0
Dua potong permen karet
aku beli di warung sebelah.
Mereknya ikan hiu dengan balon di mulutnya.

Sementara anak-anak yang bermain di depan kedai itu
juga sedang mengunyah permen karet.
Mereka bermain gundu dengan kelakar yang renyah.

Ingatanku melayang ke masa dulu
di mana aku pernah memainkannya.
Bertarung dengan lawan. Menghabiskan segala
kemampuan yang aku punya untuk memenanginya.

Tak bisa dipungkiri, kadang aku sempat menangis
ketika gundu-gundu yang kupunya kalah.
Aku rasai benar betapa pedihnya waktu itu.

Dalam menung yang dalam
suara terompet penjual bak pao
menyadarkan lamunanku.

Dari warung itu
aku jalan menuju taman
di mana sebelumnya kau pesankan
untuk bertemu.

Di taman ini
kau duduk di sampingku
sambil mengunyah sepotong permen karet.
"Apakah hidup seriang ini?" cetusmu.
Aku tak mengerti apa maksud perkataan itu,
"Kau mengigau?" tanyaku kembali.

Dia ceritakan masa anak-anaknya yang lalu
terlihat riang wajahnya dengan tertawa renyah.
Sesekali dipukulnya pundakku saking bahagianya,
"Gila. Memang gila." kelakarnya.

Tapi karena permen karet ini
aku memukuli adikku.
Ketika itu, aku dengan sengaja menempeli
permen karet ini di rambutnya.
Dengan susah payah dia menarik-nariknya.
Aku tertawa geli setengah mati.

Namun, tanpa aku sadari
sebuah tinju gempal membentur hidungku.
Pandanganku gelap, kepalaku rasanya pecah.

Tanpa pikir panjang
kubalas dengan pukulan juga.

Kami akhirnya saling jambak rambut,
dan jual beli tinju.
Dalam perkelahian itu, dengan pikiran yang singkat
kupukuli kepalanya dengan sebuah batu.
Dia menjerit sebisanya. Lalu tersungkur pingsan.

Masih kurasai hangatnya darah membanjiri tanganku,
dalam telinga ini suaranya masih terisi penuh.

Dua hari di rumah sakit
selepas itu dia tidak bisa diselamatkan
akibat pendarahan hebat di kepalanya.

Air matanya jatuh satu-satu
di taman itu.
"Aku menyesal" kataku kemudian.

Padang, 20160216


Post a Comment

 
Top