0
Mula-mula kabut hitam datang dari laut
lalu singgah di puncak gunung.
Tak lama bertengger di gunung,
tumpahlah air ke bumi. Bergemuruhlah.
Basuh semua keresahan negeri ini.
Sisanya, alirkan ke lau lewat anak sungai,
atau benamkan saja ke tanah.

Di lemari, buku-buku kedinginan,
pensil menggigil, mereka minta pelukan.
"Jadikanlah gigil ini menjadi tali sajak,
lalu ikat ujungnya di tempayan agar tempias hujan
tak masuk dalam paru-parumu"

Huruf-huruf pun mulai disusun menjadi sebuah kata,
kata-kata berserak di lantai bagai mani
anak-anak semut mulai mencicipi rasa manis
: ini darah anak haram.

Kalimat demi kalimat telah merupa bait
inilah saatnya setan datang
membangkitkan berahi.

Cemporong! Berahi lepas entah ke mana,

Hujan telah lama bergemuruh di bumimu
membasahi rumahku, melembabkan tanah kita.

Di dapur ada kopi hitam
dikocok dengan gula
untuk membunuh berahi
sirami air panas.

Harum yang lembut muncul di hadapanku
seperti harum tubuhmu
mengenakan parfum.
Birahi datang lagi, iblis tertawa dari dalam gelas kopi
: mampus kau!

Kopi habis, puisi setengah jadi
hujan masih bergemurh
badan sudah kedinginan
malam datang sendirian.

Sia-sia semua
jika esok hujan datang lagi
akan kusudahi sajak ini.

Padang, 28102015

*Telah terbit di Batam Pos Minggu (22/11)

Post a Comment

 
Top