0



Oleh Riyon Fidwar

            Bila ada yang menyebutkan kata “pisang” kepada anda, tentu tergambar dalam kepala anda pasti buah. Bentuknya panjang sedikit melengkung (ada juga yang bentuknya pendek) berwarna kuning (dan hijau). Enak dimakan. Bisa menambah berat badan. Begitulah jika kata “pisang” disebutkan kepada anda. Namun, bila anda pergi ke pasar raya dan mendengar seorang laki-laki meneriakkan kata “pisang” itu berarti bukan “pisang” yang sesungguhnya seperti yang sudah anda bayangkan tadi. Melainkan sebuah daerah atau kampung yang berada antara Kampung Dalam dan By-pass di kota Padang.
            Yang meneriakkan kata “pisang” di pasar itu adalah agen atau supir opelet jurusan Pisang. Bukan pisang sesungguhnya melainkan nama sebuah perkampungan: Pisang, kemudian opelet tersebut akan lanjut menuju Simpang Malintang. Warna opelet itu merah. Jika anda naik opelet ini, anda akan merasakan suasana yang tak biasa seperti di opelet-opelet lain. Di opelet ini tak ada musik, penumpangnya kebanyakan ibu-ibu, supirnya bapak-bapak, opeletnya sudah tua pula.
            Jika opelet lain, anda tentu sudah tahu bagaimana, supirnya anak muda, musik on sepanjang jalan, penumpanya tidak hanya ibu-ibu, ngebut-ngebut pastinya. Hal ini tak akan pernah anda dapat jika anda menaiki opelet pisang yang jalannya selalu damai, tentram, tak ada masalah kalau sedang jalan. Mungkin para supirnya memegang prinsip biar pelan asal selamat untung datang. Haha..
            Saya sendiri pernah beberapa kali naik opelet tersebut ke pasar raya dari Simpang Malintang. Hampir dua jam saya duduk di opelet itu karena sangat pelannya. Jika naik opelet dari Pasar Baru mungkin saya tidak akan menanggung “penderitaan” selama itu. Sekitar 30 atau 45 menit sudah sudah sampai pasar raya. Tapi apa yang terjadi, satu jam lebih –hampir dua jam- saya duduk di bangku opelet yang bermerek Pisang itu tanpa musik dan diapit oleh ibu-ibu yang ingin belanja sayur-sayuran. Menjenuhkan memang. Tapi harus bagaimana lagi, semua yang sudah terjadi tak bisa diundur atau diulang. Sekali menginjakkan kaki naik ke pintu opelet Pisang, maka penantian panjang akan menunggu anda di tempat duduk.
            Walapun begitu, faktor keselamatan menurut saya sangat tinggi. Sebab supir-supirnya jarang sekali ngebut-ngebut seperti opelet-opelet lain yang sering anda jumpai di kota Padang. Boleh saya menyebutkan opelet ini sangat bersahaja. Jika anda berpendapat bahwa ngebut-ngebut itu tergantung siapa supir. Itu memang benar. Tapi opelet Pisang tidak pernah anda jumpai hal tersebut. Siapapun supirnya opelet Pisang tetap saja kepada prinsipnya, yaitu pelan-pelan asal selamat.
            Hari ini saya tidak bermaksud untuk memuji atau mencaci. Tapi saya hanya menuliskan apa yang saya rasa dan yang pernah saya alami. Dan akhir-akhir ini opelet Pisang sudah menjadi ketagiahan saya menaikinya meskipun penantian panjang menanti di tempat duduk. Tak apalah, yang penting keselamatan saya lebih tinggi dari pada kecelakaan. Bukankah itu yang kita harapkan sebagai penumpang, keselamatan? Apa gunanya sekali gas langsung sampai tujuan (bukan tujuan sebenarnya) melainkan rumah sakit?
            Sekali lagi, saya tidak bermaksud untuk memuji atau mencaci. Saya hanya ingin menulis apa yang saya rasa dan alami. Semoga kita semua mendapatkan keselamatan ketika naik kendaraan umum atau pribadi. Amin.

*Penulis tinggal di Padang. Bergiat di ruang Pendokumentasian TJ
Tulisan ini pernah terbit di kolom MANTAGI, Singgalang Minggu, 30 April 2014

Post a Comment

 
Top