0
Judul : Manusia dan Kebudayaan Han
Panulis : Prof. Gondomono
Penerbit : Kompas
Cetakan : 2013
Tabal : 395 halaman
ISBN : 978-979-709-688-5
Peresensi: Riyon Fidwar*



Membaca Kembali Sejarah Kebudayaan Cina

Kebudayaan Cina adalah salah satu kebudayaan tertua di dunia. Kebudayaan ini telah tersebar di seluruh belahan bumi ini. Salah satunya adalah Indonesia. Keturunan Cina datang ke Indonesia pada waktu dan zaman yang berbeda-beda, hampir seluruhnya telah menjadi Warga Negara Indonesia. Meskipun unsur-unsur kebudayaannya sedikit banyak masih ada yang dipertahankan. Mereka ini disebut sebagai Peranakan.

Ketika membaca buku ini, saya teringat selalu akan penyusunan naskah skripsi saya, beberapa bulan yang lalu. Pada waktu penyusunan itu, saya agak sedikit kewalahan dengan referensi-referensi mengenai manusia dan kebudayaan Tionghoa ini. Sebab, saya tidak begitu rinci menjelaskan bagaimana manusia dan budaya orang itu sendiri. Saya hanya menjelaskan sebagian kecil dari yang sudah saya baca sekarang. Dalam hal ini, bukan berarti saya tidak mengerti dengan kebuayaan itu sendiri.

Han merupakan sebuah nama lain dari sebutan orang Tionghoa atau Cina. Istilah Tionghoa digunakan untuk mengacu pada orang, warga negara Republik Rakyat Tiongkok maupun untuk ‘negara’ sepanjang sejarah. Sedangkan istilah Han digunakan untuk mengacu kepada kebudayaan dan unsur-unsurnya, seperti bahasa, aksara, seni, dan lain-lain. Istilah Tiongkok kadang-kadang digunakan untuk mengacu kepada orang dan bahasa. Istilah Sinitik (dari bahasa Latin) digunakan kepada masyarakatnya dan kebudayaan Han di Tiongkok. Pada bagian ini saya mulai terkesan dan bertanya, mengapa penggunaan kata “Tionghoa atau Cina” di Indonesia, agak negatif menanggapinya? Dalam buku ini, Prof. Gondomono menjelaskan bagaimana awal mula interaksi antara kebudayaan orang Han dengan kebudayaan Indonesia.

Awal mula interaksi orang Han dan Indonesia

Hubungan antara orang Tionghoa dan orang Indonesia pada umumnya adalah melalui perdagangan. Namun sayangnya, mereka tidak meniggalkan cerita sejarah secara tertulis, sehingga kegiatan ini sulit untuk membuktikannya. Dalam buku ini, Manusia dan Kebudayaan Han, dijelaskan bahwa pada awal abad V (414) ada seorang pendeta Buddha bernama Faxian yang menulis keadaan penduduk di pulau Jawa. Pada waktu itu Faxian singgah di pulau ini karena kapal India yang dia tumpangi dari Sri Lanka dihadang badai menuju Tiongkok. Dalam catatan Faxian mengenai negara-negara Buddha yang diterjemahkan ke dalam bahasa Prancis oleh seorang pendeta yang bernama Abel Remusat, dikatakan bahwa Faxian terpaksa mendarat di sebuah pulau yang kemudian disebutnya “Yapadi” (hal. 313).

Selain di pulau Jawa, orang Tiongkok juga melakukan kegiatan perdagangan ini dengan orang Sriwijaya. Di mana pada waktu itu, pelabuhannya merupakan pelabuhan yang ramai pada kurun waktu VII sampai abad XIII. Dalam buku ini juga dijelaskan bahwa, Sriwijaya ketika itu tidak hanya merupakan pelabuhan-Antara- untuk komoditas yang dibawa dari India dan Asia Barat menuju Asia Timur. Tetapi ia juga merupakan pengekspor yang penting untuk hasil atau produk lokal orang Tionghoa.

Selain itu, ada sebuah dugaan bahwa orang-orang Tionghoa ada bermukim sejak abad XIV di Nusantara. Itu dapat dipastikan bahwa pada abad XV Banten merupakan sebuah pelabuhan besar dan penting yang sering dikujungi para pedagang Han dari Tiongkok Selatan. Pada suatu waktu pemerintah Banten bahkan sudah pernah mengangkat seorang Han sebagai seorang syahbandar pelabuhan di pelabuhan Banten (hal. 318).

Dalam beberapa dasawarsa, beberapa permukiman orang Han telah tersebar di Nusantara. Mula-mula disepanjang pantai pulau Jawa, Sumatera Timur dan Selatan, Kepulauan Riau, Bangka Belitong dan Kalimantan Barat. Beberapa bulan atau beberapa tahun kemudian, setelah mengenal baik keadaan dan penduduk di sekelilingn di mana mereka tinggal, para imigran dari Tiongkok yang berada di pesisir mulai masuk lebih jauh ke pedalaman atau ke pulau-pulau lain di Nusantara. Para imigran inilah yang merupakan leluhur yang kemudian disebut sebagai orang Han peranakan (pada waktu itu disebut Cina peranakan).

Menjelang akhir abad XX penduduk Indonesia keturunan orang Han menurut jenis pria merupakan kelompok minoritas, namun tampak menonjol di dalam masyarakat (pribumi) Indonesia yang sangat pluralistic dalam banyak segi. Namun, yang patut diingat bahwa, masyarakat di mana pun secara garis besar digolongkan atas dua golongan, yakni golongan jelata dan golongan elit. Yang menjadi keanehan dalam penisahan antar golongan ini tidak jelas, sehingga di antara kedua golongan itu ada bermacam-macam golongan yang tidak sepenuhnya golongan elit maupun golongan jelata.

Seperti halnya masyarakat lain di dunia, kebudayaan yang sering dibicarakan atau ditulis adalah masyarakat golongan elit. Begitu juga dengan masyarakat Han (Tionghoa) di Indonesia. Misalnya yang dicatat itu adalah bagian politiknya, kegiatan ekonominya, kesusastraan, keyakinan religious, pendidikan, gaya hidup, dan lain sebagainya. Pada hal kedua kelompok ini, elit dan jelata, berbeda sekali. Golongan jelata orang Han di Indonesia pada umumnya dianggap sama saja dengan golongan elit Han. Pada hal, di antara golongan jelata orang Han banyak yang menjadi petani, buruh kecil, tukang, centeng, dan orang yang tidak bermodal pada umumnya.

Semoga dengan hadirnya buku ini ke tengah pembaca dapat mengubah pandangan kita terhadap kelas-kelas sosial. Begitu juga dengan tanggapan negatif terhadap orang Han di Indonesia seperti pada saat refprmasi (1998). Dari kontak kedua kebudayaan ini, Han dan Indonesia, hendaknya bisa secara individu bisa mewakili masyarakatnya dan juga menjadi pendukung budaya masyarakatnya.


*Presensi:  Riyon Fidwar adalah alumnus FIB Unand dan sekarang bergiat di ruang pendokumentasian Tubuh Jendela

Post a Comment

 
Top