0
Di sepertiga jalan tunggulitam
aku menemukanmu dalam hujan lebat membikin lebam
hatimu. Gundah tak menentu, itu dapat kulihat
dari caramu memandang jalan basah.

Di gigil daun dan ranting-ranting
tersangkut merinduan air pada tanah
sedang di matamu tertahan keresahan.
Dadamu naik-turun
entah itu karena dingin, aku tak tahu.

Di sepertiga jalan tunggulitam
ketika hujan pecah di jalan-jalan,
pecah juga rindu ini kepadamu.

Dari jarak yang sangat dekat ini
sangat terasa betapa hawa rindu menghangatkan
kegelisahan angin.

Gemuruh hujan kian pasti
tak seorang pun yang mampu menghentikannya.
Tapi dalam hatiku
ada gemuruh yang lain.
Kau dengarkah?

Di tempat kita berteduh ini
kali pertama aku merasakan sesak yang menyesak
menghentakkan dan rasanya tak bisa aku katakan saat ini.
Walau jarak kita yang terlalu dekat,
namun ada semiang tali masih membatasi.

Di seberang jalan
aku melihat seorang lelaki memeluk dirinya sendiri
tatapannya sangat lekat kepadamu.
Itu bisa kulihat dari caranya menatap.
Mata itu sangat tajam
sehingga bisa menembus hujan.

Sedang aku mencari-cari apa yang akan terjadi selanjutnya,
kau malah bergeser satu hasta.
Ketika sudah aku tahu apa yang akan terjadi secara pasti
kau telah lari ke arah lelaki itu.

Aku kira hujan ini telah memberi petunjuk
bahwa ada satu rindu yang akan dituang
dalam satu liang
dan aku salah mengartikannya.

Tanpa aku sadari
hujan ini telah mulai berhenti
walaupun masih ada sedikit tangis tersangkut
di daun dan ranting kayu.

Di sepertiga jalan tunggulitam
aku kembali,
(setelah sekian lama jalan itu tak pernah disinggahi)
sekali ini tak ada hujan, tak ada lelaki di seberang jalan.

Diam-diam (dalam hati) aku meminta hujan kembali turun,
agar bisa menemukanmu. Tapi tidak dengan lelaki itu.

Padang, 03112015


Post a Comment

 
Top