0
Cerpen Riyon Fidwar

Kami memanggilnya kakek Adnan. Kami mengenalnya sebagai seorang pendongeng. Entah sejak kapan kakek pandai mendongeng. Mungkin sejak dia masih kanak-kanak atau mungkin juga sejak masa remajanya. Entahlah. Yang jelas, jauh sebelum aku dilahirkan kakek sudah pandai mendongeng. Ada-ada saja dongeng yang diceritakannya kepada kami. Setiap hari. Dan kami pun senang mendengar cerita-ceritanya. Meskipun sebahagian dari kami tahu, bahwa kakek hanya mengelabuhi kami dengan kata-katanya. Kakek memang pandai memainkan bahasa yang membuat kami lupa akan sebahagian hari-hari kami habis bersamanya.


Pada suatu hari, kami melihat kakek sedang duduk di teras rumahnya sambil membolak-balik sebuah kitab sambil menggeleng-gelengkan kepala. Tapi kami tak tahu kitab itu berisi apa. Dan kami tak pernah tahu. Seketika, aku memberanikan diri untuk menanyakan tentang kitab yang ada di tangan kakek. Kakek hanya menggeleng dan tersenyum. Tanpa ambil pusing, kami pun langsung mengerubungi kakek, seperti sekawanan semut mencium harum gula. Dan kakek pun menutup kitab tersebut dan langsung membuka cerita. Seperti biasa. Ketika kakek mulai bercerita, kami pun mulai mencabuti rambut pituh di kepala kakek. Tanpa disadari sudah banyak saja anak-anak yang lain berdatangan untuk mendengar cerita kakek. Selain mencabuti rambut putih di kepala kakek, ada juga di antara kami yang hanya bermalas-malasan di pangkuan kakek dan ada yang duduk bersila di depan dan di samping kakek.

Setelah cerita yang pertama telah selesai, kakek pun menyambung ceritanya yang kedua, yaitu hikayat kutu. “Pada jaman dahulu…” kakek memulai ceritanya. “…jauh sebelum kalian, cucu-cucu kakek dilahirkan, tepatnya pada jaman kerajaan yang dipimpin oleh seorang raja yang bernama…hmm…”
Lama sekali kakek berpikir mengingat-ingat nama raja pada masa itu. Ah, mungkin ini merupakan suatu starategi kakek untuk mengibuli kami. Dalam kakek berpikir itu, seseorang di antara kami mengejutkan kakek dengan sebuah pertanyaan “Kek, cepatlah kasih tahu siapa nama raja kita dahulu!” Anak-anak yang lain pun ikut mendesak kakek. Namun kakek tidak mengacuhkan. Malahan kakek memandang kami dengan menutupi sebelah matanya.
Kemudian kakek menyambung kembali ceritanya “…nama raja kita pada waktu itu adalah… oh, ya, maaf. Kakek lupa siapa nama raja kita pada waktu itu. Sebab kakek belum bisa menulis pada masa itu...” kakek tertawa dengan senangnya. Namun, kakek dengan semangat menyambung ceritanya.
“…Pada masa itu ada seorang perempuan orang desa kita ini yang dibawa terbang oleh kutu yang ada di kepalanya. Dia dibawa terbang ke gunung dan kemudian menyerahkannya kepada seorang perempuan tua yang di tangannya sebuah gergaji besi yang besar lagi tajam. perempuan itu bernama : Nenek Gergaji. Rambutnya putih panjang tak pernah disisir. Matanya sebesar batok kelapa. Mulutnya besar, lebar dan giginya hitam, taringnya tajam-tajam. Juga lidahnya tebal panjang bercabang, seperti lidah biawak. Yang jelas, orang-orang pada waktu itu takut pergi ke gunung itu, takut bertemu dengan Nenek Gergaji.
Perempuan yang dibawa terbang oleh kutu itu langsung disiangi oleh Nenek gergaji tersebut. Kemudian tulang-tulangnya digantung di dahan-dahan kayu dekat rumahnya. Ya, waktu itu Nenek Gergaji berpesta-pora.
