0

 
Di laut yang tak bernama itu
aku pernah menanam cita-cita
kelak akan jadi insinyur
akupun menantang gelombang
meninju badai dan menarik arus
selama bertahun-tahun.

Tapi semenjak ayah berkata
aku sudah baligh dan dewasa
akupun harus rela meninggalkan gelombang,
badai dan arus.
Ayah tak segan-segan membuang aku ke kota
menyabung nasib dengan tahun-tahun yang sunyi

Aku tak mengerti bahasa kota
yang baik kadang membingungkan.
Hotel, kafe, taman kota, plaza,
tempat hiburan lainya dan cahaya lampu kota
yang menyilaukan mata
membuat aku lupa dentum gelombang,
dan badai ketika bergemuruh.
Kerenyahan laut telah lembab.

Di tahun-tahun yang sunyi itu
aku bersemedi, memperpendek jarak waktu
yang terlalu panjang.
Pernah suatu malam
dalam persemedian aku telah mendapatkan
gelar keinsinyuranku. Surat tamat belajar di kanan
piagam pengabdian di kiri, dan medali
terangkut melingkari pangkul leher.
Aku melihat kebahagiaan di mata ayah.
Tapi untuk apa semua itu
Jika gelombang, badai dan arus
tak pernah lagi aku kenali?

Aku harus pulang
menghabiskan sisa laut
yang ditinggal oleh nenek moyangku.
Karena aku seorang anak nelayan
yang hanya memiliki harapan
dalam sujud yang khusuk
seperti karang-karang di dasar laut sana.

Haloban, 23072014

Post a Comment

 
Top