Riyon
Fidwar*
Beberapa hari setelah pengemuman kenaikan bahan
bakar minyak (BBM), aku tak pernah lagi jalan-jalan menghabiskan hari, baik
sendiri maupun sama teman. Saya lebih asik bermain di hadapan komputer. Main games.
Sekarang saya lebih suka main di dalam rumah dari pada di luar. Ketika saya
membuka akun fesbuk melalui telpon seluler, ada beberapa pesan yang masuk. Saya
langsung membuka, ternyata dari kawan yang sering mengajak jalan. Tak salah
lagi, isi pesannya mau mengajak jalan seperti biasa. Menghabiskan hari.
Saya menolak ajakannya dengan membalas pesan tersebut. Beberapa detik
berselang, muncul lagi pesan baru balasnya. Dia bersikeras. Akhirnya dengan
berat hati saya menerima ajakannya.
Saya mempersiapkan diri esok harinya. Sekitar
pukul Sembilan pagi saya berangkat ke tempat pertemuan yang sudah dijanjikan.
Setibanya saya di lokasi, tak ada siapa-siapa. Hanya pohon-pohon kayu yang
rindang, bangku-bangku yang dingin dan sunyi menunggu di situ. Rumput-rumput
masih basah dan berkilau seperti permata. Udaranya terasa dingin dan segar.
Lima belas menit dia belum datang. Tiga puluh menit, belum juga. Saya
menggerutu dalam hati. Sialan saya dikibuli. Saat jam di layar seluler menambah
angkanya menjadi 10:15 barulah dengan perlahan-lahan kawan saya itu datang dari
salah satu penjuru mata angin. Dia datang sambil melambaikan tangan dan senyum
seperti dipaksakan.
“Maaf, aku telat.” Katanya ringan sekali. Ya,
kalimat itulah yang saya nantikan dari mulutnya tanpa harus menunggu lama. Dia
sadar diri ternyata. Lalu dia dengan senang hati mengajak jalan ke tujuan
pertama, sambil berceloteh. Dia menjelaskan padaku bahwa hari ini semua ongkos
angkutan umum sudah naik, kecuali yang satu itu. Dia menunjuk ke jalan raya.
Ada bus berwarna hijau, besar, menuju jalan Khatib Sulaiman. Kamu dapat info
dari mana, bahwa ongkos angkutan sudah naik. Di televisi dan pemberitaan di
koran-koran belum ada. Kamu mengada-ada. Namun dengan penuh semangat, dia
menjelaskan padaku bahwa ongkos angkutan umum benar-benar sudah naik.
Saya tetap melawan argumennya. Sebenarnya saya
sudah tahu ongkos angkutan umum naik. Itu sebabnya saya tak mau keluar ke
manapun. Tapi saya senang sekali mendengarkan celotehnya yang berapi-api.
Kadang-kadang ada rasa jengkel pula dalam hati ketika dia mulai menggurui dengan
hal-hal yang sudah saya ketahui. Tapi bagaimana lagi, saya yang salah sudah
berpura-pura tidak mengetahui apa-apa.
Kami berjalan menelusuri jalan-jalan yang sudah
hafal di kepala kami sambil bercerita yang menurut kami adalah hal yang sangat
penting dibahas hari ini. Padahal orang-orang di sekitar kami sudah lebih dulu
tahu. Kami telme (telat mikir). Bicara
soal ongkos yang mendadak naik itu, awalnya sempat membuat para penumpang dan
supir angkutan resah. Si penumpang tak rela mengeluarkan uang untuk ongkos yang
secara mendadak, sedangkan si supir takut juga tak dapat penumpang. Otomatis
uang setoran nunggak.
Ada isu akan terjadinya demo. Dari berbagai
kalangan yang menentang bahan bakar minyak itu dinaikkan. Baik itu dari pihak
masyarakat, para supir angkotan umum, dan tak absen para aktivis mahasiswa.
Awal kenaikan BBM itu memang terasa berat. Tapi coba lihat sekarang, seperti
tak terjadi apa-apa. Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah, mengapa saat
harga BBM naik orang pada ribut dan ingin berdemo, tapi ketika harga rokok naik
mengapa tak ada demo?
Kami berdua tertawa terbahak-bahak di trotoar
mengingat tingkah-laku msyarakat kita yang begitu agresif itu. Tanpa disadari,
kami sudah sampai ditujuan. Kami duduk sejenak melepas penat, lalu memesan minuman
dingin dan segar.
*Riyon
Fidwar tinggal di Padang. Bekerja di ruang pendokumentasian TJ
Post a Comment