0



Oleh Riyon Fidwar*

            Apa yang akan tergambar dalam pikiran kalian jika mendengar kata “kepo”? Ya, tentu seseorang yang ingin tahu tentang orang lain. Ketika saya mendengar kata “kepo” ini, saya sama sakali tak mengerti apa arti dari kata itu. Sebab di kamus bahasa Indonesia kata tersebut tidak ada tercatat. Ini pasti bahasa anak muda atau bahasa gaul. Yang saya sendiri terlalu lambat mendapat dan menggunakan kata tersebut. Dua kali, tiga kali, bahkan sampai enam kali saya membolak-balik itu kamus untuk mencari tahu arti kata tersebut. Tetap juga tidak ketemu.

            Akhirnya saya tanya sama kawan yang mengenalkan kata tersebut di telinga saya. Itu sebuat bagi orang yang ingin tahu tentang anda, katanya. Misalnya seseorang ingin tahu sekali tentang orang lain, tak cukup pada orang di sebelahnya untuk bertanya tentang orang yang ingin diketahuinya itu, melainkan sampai kepada barang-barang kita digeleda. Ya, tentu saja secara diam-diam. Sambung kawan saya. Apa urusannya? Saya bertanya. Masih belum mengerti. Itulah yang disebut kepo. 

            Saya bingung sendiri. Kok, ada orang di zaman sekarang yang mengamali sifat tersebut, maca tak ada kerjaan lain. Bagaimana jika dia dikepokan orang lain, apa dia tahu dan merasa risihkah? Tanya saya kembali sambil bercanda. Kawan saya tertawa seolah-mengerti. Saya tunggu jawabannya dengan muka serius. Lama sekali. Saya ulang lagi pertanyaan tersebut kepadanya. Dia hanya tersenyum. Kemudian dengan tiba-tiba dia berteriak. Taaiiikkk itu orang kepo! Dengan mata membesar menyeroti wajahku. Bahkan beberapa tetes air ludahnya tersangkut di pipi dan jidadku. Agh… baunya bekas ludah itu. Polusi penciuman, gerutu dalam hati saya. 

            Dia tertawa setelah memaki orang kepo itu. Saya juga ikut tertawa. Jika ada orang yang seperti itu (kepo) kedapatan olehmu apa tindakanmu selanjutnya? Tanyaku memancing kembali amarahnya. Saya suka sekali menaikkan amarahnya terhadap sesuatu yang tidak dia sukai. Dia memutar pembicaraan ke arah politik dan musibah kabut yang melanda kota yang semakin hari semakin parah. Tapi saya tak mengacuhkan, tetap saja pertanyaan yang tadi saya ulang. Ah, tak usah membicarakan hal  itu, membosankan. Elaknya. Tapi tetap saja pertanyaan tersebut saya ulang lagi. Jika ketahuan sama saya, akan saya pijak-pijak mukanya, saya gigit itu telinganya sampai keluar darah. Puas!. Bentaknya kepada saya. 

            Hati saya semakin geli mendengar jawaban demi jawaban yang keluar dari mulutnya. Jika sekilas dilihat dari tampangnya berkesan keras. Namun memiliki selera humor yang tinggi. Itu sebabnya saya senang berteman dengannya, meskipun saya suka membuat tingkah yang aneh-aneh. Misalnya membuat sesuatu yang tidak dia sukai. Tapi dia tak pernah marah sedikit pun kepada saya. Hubungan pertemanan kami sudah lama. Dia lebih suka membicarakan hal-hal yang berbau politik dari pada membicarakan orang kepo atau sejenisnya.

            Sebenarnya sifat tersebut tidak perlu dipelihara. Buanglah jauh-jauh sifat tersebut. Itu akan membuat hubungan sesama kawan akan berantakan. Tak menutup kemungkinan akan berujung perkelahian. Biasanya sifat ini di warisi oleh perempuan. Uh, kaum hawa yang centil. Membuat gemes. Jika ada laki-laki yang memiliki sifat tersebut, uh, akan kubuat jadi apa dia, mungkin jadi agar-agar. Kemudian berpikir sejenak. Bukan, bukan. Jadi es cendollah biar segar. Kami tertawa sembari berdoa agar dijauhkan dari orang-orang kepo. Amin.

*Penulis bekerja di ruang Pendokumentasian TJ 

Tulisan telah dimuat di koran Singgalang Minggu (Mantagi), 23 Maret 2014

Post a Comment

 
Top