0



Oleh Riyon Fidwar

Mengingat akhir-akhir ini kota Padang sering diguyur hujan, maka saya teringat sebuah peristiwa yang susah dilupakan. Peristiwa tersebut terjadi kira-kira tiga tahun silam. Itu adalah peristiwa penting. Sungguh. Dan setiap kali hujan, peristiwa tersebut membayang di kepala saya. Entah apa sebabnya peristiwa tersebut begitu lengket dengan “hujan”. 

Semua orang pastinya pernah mengalami peristiwa yang begitu penting. Dan susah dilupakan. Apakah itu peristiwa perayaan ulang tahun, pindah rumah, lulus kuliah dengan nilai coumload, dan sebagainya. Misalkan lagi memperingati hari Kemerdekaan Indonesia, Sumpah Pemuda, Hari Pahlawan, Hari Guru, dan lain-lain. Semua itu bukan hari di mana perayaan itu yang peringati. Melainkan prosesnya. Namun kebanyakan dari kita saat ini, tidak sadar dengan hal-hal tersebut. Peristiwa-peristiwa tersebut sebenarnya sederhana saja. Tidak ada yang membuat istimewa. Namun yang menjadi kenangan adalah proses terjadinya peristiwa tersebut. Misalkan kita dapat nilai bagus. Jelas itu sangat membanggakan. Tapi yang lebih membanggakan sebenarnya adalah proses kita mendapatkan nilai tersebut. Begitu juga dengan memperingati sebuah peristiwa penting dalam hidup kita.

Tiga tahun yang lalu saya pergi ke Batusangkar. Menjalankan sebuah “tradisi” perkuliahan. Yaitu penerapan bidang ilmu ke tengah masyarakat. Atau yang lebih dikenal dengan sebutan KKN. Bukan dalam arti pencurian (Korupsi Kolusi dan Nepotisme), melainkan kuliah kerja nyata. Dalam kegiatan ini setiap mahasiswa dituntut untuk proaktif melaksanakan program yang dibuat oleh kampus atau instansi lainnya. Selain itu, ada juga program pendukung, yaitu dari mahasiswa yang bersangkutan. Tiap-tiap individu harus mempunyai program pendukung itu.

Sewaktu kegiatan itu berlangsung, selama empat puluh hari, saya tidak termasuk ke dalam mahasiswa aktif. Baik dalam kelompok maupun individu. Bukan berarti saya fakum. Saya lebih mendekatkan diri kepada beberapa tokoh-tokoh nagari. Meskipun itu di luar dari program yang sudah ditentukan. Saya tidak peduli. 

Waktu begitu cepat berlalu. Tanpa terasa aku harus kembali ke kampus lagi. Namun saya merasa puas dengan semua yang saya alami ketika berada di Batusangkar. Banyak peristiwa yang menjadi pengalaman. Bahkan saya sendiri tidak bisa menguraikannya. 

Seminggu sebelum kembali ke kampus. Saya dan beberapa orang kawan serta ditemani oleh seorang tokoh nagari (humas) mengadakan malam perpisahan. Banyak cerita. Bersenda dan bergurau. Kami tidak peduli kepada hari yang semakin lama semakin larut. Tiba-tiba saja tokoh nagari itu, kami memanggilnya Udo, bernyanyi dengan irama sedih. Saya tidak bisa memainkan salung. Untuk itu dengarlah lagu yang saya nyanyikan ini. Begitu ucapnya. Dan suatu saat, lagu ini akan menjadi kenangan buat saya. Mungkin buat kalian juga. Sambungnya. 

Pertama dia menyanyikan lagu yang berjudul “Hujan”. Saya lupa nama pencipta dan penyanyi sebenarnya. Lagu itu begitu dihayatinya. Dengan irama gitar yang serak-serak basah. Tanpa disadari air matanya mengalir di kedua pipinya. Dia terus bernyanyi. Tidak cukup hanya sekali. Berkali-kali dia menyanyikan lagu tersebut. Lagu ini tidak akan saya lupakan sampai saya mati. Ujarnya lirih. Saya yang sudah akrab dengannya hampir terbawa suasana. Saya menahan air mata. Sebab saya benci dengan yang namanya “menangis”. Jangan lupakan lagu ini. Tambahnya. 

Peristiwa itu sampai sekarang masih melekat dalam kepala saya. Apa lagi ketika musim hujan saat ini. Rasanya saya berada di masa tiga tahun silam. Dari peristiwa itu saya menyadari betapa besarnya rasa kehilangan terhadap orang yang ditinggalkan. 


*Tulisan ini pernah dimuat di koran Singgalang Minggu (Mantagi)

Post a Comment

 
Top