Sedangkan di desa, orang tua dari anak perempuan ini menangis sejadi-jadinya, sebab perempuan itu adalah anak semata wayangnya. Para famili dan kerabat orang tua anak perempuan ini mengadakan kenduri dan membaca ayat-ayat suci untuk mengusir kekuatan jahat Nenek Gergaji ini. Bukan saja famili dan kerabat dari orang tua anak perempuan ini, bahkan orang-orang sekampung pun berupaya untuk membunuh Nenek Gergaji. Bermacam-macam cara yang dimufakatkan. Ada yang mengusulkan pergi langsung ke rumahnya, lalu membunuhnya. Ada juga yang mengusulkan membuat ranjau di sekitar gunung semacam galian sumur dalamnya sekitar 1-2 meter, kemudian meletakkan bambu yang telah diruncingkan di dalamnya. Bahkan ada juga usulan untuk menyantetnya.
Orang-orang di kampung semuanya bersepakat untuk memilih usul yang terakhir, yaitu dengan cara menyantet. Tetapi, kabar itu langsung didengar oleh raja. Diutuslah salah seorang petinggi kerajaan ke desa bahwa raja tidak setuju dengan hasil mufakat masyarakat tersebut. Itu adalah perbuatan syirik. Dilarang oleh ajaran agama. Orang-orang di desa pun kesal dengan keputusan sang raja. Seorang tabib kerajaan pun memberi usul pula kepada raja bahwa membunuh  Nenek Gergaji itu tidaklah gampang. Nenek Gergaji bisa dibunuh dengan cara memberi ia makan kapur sirih. Tapi bagaimana caranya. Tabib ini pun tak habis akal, Nenek Gergaji ternyata suka makan daging, termasuk daging manusia.
Disembelihlah lima puluh ekor kambing untuk Nenek Gergaji. Tiap-tiap kambing diisi dalam perutnya kapur sirih. Kemudian diutuslah orang-orang desa dan juga pengawal kerajaan pergi ke gunung mengantarkan kambing-kambing itu. Ditunggulah nenek tua ini untuk memakan umpan itu. Namun, Nenek Gergaji tak mau keluar dari rumahnya. Sudah tujuh hari. Daging-daging kambing pun membusuk. Namun nenek tua itu belum juga keluar. Sudah sepuluh hari. Raja pun gelisah, sebab Nenek Gergaji belum juga memakan kambing-kambingnya. Beberapa orang pergilah memberanikan diri pergi mengintip ke dalam rumah, ternyata si Tua itu tidak ada di dalam. Semua orang kesal. Geram.
Namun, seseorang berteriak minta tolong dari dalam rimba, di tengah gunung. Semua orang berlari mendekati suara itu. Jangan-jangan orang yang berteriak itu diterkam oleh binatang buas atau telah ditangkap oleh si Nenek Tua. Setelah tiba di sana, ternyata ada sekujur tubuh yang telah renta tergolek di tanah. Tak berdaya. Yang anehnya bahagian perut nenek tua ini telah koyak, tepat di bagian ulu hati. Setelah diperiksa, ternyata benar, nenek tua ini mati... ” Kakek berhenti sejenak, setelah sekian panjang bercerita tanpa hentinya.
“Kek, Nenek Gergajikah yang tergeletak itu?” Teriak seseorang di antara kami. Sedang yang lain diam saja sambil mencabuti rambut putih di kepala kakek.
“Ia kek, apakah Nenek Gergaji mati?” Teriak seorang lagi.
Namun kakek hanya menggelengkan kepalanya dan tersenyum kepada kami. Hanya sampai di kalimat itu cerita kakek. Tak ada lanjutan. Kakek pun mengakhiri ceritanya. Aneh, tidak seperti biasa. Padahal, setiap kali kakek menutup cerita, pastilah menutupnya dengan sebuah dua pantun. Tetapi kali ini tidak. Kakek tidak menutup cerita dengan sebuah dua pantun.
