Dialektika Sastra dan Penjara
Oleh Riyon Fidwar*
Dialektika
sastra dari dulu memang tak pernah berakhir. Selalu ada saja bahan yang
dijadikan problematika dan itu menjadi sebuah ilmu. Hal ini menunjukkan bahwa
pegiat sastra di Indonesia memiliki integritas yang tinggi bagi perkembangan
sastra. Mereka tidak hanya mencipta karya tetapi juga ikut serta menilai dan
memperhatikan perkembangannya. Meskipun dalam sastra (secara akademik) ada dua
kubu, yaitu kubu pegiat sastra (sastrawan/i) dan kubu kritikus sastra.
Sebenarnya ini sama saja. Tak ada yang perlu dibagi-bagi. Kedua kubu ini adalah
sama-sama pegiat sastra. Sastrawan atau pencipta karya juga berhak mengkritisi
setiap karya layaknya seorang kritisi / kritikus sastra. Begitu juga dengan
kritikus sastra, mereka juga berhak mencipta karya sebagaimana layaknya seorang
pencipta karya. Keduanya sama-sama saling mengisi.
Hidup dan tumbuh
di dunia kesastraan tidak seenak dan segampang yang dibayangkan. Memang, jika
dilihat sekedarnya saja, hidup di sana sangat senang, sebab yang dipelajari
semata-mata hanyalah puisi, cerpen, novel dan drama. Apalah susahnya
mempelajari itu semua. Namun, ketika masuk ke dalamnya, baru akan terasa
“ganasnya” hidup dalam sastra. Bagaimana tidak, orang-orang sastra biasanya
“tidak mengenal” bahasa damai. Semua yang dikandung bahasa adalah estetika. Tak
ada yang perlu disembunyikan. Kita lihat saja misalnya bahasa yang digunakan
Sutardji Colzum Bachri salah seorang sastrawan Indonesia, yang dikenal dengan
puisi mantra. Dia menggunakan bahasa vulgar. Misalnya dalam salah satu kumpulan
sajaknya yang berjudul “O, Amuk, Kapak”. Segampangnya saja dia menyebut
“jembut”, “pukimak”, “babi” “kontol”. Meskipun demikian, sajak-sajaknya tetap
mengandung estetik yang tinggi, baik secara estetika maupun secara akademik
(ilmiah). Buktinya, banyak para pembaca yang mengagumi kebebasan bahasanya. Ya,
bahasa harus dibebaskan. Harus dilepaskan dari ikatan-ikatan yang membelenggu
manusia pada hakekatnya.
Perkembangan
sastra sudah tidak perlu lagi saya sebut lagi macam mana. Grafiknya selalu
meningkat dari hari, minggu, bulan dan bahkan tahun. Karya sastra sudah mulai
dijadikan “kebutuhan”. Dengan begitu, yang namanya “polemik” tentu akan selalu
hadir. Hal ini juga salah satu penguat perkembangan sastra di Indonesia. Dengan
adanya polemik, masyarakat banyak tahu dan secara diam-diam membaca dan
mempelajari keberadaan sastra tersebut. Di tahun ’65 yang kita kenal dengan
polemik kebudayaan antara Manifes Kebudayaan dan Lekra. Kedua kubu sama-sama
membutuhkan (karya) sastra sehingga terjadi pertentangan ideologi. Perbedaan
ideologi ini menyangkut dengan liberalisasi dan kebudayaan. Situasi saling serang
pun terjadi kala itu, perang (ideologi) dingin.
Inilah salah
satu keunikan dalam sastra, sehingga para pegiat dan kritisi sastra bergairah
menulis dan mengkritiknya secara tajam dan serius sehingga melahirkan sebuah dialektika.
Perdebatan-perdebatan dalam sastra biasanya sangat jarang berakhir dalam waktu
sangat singkat. Kita lihat saja perdebatan antara Pamoedya Ananta Toer dengan
Muchtar Lubis. Selama bertahun-tahun perdebatan hebat itu berlangsung dan itu
menjadi sebuah sejarah yang tak bisa dilupakan dalam perkembangan sastra
nusantara ini. Jauh sebelum itu, perdebatan sastra pernah terjadi di masa
Pujangga Baru (PB). Yang berawal dari Sutan Takdir Alisjahbana (STA) dengan
Armin Pane. Mereka meributkan masalah kebudayaan dan sastra. Tetapi perdebatan
tersebut tak selantang antara Pram dan Muchtar Lubis yang sampai
memburuk-burukan satu sama lain. Namun sastra memandang hal tersebut adalah
lumrah. Sebab itu adalah salah satu yang diinginkan oleh sastra itu sendiri.
Jika tidak demikian, sastra akan monoton dan lambatlaun sastra akan hambar dan
bisa jadi akan punah ditelan kehampaan.
Seiring
berjalannya waktu, perkembangan dan perdebatan sastra semakin hebat saja.
