0

Riyon Fidwar*

Pada awal 2014, tepatnya di bulan Februari. Muncul sebuah buku yang menggelitik hati ketika membaca judulnya, yaitu “33 Tokoh Sastra Paling Berpengaruh”. Begitu buku itu terbit, beberapa kritisi sastra langsung membuka sebuah wacana hebat dan hingga hari ini masih dibahas dan bahkan sudah meruncing. Apa sebenarnya yang diributkan dari buku itu, tentu saja nama tokoh-tokoh yang tertulis di dalamnya. Yang perlu saya tanya di sini adalah siapa sebenarnya yang layak dan yang tidak layak menjadi tokoh sastra yang berpengaruh itu? Apa saja ciri-cirinya? Benarkah buku ini telah disaring matang-matang oleh penyusunnya (dalam hal ini adalah tim 8)? Atau hanya sebatas kong-kalikong saja? Ah, yang jelas, buku itu kini sudah terbit dan sudah edar pula di toko-toko buku.

Sejak September lalu, perdebatan buku ini kian runcing, sampai-sampai dua orang kritisi sastra dipolisikan oleh Fatin Hamama, yaitu Saut Situmorang dan Iwan Sukri. Alasannya mereka telah mencemarkan nama baik. Pada hal kedua kritisi itu hanya mempermasalahkan kehadiran buku “33 Tokoh Sastra Paling Berpengaruh” itu. Mereka, Saut dan Iwan, mepertanyakan bagaimana bisa nama Denny J.A bisa tercantum di buku tersebut. Apa pengaruh karyanya (Denny J.A) terhadap dunia sastra.

Denny J.A yang menulis puisi sebagaimana yang disebutnya sebagai puisi-essay itu, yang bagi Saut sendiri tak ada pengaruhnya sama sekali terhadap sastra Indonesia. Kehadirannya di tengah dunia sastra pun bisa dibilang baru. Kok malah langsung dicatat sebagai tokoh sastra. Ini sebetulnya yang dikritik oleh Saut dan Iwan. 

Ini yang dicoba dibantah oleh Saut dan Iwan. Sastra itu memang bersifat otonom, tapi keotonomian itu harus memiliki nilai-nilai estetika yang bisa memberi pengetahuan kepada khalayak. Sebagaimana layaknya hakekat sastra. Memberikan pengetahuan dan hiburan. Tapi setelah mencoba dibedah secara akademik Saut dan Iwan terancam penjara dengan dalih kedua kritisi itu telah mencemarkan nama baik. Sebab keduanya menggunakan bahasa-bahasa yang menurut Fatin Hamama sebagai bahasa tidak semestinya diucapkan. Yaitu kata “bajingan” dan “penipu”. Bahasa yang digunakan Saut adalah kata “bajingan” sedang Iwan adalah kata “penipu”. Kedua suku kata ini dalam sastra sebenarnya masih terbilang biasa-biasa saja. Belum seganas Sutardji. Tapi mengapa Fatin Hamama mencoba mempolisikan kedua kritisi itu, apakah ada problem lain selain penyebutan kata “bajingan” dan “penipu” itu?

Itulah perlunya sejarah, tempat kita belajar. Sebagai seorang sastrawan, Fatin tentunya tahu bagaimana problematika sastra yang dari dulu berkembang dan bagaimana bahasa sastra yang digunakan oleh para pegiat-pegiat sastra itu. Sastrawan jarang sekali mengartikan bahasa itu sebagai sebuah kevulgaran atau sebuah penghinaan yang mengandung arti negatif (mungkin tak pernah terjadi).

Dialektika sastra seperti yang dilakukan oleh Saut dan Iwan memang sudah biasa terjadi di dunia sastra. Bahkan dengan bahasa-bahasa yang sangat “terpuji” sekali melebihi kata “bajingan” dan “penipu” tersebut. Dengan begitu dialek sastra akan semakin hidup dan menantang. Keras, kuat namun dengan tujuan yang benar, yaitu kebenaran. Saya pernah melihat slogan para penentang buku 33 tokoh sastra itu (lewat akun sosial fesbuk), Saut, dkk, “Hentikan Penipuan Sejarah Sastra Indonesia” dan ditutup dengan kata “#bajingan” di bawahnya. Kedua orang kritisi ini tentu tidak asal omong kosong belaka terhadap buku tersebut. Apalagi keduanya bisa dikatakan sebagai kritikus sastra yang peduli terhadap perkembangan sastra saat ini, tentu saja mereka telah mencoba menilai, membedah mulai dari sejarah hingga pengaruh karya sastrawan yang berpengaruh seperti yang dicatat dalam buku tersebut. Ada kesalahan di sana. Makanya kedua kritisi sastra itu mengangkat permasalahan itu menjadi sebuah wacana dan berharap akan melahirkan dialektika dengan tujuan memperlurus sejarah kesusastraan itu sendiri. Namun mereka terancam akan dipenjarakan oleh Fatin Hamama dengan tuduhan pencemarkan nama baik.

Bagaimana dengan Sumatera Barat yang memiliki sujuta sastrawan, dari dulu hingga sekarang, apakah hanya diam dan menerima saja pembohongan sastra lewat buku “33 Tokoh Sastra Paling Berpengaruh” itu? Salam sastra!**

Padang, 2014

*Riyon Fidwar lahir di Haloban, Aceh Singkil. Sekarang tinggal di Padang dan bekerja di ruang pendokumnetasian TJ.

 **Pernah terbit di koran harian Rakyat Sumbar, Sabtu, 20 Desember 2014.

Post a Comment

 
Top