“Kalian semua. Cucu-cucuku. Pastilah akan mengetahui dan mengerti apa sebenarnya yang kakek ceritakan ini.” Kemudian, kakek menyuruh kami pulang.
Sesampai aku di rumah, aku beri tahu kepada ayah tentang cerita kakek hari ini. Namun ayah Cuma menggeleng dan tersenyum.
***
Sekarang tak pernah lagi kudengar kabar kakek bahkan ceritanya. Di mana kakek sekarang, apakah dia masih hidup? Semenjak para pemberontak masuk ke desa kami dan secara membabi-buta menembaki yang di muka, hingga membunuh salah seorang peronda. Semenjak itulah keadaan di desa mulai berubah. Orang-orang desa pada takut dan banyak yang lari ke kota. Ditambah lagi bencana yang meluluh-lantakkan infrastruktur desa. Bencana itu terjadi pada hari Minggu, 26 Desember 2004. Disaat orang-orang sedang sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. dan setelah kejadian itu orang-orang kaya di desa banyak lari ke kota mencari peruntungan baru. Sebab di desa menurut mereka sudah tak lagi memberi janji. Ya, semua cita-cita mereka yang telah dibangun semenjak bertahun-tahun telah sirna, ditambah lagi infrastruktur desa hancur, seperti jalan, jembatan dan rumah-rumah penduduk. Terutama yang tinggal di pinggir laut. Apalagi infrastruktur laut, otomatis hancur. Makanya orang-orang kaya di desa pindah ke kota.
Sekitar 2-3 tahun, keadaan desa sangat memperihatinkan. Pelabuhan, jalan serta rumah-rumah penduduk yang hancur akibat bencana 26 Desember 2004 belum juga mendapat perhatian khusus dari pemerintah. Kehidupan di desa kini telah susah. Apalagi hidup berpenghasilan dari laut, sangat jauh susahnya dibandingkan dengan penghasilan di darat. Laut yang dulu memberi sedikit harapan kepada kami telah hancur pula. Selain karang-karang di dasar laut rusak, hutan bakau dan pohon kelapa yang tumbuh di pinggir pantai pun ikut rusak.
Kawan-kawan sepermainan pun telah banyak yang meninggalkan desa mengikut orang tuanya ke kota. Ada juga yang ingin melanjutkan sekolahnya ke tingkat menengah atau tingkat atas. Dan jarang pula pulang ke desa. Meskipun studinya telah selesai atau tidak selesai. Mereka lebih senang hidup di kota.  Sebab di kota lebih menjanjikan. Ya, hampir semua orang-orang kaya di desa, termasuk toke-toke ikan beserta keluarganya pindah ke kota. Begitu juga kawan sepermainan, kawan yang sama-sama pengagum kakek dan hikayatnya.
Suasana di desa seperti di dalam goa, gelap. Tanpa cahaya kehidupan. Hari-hari kami lewati dengan kesunyian dan kehancuran. Tak ada yang peduli. Bukan sebulan dua kami melewati kehidupan yang sunyi lagi hancur, melainkan bertahun-tahun lamanya.
Melihat kawan-kawan yang pergi ke kota melanjutkan studi, siapa yang tidak iri. Aku pun berniat ingin mengikuti jejak meraka. Niatku ini langsung kumufakati dengan ayah. Namun ayah menggelengkan kepala dan tersenyum. Ah, ternyata aku belum bisa menghancurkan benteng kasihan dalam diri ayah.
“Ijazah bukanlah jalan satu-satunya untuk merubah nasib. Apa gunanya engkau kusekolahkan kalau akhirnya engkau enggan pulang, berkirim kabar pun tak. Ayah takut engkau sombong karena ilmu. Berhentilah mengkhayal.” Sejenak ayah terdiam. Kemudian menyambung lagi perkataannya. “Engkau adalah obat letihku. Apalagi melihatmu berada di rumah ketika aku pulang melaut. Senang hatiku. Terobat agaknya luka kulitku yang diiris matahari.” Tutur ayah dengan perasaan yang dalam.