Seakan-akan para pegiat ini tak ada jera dan hentinya berdialek. Polemik demi
polemik membuncah dari masa ke masa. Mungkin ini sudah dianggap hobi bagi para
pencinta sastra. Misalnya saja, ketika Arief Budiman dan Ariel Heryanto
mengangkat “Sastra Kontekstual” ke ranah sastra. Penyambutannya sangat hangat
disambut oleh pegiat-pegiat sastra. Pro-kontra menyelimuti dunia sastra.
Terlepas dari suka atau tidak, perdebatan-perdebatan sastra memang tak ada
putus-putusnya. Selama sastra itu dicipta dan dibaca, polemik-polemik sastra
akan muncul dan berkembang. Di sinilah dilihat bagaimana intergritas setiap
sastrawan (atau krtitisi sastra). Sejauh mana pengalaman bersastra sangat
dilihat dalam hal ini. Bukan bagaimana cara mencipta saja yang “diributkan”
melainkan juga sejarah penciptaan karya itu sendiri.
Ya, meributkan
sastra tak ubahnya dengan meributkan dunia politik. Tetapi perbedaan kedua
tentu ada. Jika di dunia sastra, polemik itu pasti akan berujung persaudaraan,
sedangkan politik tentu saja akan berujung kalah atau menang. Pram dan Mochtar
Lubis misalnya, mereka berdialek sampai meregang uratmari, namun mereka tetap
bersaudara. Sebab mereka tahu dan mengerti bahwa yang mereka ributkan itu
adalah semata-mata hanya untuk perkembangan sastra. Jika politik, banyak sudah
bukti yang kita lihat, kalah-menang (hukum-penjara) adalah ujung dari
perdebatan dan itu tak perlu rasanya saya jelaskan lagi di sini. Karena hal
tersebut memang tak perlu dijelaskan. Di sini saya hanya menuliskan
perdebatan-perdebatan sastra yang begitu panjang.
Kekayaan akan
ilmu dari sastra tak terbilang banyaknya. Layaknya seperti pasar tradisional di
tengah-tengah kota besar. Semua ada. Jika di Sumatera Barat ada Pasar Raya yang
menyediakan semua kebutuhan masyarakat, begitu juga di Aceh, ada Pasar Aceh,
dan di Jakarta ada Tanah Abang yang menyediakan semuanya. Di pasar-pasar inilah
harga barang biasa kita temukan harga miring dan sangat terjangkau bagi
konsumennya. Begitulah sebenarnya dunia sastra menawarkan ilmu kepada khalayak
banyak. Namun sayangnya, banyak di antara kita yang kurang (atau tidak)
mengerti sama sekali dengan itu semua. Tapi itu tak menjadi soal bagi
perkembangan karya, sastra khususnya.
Masuknya cyber dalam sastra juga pernah
diperdebatkan oleh kritisi-kritisi sastra. Pro dan kontra juga muncul dalam
dialek ini. Ada yang beranggapan bahwa sastra cyber tak layak disebut sastra, sebab keberadaannya “maya”, tidak
permanen. Hari ini ada besok raib. Namun di balik itu, ada juga yang
mempertahankan bahwa sastra cyber adalah
salah satu khasanah sastra yang baru. Keberadaannya harus diterima guna untuk
kemajuan sastra itu sendiri. Tapi perdebatan sastra cyber tidak berlangsung lama diperdebatkan.
Pada awal 2014,
tepatnya di bulan Februari. Muncul sebuah buku yang menggelitik hati ketika
membaca judulnya, yaitu “33 Tokoh Sastra Paling Berpengaruh”. Begitu buku itu
terbit, beberapa kritisi sastra langsung membuka sebuah wacana hebat dan hingga
hari ini masih dibahas dan bahkan sudah meruncing. Apa sebenarnya yang
diributkan dari buku itu, tentu saja nama tokoh-tokoh yang tertulis di dalamnya.
Yang perlu saya tanya di sini adalah siapa sebenarnya yang layak dan yang tidak
layak menjadi tokoh sastra yang berpengaruh itu? Apa saja ciri-cirinya?
Benarkah buku ini telah disaring matang-matang oleh penyusunnya (dalam hal ini
adalah tim 8)? Atau hanya sebatas kong-kalikong saja? Ah, yang jelas, buku itu
kini sudah terbit dan sudah edar pula di toko-toko buku.
Sejak
September lalu, perdebatan buku ini kian runcing, pasalnya beberapa orang yang
mencoba mengkritisi, seperti Saut Situmorang dan Iwan Sukri, dipolisikan oleh
Fatin Hamama. Alasannya mereka telah mencemarkan nama baik. Pada hal kedua
kritisi itu hanya mempermasalahkan kehadiran buku “33 Tokoh Sastra Paling
Berpengaruh” itu. Mereka, Saut dan Iwan, mepertanyakan bagaimana bisa nama
Denny J.A bisa tercantum di buku tersebut. Apa pengaruh karyanya (Denny J.A)
terhadap dunia sastra.***
Padang, 2014
*Riyon Fidwar tinggal di Padang. Sekarang bergiat di
ruang pendokumentasian TJ.
***Terbit di Koran Singgalang Minggu, 07 Desember 2014
Post a Comment