Oleh : Riyon Fidwar
Sebenarnya
saya kurang mengerti apa yang dinamakan kaba
dan seperti apa kaba di
Minangkabau itu disampaikan. Ketidakmengertian ini bukan berarti tidak tahu,
melainkan tahu tentang kaba. Tetapi
bagaimana kaba itu secara
sistematisnya, mulai dari mula sampai akhir masih terlalu jauh agaknya bagi
saya, apa lagi untuk memberi sebuah pengertian. Sejak mendengar kata ini
(kaba), kira-kira tiga tahun yang silam. Saya langsung bertanya apa itu kaba dan siapa yang membuatnya? Namun
pertanyaan itu tidak mendapat jawaban.
Setelah
lama bergaul dan hidup dalam rumpun yang sistem kekerabatan Matrilineal ini,
nampaknya kekurangmengertian tentang sesuatu yang menjadi pertanyaan dalam
diri, yaitu tentang arti kaba telah
saya ketahui, baik secara singkat maupun secara panjangnya. Ternyata kaba itu artinya adalah kabar yang
disampaikan oleh seseorang kepada orang lain. Cara penyampaian kaba biasanya didendangkan. Penyampaian ini
biasanya berisi sejarah, nasihat-nasihat atau larangan-larangan, dan sebaginya.
Dan biasanya yang sering dikabakan
oleh si tukang hikayat adalah tentang Bondo Kanduang dan Cindua Mato.
Siapa
yang tak mengenal Bondo Kanduang. Setiap masyarakat Minangkabau pastilah tahu
siapa Bondo Kanduang itu sebenarnya. Setidaknya setiap kali disebut kata Bondo
Kanduang mengerti dan paham. Ada yang beranggapan Bondo Kanduang itu adalah ‘ibu
kandung’. Ada juga pendapat lain mengatakan bahwa Bondo Kanduang adalah
perempuan yang ditinggikan derjatnya di atas rumah gadang. Sebagai bangsa yang memeluk sistem kekerabatan
Matrilineal atau kekerabatan dari pihak ibu, wajar saja jika seorang perempuan
mendapat nilai lebih. Dengan kata lain, perempuanlah ‘pemegang semuanya’ bahkan
sampai kepada kunci rumah gadang. Bagaimana
dengan lelaki Minangkabau? Lelaki Minangkabau tidak kalah juga pentingnya dalam
sebuah persukuan. Lelaki berfungsi sebagai pengatur adat lembaga sukunya,
itulah yang disebut sebagai Mamak. Di
tangannyalah semua urusan persukuan tertumpu. Dan keputusan mufakat ada di
tangannya. Menghitamkan dan memutihkan
seluruh kaum kerabat.
Kalau
sistem kekerabatan dari pihak ayah, lelaki memang ditinggikan. Bukan berarti
perempuan tidak mempunyai pengaruh. Sebenarnya kedua sistem ini memiliki
perbedaan yang sangat kasat oleh mata. Meskipun ada juga sebahagian orang
mengatakan bahwa sistem kekerabatan dari pihak ayah dan dari pihak ibu itu banyak
sekali perbedaanya. Sebenarnya tidak terlalu besar. Coba kita masuk sedikit ke
dalam ranah budaya kedua kekerabatan ini, pastilah akan ada perbedaan yang
sangat tipis dari keduanya.
Berbicara
tentang sebuah kebudayaan memang tidak ada batasnya, bahkan tidak terlalu
sulit. Yang memberi kesulitan sebenarnya memahami kebuadayaan itu sendiri. Seperti
halnya memahami isi kaba. Di
Minangkabau kaba telah ada jauh-jauh
hari. Bahkan jauh sebelum saya dilahirkan. Masyarakat Minangkabau memiliki
bermacam ragam kaba, salah satunya
adalah kaba Malin Kundang. Kenapa
saya sebut demikian, sebab Malin Kundang itu sendiri tidak hidup di dunia
nyata. Malin Kundang hanyalah sebuah kaba
yang diceritakan kepada masyarakat Minangkabau dengan tujuan untuk tetap
berbuat baik kepada orang tuanya, terutama kepada ibu. Sebab ibu memiliki
derjat yang paling tinggi dibandingkah dengan ayah. Apalagi di Minangkabau yang
kita kenal sebagai negeri Matrilineal. Seperti halnya di Sumatera Utara, yaitu kaba Sampuraga. Dan hikayat seperti ini
telah berkembang dan telah menjadi momok tersendiri. Mengapa demikian? Karena
penyampaian kaba itu sendiri diceritakan
secara turun-temurun kepada anak dan cucu. Seperti yang telah dijelaskan di
muka tadi, bahwa kaba itu berisi nasihat-nasihat. Itulah sebabnya kaba itu dipercayai kebenarannya.
Begitulah
salah satu cara untuk menjalin sebuah kekerabatan dalam masyarakat Minangkabau.
Semua berita yang disampaikan oleh seseorang kepada orang lain di sebut kaba. Tetapi pada hari ini telah jarang
kita dengar kata kaba, kita telah
akrab dengan sebutan berita.
*Tulisan sudah dimuat di koran Singgalang Minggu (Mantagi)
Post a Comment