0


Artikel Riyon Fidwar*

Ketika melihat sebuah buku yang dibaca oleh seorang teman di rumah sewaan, saya tersontak ketika membaca judulnya “Memang Jodoh”. Buku yang berwarna cokelat ketua-tuaan itu, menarik perhatian saya lebih-lebih sebuah wajah perempuan (cantik) terpajang menghiasi sampulnya (cover). Selain itu, saya juga tergoda oleh judul “Memang Jodoh” dan nama pengarangnya Marah Rusli. Seorang pengarang besar sepanjang masa. Buku (novel)-nya yang terkenal adalah Sitti Nurbaya (1922). Dengan hati yang bergelora, saya meminjam buku tersebut dari teman dan bertanya masih ada buku itu dijual. Dengan segera saya pun memastikannya di toko buku yang disebut teman tersebut. Dan tanpa pikir panjang, buku tersebut saya ‘comot’ dari sebuah rak buku (di toko buku yang letaknya paling bawah). Tinggal satu eksemplar. Bukan hanya judul dan nama pengarang buku ini saja yang membuat saya terpukau, melainkan yang memberi edensornya, yaitu Remy Sylado (salah satu pengarang yang saya kagumi –puisi dan novelnya).

“Memang Jodoh” jika dilihat dari covernya yang agak keminang-minangan (condong ke kebudayaan) dan itu bisa dilihat dari sebuah gambar rumah adat yang terdapat di sana. Ya, benar. Kebudayaan yang menjadi unsur kritik sangat berisi dalam buku ini. Seperti halnya buku Sitti Nurbaya. Namun yang menjadi dasar perbedaan antara Sitti Nurbaya dan Memang Jodoh adalah pada perkawinan poligami. Jika dalam Sitti Nurbaya Marah Rusli menggambarkan kekuatan agaman dan budaya yang ditanamkan kepada anak (generasi penerus), bagaimana seorang Sitti Nurbaya mengabdi kepada orang tuanya dan rela mengawini Datuk Maringgih orang yang menjatuhkan perdagangan ayahnya. Sedangkan dalam buku Memang Jodoh Marah Rusli menentang poligami dalam perkawinan. Tokoh utama dalam buku ini adalah Marah Hamli seorang sarjana pertanian yang berketurunan matrilineal (yang menganut suku kepada ibu).

Seperti yang tertulis pada cover buku, bahwa ini adalah sebuah warisan yang tersimpan selama 50 tahun. Kehadiran buku ini memberi sensasi dan warna tersendiri untuk dirinya sendiri. Saya melihat tahun terbit buku ini, ternyata saya terlambat setahun (cetak pertama tahun 2013) memperoleh buku ini. Selama rentang waktu yang singkat tersebut buku ini telah mengalami empat kali terbit (Februari 2014). Saya masih beruntung mendapat kesempatan membaca buku ini ‘di awal’ terbitnya. Tidak seperti buku atau novelnya yang termaktub itu (Sitti Nurbaya), saya membacanya pada cetakan kesekian puluh. Memang hal tersebut tidak mengurangi nilai dan bobot karya tersebut, namun bagi saya itu sangat berpengaruh terutama dalam memunculkan minat baca saya.

Kehadiran buku ini ke tengah pembaca belum memberi dampak apa-apa, misalnya polemik sastra atau polemik kebudayaan di media cetak. Di tengah masyarakat pun juga belum. Apakah harus diendapkan dulu selama beberapa tahun lagi untuk melihat dampak kritik kebudayaan yang ditulis oleh bapak Roman Modern Indonesia ini (gelar ini diberikan oleh H.B. Jassin)?

Kritik kebudayaan yang utarakan oleh Marah Rusli dalam buku terakhirnya ini adalah masalah perkawinan yang sesungguhnya. Marah melihat perkawinan di Padang hanya didorong oleh kemewahan. Semakin banyak seorang laki-laki di Padang mengawini perempuan, maka semakin ‘hebat’ laki-laki tersebut. Oleh sebab itu, di Padang (50 tahun yang lalu –sesuai dengan apa yang ditulis oleh Marah Rusli) banyak laki-laki yang memiliki dua orang isteri. Hal tersebut dianggap wajar dan lumrah di tengah masyarakat Padang pada masa itu. Nah, Marah Rusli, dengan “Memang Jodohnya”-nya mengkritik  permasalahan tersebut. Sebab hal tersebut akan berdampak pada psikologi anak. Yang menjadi pertanyaan adalah akankah novel “Memang Jodoh” ini akan membuming seperti novel Marah Rusli yang terdahulu, yaitu Sitti Nurbaya? Jawabannya ada pada kita selaku pembaca dan masyarakat.


*Riyon Fidwar lahir di Haloban, 27 Agustus. Sekarang tinggal di Padang bergiat di ruang pendokumentasian Tubuh Jendela.

*Resensi ini pernah terbit di koran Harian Rakyat Sumbar edisi Sabtu, 14 Maret 2015


Post a Comment

 
Top