Oleh Riyon Fidwar
Hari itu terik
matahari begitu panas menyirami bumi, namun hal itu tak menyurutkan manusia
menjalani aktifitas sehari-hari. Hari itu juga saya ada keperluan keluar,
membeli beberapa keperluan. Setiba saya di luar, dekat jalan, tepatnya di bibir
jalan. Saya dikejutkan oleh suara klakson mobil yang suaranya begitu
mengejutkan. Saya tersentak. Dalam hati saya mengutuk. Ada rasa jengkel kepada
supirnya yang sembrono saja, asal
klakson. Seakan-akan dialah yang punya jalan.
Mobil yang
dikendarainya itu berwarna hijau tua dengan plat kuning. Serta bermacam-macam
corak tulisan yang ditempel di dinding mobil itu. Jenis mobil ini pastilah kita
semua tahu. Yang suka ngebut,tak
peduli itu di lampu merah, klakson
sembarangan, yang penting cepat, dapat. Tak peduli keselamatan penumpang dan
orang lain. Yang jelas tagihan lancar. Mobil ini kita kenal dengan sebutan
ANGKOT (angkutan kota).
Sudah menjadi
sebuah kebiasaan mungkin bagi supir angkot ngebut-ngebutan
di jalanan. Tak tahu aturan, mungkin. Gerutu saya dalam hati karena
jengkel. Saya melanjutkan perjalanan membeli keperluan di seberang jalan itu.
Di bawah matahari yang semakin panas membuat keringat bercucuran dari kening ke
dagu. Saya menyeberang jalan, tangan saya kembangkan keduanya seperti mau
terbang. Takut-takut ada kendaraan yang sedang dikejar setan. Untuk menghindari
hal itu, saya gunakan kedua belah tangan sebagai “sayap”.
Setibanya saya
di tempat tujuan, beberapa keperluan saya lengkapi. Kemudian sebelum saya ke
luar dari tempat saya membeli keperluan saya itu. Saya lihat ke jalan,
kendaraan-kendaraan pada macet. Hanya pengendara sepeda motor yang jeli, yang
bisa menerobos kemacetan tersebut. Ternyata yang menjadi sumber kemacetan itu
adalah angkot. Supir angkot seenaknya memutar di sebuah tikungan jalan yang
sempit (seharusnya kendaraan beroda empat tak bisa lewat). Dengan begitu,
otomatis kendaraan-kendaraan yang lain ikut pula berhenti, sebab sebagian besar
badan jalan habis diborong oleh angkot itu.
Supir angkot ini
seenaknya saja menggunakan jalan, tanpa mempedulikan pengendara lain, tambah
gerutuku dalam hati. Jika dimarahi oleh orang lain, pastilah orang itu yang
dimarahi supirnya. Seakan-akan dia tidak salah. Jika ada kendaraan yang mencoba
menghalangi jalannya, pastilah diklakson, bahkan tak jarang dimaki.
Melihat hal
tersebut saya dan beberapa orang yang ada di tempat perbelanjaan itu hanya
mengomentari saja kejadian itu. Setelah membayar keperluan yang saya ambil,
saya langsung menyeberangi jalan. Tak lupa membentangkan tangan seperti
‘sayap’. Antisipasi dari kecelakaan. Saya berjalan sedikit berlari. Matahari
semakin menjadi-jadi panasnya. Hari itu ternyata pukul 12, tengah hari tepat.
Post a Comment