Mendengar tutur ayah yang demikian rasa terhenti darah mengalir dalam diri. Serasa dinding rumah yang kokoh hancur karena tidak lagi kuat menahan beban atap yang semakin berat, seperti bencana 26 Desember 2004 yang lalu meluluhlantakkan isi desa. Ah, ternyata pikiran orang-orang laut tentang pendidikan tak sedalam tempatnya mengail nasib di tengah laut.
***
Sudah bertahun-tahun kami hidup dalam kesunyian dan kehancuran. Di antara kesunyian dan kehancuran itu, kami pun langsung diuji dengan musibah yang pedih. Yaitu meninggalnya anak dari sauradara ayah. Tak lama setelah itu, sekarang giliran ayahlah yang mendapat cobaan yang pedih itu. Anak kandung ayah sendiri sekarang yang berpulang. Bertambah menjadi-jadi kesusahan ayah. Belum lagi kering tanah makam anak kandung ayah, sekarang ibu kandung ayah, nenekku, juga meninggal. Ya, Cuma selisih sebulan. Ayah telah kembali dirundung pilu yang sarat. Ah, terlalu banyak dan berat beban yang tertumpuk di pundak ayah, sebanyak karang-karang yang hancur di dasar laut, seberat gunung yang selalu diceritakan kakek tempo hari. Kasihan ayah.
Kematian bukanlah suatu alasan untuk membenci Tuhan, melainkan kematianlah yang mempererat kita kepada Tuhan. Apakah aku harus menangis dan meratap? Tidak. Aku telah berjanji pada kakek bahwa menangis itu adalah haram bagi laki-laki.
Bukan ayah saja yang terpukul, aku juga merasa. Memang sakit dan pedih. Ya. Ternyata bencana dan takdir takbisa didustai. Aku pun memutuskan untuk tetap tidak melanjutkan niatku pergi ke kota melanjutkan studi. Telah kutetapkan, bahwa aku harus membantu ayah untuk menghilangkan rasa sedihnya. Sebab, hanya akulah orang yang menjadi obat bagi luka ayah, meskipun ada juga yang lain, yaitu isterinya.
Aku ikut ayah pergi melaut setiap hari. Mengail harapan yang masih tersisa pada bangkai-bangkai karang di dasar laut sana. Ketika berada di tengah laut, terapung-apung di tengah samudera yang tak bernama. Seribu gelombang mengayun-ayun. Dan seketika itu pula aku teringat kepada cerita kakek yang selalu didongengkannya tempo hari, yaitu hikayat ‘kutu’. Aku pun langsung bertanya kepada ayah. Tapi ayah cuma menggelengkan kepalanya dan tersenyum. Ya, sebelumnya aku sudah menduga ayah akan merespon begitu kalau aku bertanya tentang cerita kakek. Sejak saat itu, aku terus teringat akan kakek dan ceritanya. Padahal, sudah bertahun-tahun aku tak pernah sedikit pun lagi teringat akan kakek juga ceritanya. Bahkan cerita tentang hikayat ‘kutu’ yang sering diceritakan kakek pun telah pudar dalam ingatan. Ya, itu sejak para pemberontak masuk ke desa dan juga bencana pada Minggu, 26 Desember 2004.
Tak pernah aku bertemu lagi dengan kakek. Semua orang yang aku sayangi telah pergi jauh, hingga tak terjangkau oleh pandangan. Ditambah lagi ketika desa tak dapat lagi memberi janji. Ketika semua orang sibuk memikirkan nasibnya masing-masing. Semenjak itulah aku lupa pada kakek juga ceritanya. Lupa nasihat-nasihat dari kakek. Lupa semuanya. Tetapi, entah iblis apa yang dikirim angin laut pada hari ini kepadaku, sehingga aku teringat kembali akan kakek dan ceritanya. Ah, dimana kakek sekarang? Masih hidupkah dia? Masih pandaikah dia mendongeng seperti dahulu?
