0
Oleh Riyon Fidwar*

Bukan sastra namanya jika tidak memberikan hiburan dengan bahasa ala sastranya. Bahasa satra yang saya maksud di sini bukanlah bahasa yang ‘melankolis’ seperti orang yang sedang jatuh cinta. Melainkan bahasa yang memiliki arti dan makna sendiri. Ini kebanyakan digunakan dalam karya sastra yang kita kenal dengan sebutan novel atau roman. Misalnya novel atau roman tetralogi buruh (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Rumah Kaca) karya Pramoedya Ananta Toer. Bumi Manusia mengemas bahasanya tanpa memasukkan bahasa-bahasa yang ‘melankolis’, melainkan bahasa sederhana (umum) namun memiliki arti dan makna yang dalam. Bukan hanya Pram yang menggunakan bahasa sederhana itu ke dalam karyanya, Wisran Hadi dengan Persiden-nya juga menggunakan bahasa sederhana, namun memiliki arti dan makna yang sangat berarti. Selain itu, bahasa sastra juga (sebagian pengarang) ada yang ‘melankolis’. Bahasa ini biasanya digunakan untuk puisi, ya, mengutamakan keharmonisan. Sapardi Djoko Damono misalnya dengan sajaknya Aku Ingin. Selain itu ada juga nama-nama penyair lain yang menggunakan bahasa puisi dengan bahasa harmonis. Amir Hamzah dengan puisinya Berdiri Aku. Chairil Anwar dengan puisinya Derai-Derai Cemara. Bukan hanya ini pengarang (puisi) yang memiliki bahasa-bahasa yang ‘melankolis’, penuh keharmonisan, tentu saja, masih banyak pengarang lain. Acep Zamzam Noer, Mustofa Bisri (Gus Mus), dan lain-lain. Dalam penggunaan bahasa puisi (yang) ‘melankolis’ ini, saya tidak akan menyebutnya satu-satu, sebab terlalu banyak penyair yang menggunakan bahasa ‘melankolis’ ke dalam puisinya. Ini hanya sebagian kecil (sampel) saja dari sekian banyak penyair.
           
Dari tahun ke tahun perkembangan sastra sangat tajam, sehingga daya saing antar pengarang dalam mempertahankan karyanya pun makin ketat. Ini dipicu oleh lingkungan di luar diri si pengarang sendiri yang secara disadari atau tidak akan berdampak pada kualitas karyanya. Inilah salah satu perkembangan sastra pada dekade ke dekade. Selain itu, banyaknya pengarang sastra yang bermunculan ke permukaan. Bisa kita lihat contohnya pada koran-koran minggu yang beredar di Indonesia. Ratusan (mungkin saja seribu lebih?) judul karya (puisi dan cerpen) yang terbit satu hari dari ratusan pengarang di tanah air. Belum lagi majalah, tabloid, buletin, dan lain-lain. Itu baru sehari (edisi minggu) saja dalam seminggu. Bagaimana jika setahun? Berapa banyak judul puisi dan cerpen di dalam media cetak (koran, majalah, tabloid, buletin, dll). Belum lagi media sosial maya. Betapa kayanya dunia sastra dengan aset tersebut (belum terhitung naskah drama dan novel).
           
Tradisi kepengarangan di Indonesia sudah memiliki sejarah yang cukup panjang. Dilihat dari perspektif kepengarangan sebagai sebuah profesi, cikal bakalnya mulai pada zaman kerajaan. Seperti yang dikatakan oleh Maman S. Mahayana bahwa taradisi kepengarangan itu dimulai dari lingkungan keraton atau istana yang diperankan untuk kepentingan bangsawan. Sastra keraton mengangkat kehidupan istana dan raja-raja serta dunia supernatural. Nah, dari sini bisa dilihat bagaimana subjektifnya para pengarang pada zaman keraton itu. Mereka (pengarang) hanya mengungkapkan hal yang indah-indah, memuji, keraton, raja, puteri raja, dan sebagainya menurut kepentingan keraton atau raja, tentunya.
            
Dalam perkembangannya, peranan pengarang keraton mulai bergeser saat munculnya para pengarang atau penyalin naskah di luar keraton. Mereka hidup bagian dari sistem sosial dengan bentuk tulisan sebagai manifestasi profesinya. Hubungan dengan audiensnya juga bergeser dari hubungan yang bersemuka dan langsung pembawa cerita dan pendengar dalam tradisi lisan ke hubungan yang tidak langsung antara pengarang atau penyalin dan pembaca dalam taradisi tulis (Maman, 2005).
            
