0
Sudah dilihat dan dibacanya seluruh
isi buku yang kau berikan beberapa waktu lalu.
Semua tak terlewaktan satupun.
Aku sangat ingin menjadi bapak itu,
atau sekedar meminjam mata,
dan otaknya.

Kerajinannya membuat semua orang takjub.
Selain itu, dia juga menjaga ibadahnya,
menurutku dialah manusia sempurna,
setelah para nabi dan sufi.

Perkataannya banyak ditunaikan,
hanya orang-orang yang iri saja
yang sedikit membangkang. Tapi
itu tak jadi soal baginya.

Aku memanggilnya profesor,
yang lain juga.
Kacamatanya sangat tua,
namun aku yakin di balik kaca itu
bergudang-gudang ilmu dan kebaikan.

Dia bisa menerawang alam gaib,
menerjemahkan mimpi, membaca pikiran orang lewat tatapan,
sedikit bisa menerka yang akan terjadi besok
atau lusa. Meskipun kadang-kadang sering meleset.
Orang berdalih: namanya juga manusia!

Suatu hari libur
ketika aku melihatnya di beranda rumahnya
sedang menyuluti rokok sambil membaca harian.
Di mejanya ada sebuah gelas mini. Aku tidak bisa menerka
dengan pasti: kopi atau teh.

Lama sekali aku melihatnya,
dia pun tidak menoleh sedikit pun ke arahku.
Matanya begitu tajam
mengorek informasi dari harian itu.
Oh, betapa mulianya manusia ini, pikirku.

Aku beranikan diri menyapanya,
"Selamat pagi, Pak. Bisa saya ganggu sebentar
dengan satu pertanyaan dan beberapa pernyataan?"
Dia menyilakan dengan sifatnya yang sangat kukenal
: baik dan ramah.

Setelah aku jelaskan perihal pernyataan,
bahkan aku tak sadar ketika aku menyatakan
ingin meminjam bola-matanya juga otak dalam kepalanya.
Lalu aku ajukan sebuah pertanyaan yang mana tahu dia bisa
mengungkapnya.

"Seorang kawanku telah hilang sekitar 25 tahun lalu,
kata orang dia disembunyikan hantu bunia. Bisakan Bapak menunjukkan
di mana dia sekarang? Nazam namanya"

Profesor itu membuka kacamatanya,
ini kali pertama aku melihat dia membukanya.
Lama sekali aku menunggu jawabannya.

Tiba-tiba dia mendehem
: hantu Bunian!

Padang, 13102015

*Telah terbit di Singgalang Minggu (29/11)

Post a Comment

 
Top