Suatu hari yang ceria. Ketika para nelayan berdatangan dari laut dengan wajah penuh senyum, mungkin hari ini mereka mendapatkan banyak ikan untuk isteri dan anak mereka. Ketika burung-burung punai terbang dari timur ke barat dengan membawa sepotong ulat untuk anaknya yang baru menetas dari telur. Aku datang ke rumah kakek. Seperti biasa. Pada pukul 14.00 wib. Waktu di mana kakek sering bercerita kepada kami tentang dongeng-dongengnya yang selalu menghibur, sambil mencabuti rambut putih di kepala kakek. Ternyata kakek tidak lagi tinggal di situ. Ketika kutanya kepada orang-orang yang dahulu akrab dengan kakek. Kakek telah menikah lagi dan telah pindah ke kaki gunung, desa sebelah.
Serasa tak percaya mendengar berita itu, bahwa kakek telah menikah lagi. Ah, tetapi itu tak jadi soal, yang penting aku harus bertemu dengen kakek. Aku ingin mendengar cerita-ceritanya yang dahulu. Begitu tiba di halaman rumah kakek, kulihat kakek duduk di teras dengan kitab di tangannya. Dengan kemejanya yang dulu, sarungnya yang dulu dan juga kopiahnya yang dulu. Ternyata kakek tidak berubah. Masih seperti dahulu juga. Tetapi aku merasa malu kepada kakek, jika aku menemuinya apa lagi berhadapan dengannya kelak, apa yang akan kukatakan kepada kakek?
Setelah bertahun-tahun lamanya kakek aku tinggalkan, tanpa kabar. Kemudian tanpa rasa bersalah aku bersujud di hadapannya sebagai seorang perajurit yang kalah dari medan. Tidak. Aku tidak akan menemui kakek. Aku tak ingin menambah kesedihan dalam diri kakek. Aku tahu pasti, sejak kejadian yang melanda desa, kakek pastilah teramat sedih. Apalagi kami meninggalakan kakek begitu saja, tanpa kabar.
***
Ketika aku pulang ke rumah, bayangan wajah kakek terus membayangi. Ada apa dengan kakek? Belum sempat aku memecahkan jawaban dari tanyaku. Tiba-tiba dari luar aku mendengar teriakan yang memanggil-manggilku. Dan langsung aku menemui suara itu.
“Bang. Abang , kakek meninggal!”
“Ha. Kapan?”
“Tadi pagi”
“Kakek sakit apa?”
“Kakek tidak sakit. Kakek bunuh diri. Kakek mencabik dan mengeluarkan hatinya dengan pisau dapur.”
Mulutku ternganga mendengar kabar itu. Kemudian aku disadarkan lagi oleh si pemberikabar ini.
“Benar, bang. Kakek sendiri meninggalkan surat wasiat untuk abang”
Aku benar-benar tak mengerti. Apa lagi tentang surat wasiat ini. Mengapa kakek memberi surat wasiat kepadaku? Sejak kapan kakek menulis surat wasiat ini. Aku benar-benar heran. Tak pikir panjang lagi, aku langsung lari ke rumah kakek. Seseorang menyodorkan selembaran kertas bertulis tangan dan langsung kubuka surat itu:
Sekarang aku merasa tenang mati seperti ini dan aku pun merasakan betapa pedih mati dengan tidak berhati. Maaf. Aku tidak sempat memakan dagingmu seperti engkau memakan daging nenekku. Aku berharap setelah ini tak ada lagi dendam.
Lama sekali aku termenung membaca surat wasiat dari kakek ini. Aku teringat kembali ‘Hikayat Kutu’ yang diceritakan kekak dahulu. Tentang perempuan yang dibawa terbang oleh kutu dan kemudian dimakan oleh Nenek Gergaji. Mungkin itu sebabnya mengapa kakek berhenti dan menutup cerita waktu itu. Aku mengerti sekarang, mengapa kakek tak mau melanjutkan ceritanya.

Padang, 06-09 Oktober 20212

Post a Comment

 
Top