Oleh Riyon Fidwar
Setiap
tahun di tiap universitas negeri maupun swasta menerima mahasiwa dengan
bermacam-macam cara. Ada yang namanya mahasiswa dari jalur undangan, mahasiswa
jalur regular, dan ada juga dari jalur non-reguler. Semua mahasiswa yang ikut
seleksi ini tentu saja tidak semuanya diluuskan oleh pihak instansi atau
perguruan tinggi tersebut. Jelas ada yang digagalkan. Bagi mahasiswa yang telah
lulus dari seleksi tersebut, tentulah dia bisa langsung mengikuti
seleksi-seleksi yang lain, seperti kesehatan, fisik, dan lain-lain (sebagai
formalitas saja). Semua itu nampaknya tidak begitu mempersulit, itu tergantung
dari kepintaran tiap-tiap mahasiswa yang ikut seleksi tersebut.
Setelah
diterima di sebuah instansi atau perguruan tinggi, yang terutama dicari adalah
tempat penginapan bagi para mahasiswa, yaitu kos atau kontarakan. Ini adalah
kebutuhan primer bagi setiap mahasiswa tanpa kecuali (laki-laki maupun
perempuan). Mahasiswa yang membutuhkan kos atau kontarakan pastilah mahasiswa
yang datang dari luar kota di mana dia berkuliah. Bagi mereka yang mempunyai
kosan atau kontarakan tentu memasang tarif yang menurut mereka layak meskipun
dari pihak lain itu terlalu berlebihan. Selain itu, ada juga aturan-aturan yang
harus ditaati jika berada dalam kos atau kontarakan.
Kosan
atau kontaran bermacam-macam juga bentuk dan fasilitasnya. Ada yang bertingkat
dua, tiga bahkan lima dengan fasilitas kamar mandi di dalam kamar. Ada yang
berupa pafiliun dan juga ada yang sederhana dengan fasilitas seadanya. Dengan
keberagaman inilah, si empunya kos atau kontarak tentu memasang tarif yang
berbeda pula. Kosan yang bertingkat tidak mungkin disetarakan dengan kosan yang
tidak bertingkat.
Dengan
adanya bermacam-macam bentuk kos dan kontaran ini yang kadang-kadang membuat
pikiran mahasiswa itu ‘cabang-cabang’. Saat-saat seperti ini biasanya, bagi
mahasiswa, dugunakan untuk berpikir agar tidak ceroboh. Baik harga maupun
kualitas tempat kosan atau kontrakan tersebut. Harga murah, dengan fasilitas
kamar yang lengkap dan besar, bersih, kamar mandi di dalam pula. Listrik tak
mati-mati. Yang jelas harganya terjangkau. Sebab dibagian bayar-membayar inilah
yang menjadi kendala bagi mahasiswa. Ya, maklum saja jika ada mahasiswa yang
memiliki tempat-tempat kosan atau kontarakan yang sederhana (biasanya yang
memiliki tempat ini adalah laki-laki). Namun, bagi empunya kos atau kontarakan
pastilah menginginkan harga yang tinggi dengan fasilitas seadanya. Ini bisa
meningkatkan inset yang banyak baginya si empunya. Jika lancar, tentu akan buka
‘cabang’ baru lagi. Dan ini akan menambah untung yang sangat besar. Siapa tahu
dalam setahun menjadi miliyarder?
Kadang-kadang
ada juga si empunya kos atau kontarakan yang hanya menginginkan bayaranny saja,
tanpa terlalu sibuk memikirkan fasilitas kos atau kontarakan yang dimilikinya.
Bahkan tak jarang dijadikan beban bagi penghuni kosan atau kontrakan. Sedangkan
si empunya acuh tak acuh saja, yang jelas tiap bulan setoran yang banyak.
Bagi
sebagian mahasiswa, kosan atau kontarakan adalah sebagai tempat penyimpanan
barang-barang, seperti baju, lemari, dan lain-lain. Sedang untuk menginap,
palingan hanya semalam, dua malam saja. Selebihnya meninap di sana-sini. Itu
sudah menjadi sebuah kebiasaan bagi mahasiswa, baik laki-laki maupun perempuan.
Apalagi kosan atau kontarakan itu memiliki kamar yang banyak, akrab juga dengan
orang yang tinggal, jika seperti ini, untuk menambah keakraban pindah tidur itu
biasa.
Yang
lebih menyolok lagi ketika musim bola. Bagi mahasiswa (laki-laki) begadang, dan
nonton bola sampai pagi itu biasa. Bahkan tak ingat waktu kuliah, yang jelas
berita bola tak ketinggalan. Jika mahasiswa tersebut mendapat masalah absen
atau nilainya yang ‘berantakan’ si dosenlah yang menjadi tumpuan salah.
Begitulah kebanyakan mahasiswa, memang tidak semua. Lantaran keinginannya untuk
memuaskan hobi atau apalah, orang yang menjadi tumpuan amarahnya. Jika hal ini
terjadi terus-menerus, di mana letak tanggung jawab dan kesadaran para
mahasiswa selaku kaum intelektual yang ditinggikan?
Post a Comment