Sebelum mengenal tulisan, kesusatraan tumbuh dan berkembang secara lisan. Mengingat penyebarannya dari mulut ke mulut sehingga mendapat banyak versi sehingga antara satu dengan yang lain mengalami pengurangan dan penambahan. Misalnya saja cerita Datuak Katumanggungang dan Datuak Parpatih Nan Sabatang yang berhasil dalam pertarungan adu kerbau dengan keraajaan Aceh. Sebagian pendapat lain mengatakan bahwa adu kerbau itu bukan dengan kerajaan Aceh, melainkan dengan salah satu kerajaan di tanah Jawa. Bukan hanya ini yang berbeda versi. Tentang kota tua di Minangkabau juga memiliki versi. Sebagian berpendapat bahwa kota pertama di Minangkabau itu adalah Pariangan (Tanah Datar). Semua orang (Minang) percaya akan hal itu. Namun ada juga yang mengatakan bahwa kota tua di Minagkabau itu adalah di Maek (50 Kota) dengan alasan bahwa di Maek ada peninggalan-peninggalan sejarah yang menguatkan argumen tersebut, yaitu tulisan pada batu-batu menhir (menhir dan tulisan-tulisan di batu menhir).
           
Inilah salah satu kelemahan bagi sastra yang sifatnya lisan itu. Namun, ketika orang mulai mengenal tulisan, beberapa cerita itu dituliskan. Banyak pula cerita itu sengaja dibuat atas suruhan raja, sultan, dan bangsawan. Akibatnya, kita sering mengalami kesulitan untuk menentukan versi yang aslinya.
           
Dalam tradisi kesusastraan lama, pujangga hanya memusatkan perhatiannya pada kehidupan keraton atau istana. Dari sini bisa dilihat bagaimana pengarang memiliki peranan yang sangat penting baik dalam kehidupan istana maupun dalam kehidupan bermasyarakat (Maman, 2005). Namun, pada zaman sekarang ini, jika muncul sejumlah karya sastra yang berisi kritik sosial, sesungguhnya hal itu sebagai pengejawantahan kejujuran dan kemandirian sastrawan yang berjuang mengangkat kebenaran dan moral kemanusiaan. Kedudukan pengarang pada zaman sekarang ini sangat berbeda dengan pada zaman dahulu. Jika dahulu para pengarang berpihak pada keraton atau istana, nah, sekarang para pengarang lebih membela kebenaran, kejujuran, keadilan, dan nilai-nilai kemanusiaan.

Pers
           
Media cetak dewasa ini sudah memiliki kemajuan yang sangat pesat. Apalagi ketika teknologi-tekhnologi dari Barat mencokong perkembangan tersebut. Sehingga media, bukan hanya memiliki kemajuan melainkan memiliki kekuatan dan kesejahteraan. Dalam hal sastra, media dijadikan sebagai salah satu penyambung untuk menyampaikan karya kepada pembaca. Dengan adanya media, sastra dapat terbaca. Jika dahulu perkembangan sastra hanya dinikmati segelintir orang, sastra keraton atau istana misalnya. Namun saat media hadir di Indonesia, karya sastra seperti menemukan ruang. Tidak lagi karya-karya satra (puisi dan cerpen) tersimpan di buku harian belaka.
            
Pada zaman Balai Pustaka misalnya, karya-karya yang tersimpan di buku harian itu mulai dicetak (koran, buku, majalah, dll), sehingga karya tersebut dapat dinikmati semua kalangan. Kehadiran Balai Pustaka sangat berperan penting dalam perkembangan kesusastraan Indonesia. Sebab, dari zaman ini, banyak karya-karya sastra yang sampai sekarang masih bisa dinikmati, baik sebagai bacaan maupun sebagai bahan penelitian. Pengarang-pengarang di zaman ini pun sangat berperan aktif bukan hanya dibidang sastra melainkan juga dibidang politik dan budaya.
            
Selain zaman Balai Pustaka, zaman Pujangga Baru juga sangat memiliki andil dalam sejarah kesastraan Indonesia. Balai Pustaka dan Pujangga Baru adalah dua dunia yang dihidupi oleh para pengarang. Pertama, sebagai percetakan sastra terbesar sepanjang sejarah kesastraan, dan kedua, sebagai sebuah pencerahan sastra dari lisan ke tulisan, dari sastra lama ke modern. Ya, kedua zaman ini telah menghasilkan karya-karya sastra yang buming. Misalanya, Sitti Nurbaya karya Marah Rusli, Senja Di Jakarta karya Mochtar Lubis, Azab dan Sengsara karya Merari Siregar, Layar Terkembang karya S. Takdir Alisjahbana. Masih banyak karya sastra seperti puisi dan naskah drama yang terbit pada masa itu.
           
