Oleh Riyon Fidwar
Orang-orang di kampung telah ramai
membicarakan bulan puasa, bahkan bukan lagi sebuah rahasia. Semua orang telah
tahu. Hanya saja hari pertamanya datang belum begitu jelas kapan. Ada yang
berpendapat akhir sya’ban jatuh pada hari senin dan hari selanjutnya pertama
puasa. Ada juga yang berpendapat bahawa pertama puasa jatuh pada hari rabu.
Perbedaan paham seperti ini sering kali membuat kami bingung. Untuk urusan
ibadah pasti memiliki perdebatan yang panjang dulu, harus menampakkan taji
dulu, bahwa paham kami yang paling bagus, yang paling banyak pengukutnya.
Begitu juga paham yang satunya lagi bahwa, kami juga pantas diikuti.
Mengapa harus beselisih paham dalam
urusan bakti kepada Tuhan. Mengapa kita tidak pernah akur terhadap hari bakti
kepada Tuhan. Mengapa harus memilih-milih hari untuk taat kepada Tuhan? Pada
hal Tuhan tidak pernah beselisih paham dengan malaikat untuk memberi rizki
kepada manusia, Tuhan tidak juga memilih-milih orang untuk diberi rahmatnya.
Inilah tradisi islam sekarang. Suka berselih. Apa bila disanggah pasti dicelah
dikatakan murtad, kafir, dan sebagainya.
Selaku muslim yang baik, kami hanya
mengikuti aturan islam yang sederhana saja, tidak mengikuti paham yang ini dan
itu. Puasa yang kami tunaikan tahun ini sesuai dengan perhitungan kalender
genap 30 hari.
Malam terakhir sya’ban, malam pertama
menunaikan puasa kami laksanakan tarawih tanpa harus mengikuti aturan-aturan
yang dibuat oleh mereka yang sedang perang pemikiran itu. Hanya sebagian kecil
saja yang melaksanakan ibadah malam itu, malam selanjutnya barulah bergema
masjid dengan suara “amin” jamaah.
Masjid dan musola melimpah melaksanakan
tarawih di hari pertama (hari kedua bagi kami), seakan-akan tempat peribadatan
itu serasa kurang banyak dibangun di dalam kampung. Ada juga yang salat di
tempat pengajian TPA, sebab tempat ibadah sudah melimpah-ruah.
Pelaksanaan ibadah di bulan suci hari
pertama, kedua, dan tiga berjalan dengan khusuk dan sesak para jemaah. Apa lagi
ketika azan dikumandangkan, rasanya langit gembira mendengarnya, laut tambah
semangat untuk bertasbih, dan gunung tak henti-hentinya bersukur. Sebab ummat
telah banyak bersujud kepada Tuhannya.
Ceramah-ceramah agama adalah kegiatan
yang paling sering dilakukan ketika ingin memasuki tarawih. Ajakan untuk
meningkatkan ibadah adalah tema yang sering digunakan oleh penceramah kepada
para jamaah. Setiap malam. “Mengunjungi masjid untuk beribadah adalah salah
satu yang disenangi oleh Tuhan.” Ujar seorang penceramah di malam itu. “Semoga
kita semua diberikannya rahmat dan hidayhnya. Amin.” Sambungnya sambil menutup
ceramah.
Pelaksanaan ibadah tarawih menjelang malam
kesepuluh ternyata mengurangi syaf paling belakang, baik syaf laki-laki maupun
perempuan. Penceramah yang bergantian tentunya setiap malam mulai gelisah
matanya melihat jamaah yang kurang satu syaf, begitu juga dengan imam selaku
pemimpin jamaah mulai kurang senang. Sebab jamaah yang berkurang itu.
Malam selanjutnya pun terus begitu,
terus berkurang-berkurang dan berkurang. Hingga yang tinggal di dalam masjid
adalah mereka-mereka yang sudah payah untuk berdiri atau yang lebih tepatnya
mereka yang sudah tua. Inilah tradisi islam dalam penyambutan ramadhan.
Masjid telah kurang jamaahnya dari malam
ke malam. Ini berlanjut hingga akhir puasa. Bukannya tak ada orang muda-muda
yang tak pergi ke masjid, mereka tak lagi memasuki ke dalam masjid, melainkan
mereka hanya berada di luar menghabiskan gorengan yang dijual. Selain itu,
mereka juga lebih suka bergurau dari pada mendengarkan ceramah. Mereka lebih
suka makan di luar dari pada bersujud kepada Tuhan.
Tujuan mereka yang muda-muda datang ke
masjid bukan lagi untuk ibadah seperti malam-malam pertama pelaksanaan tarawih,
melainkan hanya ingin bergurau saja. Baginilah cara remaja melaksanakan ibadah
di bulan puasa.
*Penulis
masih mahasiwa Unand dan pegiat TJ
Post a Comment