali menginjakkan kaki naik ke pintu opelet Pisang, maka
penantian panjang akan menunggu anda di tempat duduk.
Walapun begitu, faktor keselamatan
menurut saya sangat tinggi. Sebab supir-supirnya jarang sekali ngebut-ngebut seperti opelet-opelet lain
yang sering anda jumpai di kota Padang. Boleh saya menyebutkan opelet ini
sangat bersahaja. Jika anda berpendapat bahwa ngebut-ngebut itu tergantung siapa supir. Itu memang benar. Tapi
opelet Pisang tidak pernah anda jumpai hal tersebut. Siapapun supirnya opelet
Pisang tetap saja kepada prinsipnya, yaitu pelan-pelan asal selamat.
Hari ini saya tidak bermaksud untuk
memuji atau mencaci. Tapi saya hanya menuliskan apa yang saya rasa dan yang
pernah saya alami. Dan akhir-akhir ini opelet Pisang sudah menjadi ketagiahan
saya menaikinya meskipun penantian panjang menanti di tempat duduk. Tak apalah,
yang penting keselamatan saya lebih tinggi dari pada kecelakaan. Bukankah itu
yang kita harapkan sebagai penumpang, keselamatan? Apa gunanya sekali gas
langsung sampai tujuan (bukan tujuan sebenarnya) melainkan rumah sakit?
Sekali lagi, saya tidak bermaksud
untuk memuji atau mencaci. Saya hanya ingin menulis apa yang saya rasa dan
alami. Semoga kita semua mendapatkan keselamatan ketika naik kendaraan umum
atau pribadi. Amin.
*Penulis tinggal di Padang. Bergiat di ruang Pendokumentasian TJ
Tulisan ini pernah terbit di kolom MANTAGI, Singgalang Minggu, 30 April 2014
Tulisan ini pernah terbit di kolom MANTAGI, Singgalang Minggu, 30 April 2014
Post a Comment