Peranan pers (media) sampai saat ini sangat diperlukan oleh sastra, sebab dengan adanya pers ini karya-karya sastra bisa terbaca oleh kalangan mana pun. Perkembangan tekhnologi memberi dampak kepada karya sastra, yang tadi hanya muncul di media (cetak) kini sudah ada pula media selain media cetak, yaitu media sosial maya. Media ini memberi pengaruh juga kepada perkembangan karya sastra. Alasan saya ini dikarenakan banyaknya karya (puisi dan cerpen, bahkan novel) yang unggah ke situs-situs tertentu. Dengan adanya jejaringan sosial ini mempermudah para pengarang (pemula maupun tidak) menerbitkan karya-karyanya untuk dibaca oleh khalayak luas tanpa memperhitungkan kualitas karya tersebut.

Jika dahulu (media cetak) karya sastra sangat diperhitungkan kualitasnya untuk dicetak, sehingga karya tersebut dapat bertahan dari zaman ke zaman. Namun lain halnya dengan jaringan sosial ini, kualitas karya tidak terlalu dipertimbangkan yang terpenting karya itu diunggah dan dapat terbaca. Orang-orang yang berkunjung ke situs tersebutlah (facebook, blog) yang menilai kualitas karya tersebut. Tetapi ini bukanlah persoalan yang besar, bagi saya sendiri ini adalah zaman baru di mana para pengarang sastra sudah menemukan tempat kreatifitasnya untuk membangun (atau mengahancurkan) karya sastra.
            
Media memberikan segalanya, kita lihat pada tahun 60-an, sebuah sejarah yang tidak bisa disingkirkan dalam perkembangan sastra Indonesia. Media dijadikan ujung tombak untuk menghancurkan lawan. Lekra misalnya, media yang bergerak di bidang kebudayaan yang dipelopori oleh partai besar Indonesia –PKI dengan tujuan untuk melumpuhkan pengarang-pengarang yang tidak seideologi dengan mereka. Salah satu pelumpuhan itu bisa dilihat karya Hamka Tenggelannya Kapal van der Wijck yang dilibas habis oleh para budayawan Lekra. Kejadian itu memicu polemik yang panjang antara yang seideologi dengan Lekra dan yang tidak.

Meskipun begitu, kita sebagai generasi baru harusnya berterimakasih kepada zaman 60-an ini, sebab mereka sudah memperbesar khzanah sastra Indonesia. Tahun 60-an ini adalah salah satu zaman perkembangan sastra yang paling besar, setelah zaman Balai Pustaka dan Pujanga Baru. Di sini saya tidak memihak satu blok tertentu. Saya hanya menuliskan pengamatan saya terhadap perkembangan sastra Indonesia, dan yang saya lihat sedikit saja ‘bengkok’-nya zaman ini, yaitu menjadikan media sebagai wadah ideologi untuk kepentingan sepihak.
            
Itu sebenarnya tidak jadi soal, yang menjadi tugas kita sebagai generasi baru adalah membuat zaman baru yang bisa tercatat di tahun-tahun selanjutnya seperti zaman-zaman yang sudah membesarkan sastra Indonesia. Ya, itulah perkembangan sastra Indonesia yang sudah memberikan kita pencerahan.
            
Jadi, media tidak bisa dijauhkan dari sastra. Apa bila media tidak pernah datang ke Indonesia, pasti perkembangan sastra Indonesia tidak akan tumbuh seperti sekarang. Setiap karya dimunculkan oleh media dan setiap pengarang dimunculkan (ditimbun) oleh media. Ada baiknya yang diberikan oleh media ada juga akibanya. Kita selaku generasi baru, apakah hanya berdiam diri dengan menerima segala keputusan atau mengambil alih untuk meluruskan semua yang telah terjadi? Jawabannya ada dalam diri kita.

Padang, 31 Maret 2014

Biodata penulis:

*Penulis lahir di Haloban, Aceh. Sekarang tinggal di Padang dan bekerja di ruang pendokumentasian Tubuh Jendela. 

**Tulisan ini pernah dimuat di koran Padang Ekspres Minggu, 11 Mei 2014 juga pernah dimuat di koran Singgalang Minggu.

Post a Comment

 
Top