PUISI
RIYON FIDWAR
Kencan
Maaf, aku terlambat lagi
menjengukmu
di luar hujan deras mengguyur.
Aku tak berani
jalan sendiri. Apa lagi malam
gelap seperti ini.
Aku terpaksa singgah di kedai
kakilima itu.
Uang yang kau beri kemarin telah
aku tukar dengan sebatang rokok,
tidak habis kuhisap. Sebab
tujuanku di situ bukan untuk merokok
melainkan hanya untuk mencari
tempat berteduh.
Semakin lama aku menunggu
semakin deras pula hujan
mengguyur. Malam
semakin malam terasa. Aku cemas
ketika hujan
mengundang angin dan petir. Aku
tak dapat menemuimu.
Tapi janji dalam ingatanku takkan
basah atau lembab.
Lambat-lambat terdengar suara
orang berdoa dari sebuah masjid,
masih adakah jam untuk tamu?
Aku kedinginan. Entah karena tak
bisa jumpa
atau karena dingin. Semua jadi
satu. Membeku.
Haruskah marahmu akan aku dengar
kembali malam ini?
Maaf, aku terlambat lagi
menjengukmu
jika saja aku punya mobil mewah
yang licin
pasti hujan ini sudah dari tadi
aku tempuh.
Kuharap kau takkan marah lagi
malam ini soal kemoloranku.
Marapalam, 06032014
PUISI
RIYON FIDWAR
Lembaran
Surat yang Salah
Betapa ngerinya aku melihat tuhan
ditabrak mobil
yang dikendarai oleh anak kelas
satu es-em-pe.
Malaikat menuntut si anak untuk
bertanggung jawab
tapi si anak dilindungi
undang-undang perlindungan anak.
Ayah si anak membayar pengacara
untuk menuntut kembali,
Malaikat hilang akal. Keluarga
malaikat datang berbondong-bondong dari langit
menyelesaikan masalah ini secara
kekeluargaan. Awalnya
si ayah menolak. Karena si
pengacaranya mengatakan bahwa
para malaikat itu kaya-kaya, si
ayah tergiur dengan uang.
“Lumayan, buat ongkos pengacara”
pikir si ayah.
Ketika mulai didudukkan
permasalahnnya
si ayah langsung berkoar-koar
mirip orang gila
menunjuk-nunjuk para malaikat.
Pengacaranya juga ikut-ikutan.
Malaikat yang menuntut si anak
tadi mulai bersuara,
kembali menyalahkan si anak.
“Anak itu sudah membunuh tuhan!”
Siapa lagi yang akan memberi kita
rahmat dan karunia
kalau bukan dia. Sambil menunjuk
ke atap.
Hujan rintik-rintik mulai turun
satu-satu.
Ayah si anak langsung menyela
perkataan itu
“Bukan hanya tuhanmu saja yang
mati, tuhan anakku
juga telah mati” malaikat
terdiam. Bingung.
Ayah dan pengacara menahan geli
melihat ketololan itu.
Tiba-tiba saja salah seorang
anggota malaikat itu angkat bicara
“Apa yang mesti kita lakukan saat
ini, sedangkan tuhan sudah mati?”
Hening. Kedua belah pihak
menekurkan kepala dalam-dalam.
“Goblok!” hardik si anak anak
yang sedang koma
“Di luar sana masih banyak tuhan
untuk disembah!”
Benar, tuhan banyak yang bisa
disembah. Aku membenarkan.
Marapalam, 06032014
PUISI
RIYON FIDWAR
Matahari
Minggu Masih Merah
Di rumah ibadah itu sudah berdentang lonceng
tanda tuhan telah tiba membawa rahmat.
Pilar suci dan putih berdiri kokoh seperti isa
yang mati disalib karena kesakitan.
Anak mariyam itu langsung dibawa tuhan ke surga.
Doa-doa penebar janji dibaca oleh tokoh-tokoh paling
suci
di mimbar doa dengan khusuk.
Ayat-ayat lalu terbang seperti asap dupa
yang dibakar di klenteng-klenteng di hadapan patung
vihara.
Harum gaharu menebar wangi ke penjuru rumah ibadah.
Tuhan menanami gedung-gedung di pusat kota,
menyemai plaza dan supermarket. Menggusur
rumah-rumah
kardus setengah terbuka. Membuang penghuninya ke
tepi kali.
Sedangkan di desa tak dapat apa-apa. Hanya
penduduknya
dijadikan budak.
Dari rumah ibadah itu
terdengar lagi bunyi lonceng. Aku telah mendengar
kedamaian. Dalam diriku. Dan oleh sebab itu
aku tak bisa lagi berpaling. Semua yang telah
terjadi
tak bisa lagi dibatalkan.
Wangi dupa menjalari urat saraf seperti candu.
Mengepul, sesak di jantungku.
Mari berdoa di rumah ibadah kita yang sepi
tinggalkan tuhan yang sibuk dengan pembangunan.
Anak-anak rumah kardus yang terusir
ambil batu botol. Budak-budak dari desa
hancurkan ketakutan dengan doa.
Kita bekumpul dan bicara
dengan hati.
Marapalam. 10032014
PUISI
RIYON FIDWAR
Rumah
Ibadah Tua
Selamat pagi matahari yang selalu
menyinari rumahnya
tempat di mana semua arwah sudah
beterbangan
seperti asap mengepul di rumah
tuhan.
Bingkai cerita yang tersangkut di
dindingnya
adalah doa berusia tua dan lama
hingga ia berdebu menanti aminan.
Kebun di belakang rumah itu
seperti rambutnya yang kering dan
rontok
satu-satu. Karena kelelahan.
Mobil di garasinya
adalah tulang dan usianya yang
sudah tua.
Marapalam, 06032014
PUISI
RIYON FIDWAR
Tuhan
Berilah Kami Arti
Kamilah jemaah yang taat kepada kitab
apalagi ketika pengkotbah berdiri di
atas mimbar
mata kami berkaca-kaca mendengar irama
syair yang sengaja dibacanya dari salah
satu kitab.
“Kapan kita bisa menjadi seorang
pengkotbah?”
Pelan-pelan kami ucapkan kata itu, sebab
takut
kalau terdengar akan dikatakan kami
penipu.
Setiap waktu kami datang ke sana
untuk mendengar kata syairnya
yang indah itu. Jika tidak datang sekali
maka nasib kami dipotong sehari.
Bayangkan
bila kami tidak datang samasekali
kami tidak akan ada arti lagi.
Tuan, airmata kami telah kering
karena setiap saat menangis.
Tuhan, berilah kami arti!
Marapalam, 11032014
PUISI
RIYON FIDWAR
Untuk
Alamamater
Aku sekarang berdiri di tengah
galanggang
menantang semua badai.
Di kaki langit masih ada awan dan
laut
tentu saja di ujung sungai ada
muara
dan laut maha luas.
Di sanalah aku bertanak garam
menyedu bui.
Aku sudah pandai mendayung
dan berenang!
Kampungdalam, 06032014
Biodata
penulis:
*Riyon
Fidwar lahir di Haloban Aceh Singkil. Sekarang tinggal di Padang dan bekerja di
Ruang Pendokumentasian TJ
Hp:
083181279053
Post a Comment