0
Oleh Riyon Fidwar*

Berawal dari pengalaman membaca karya sastra, kemudian menulis sastra, lalu mempublikasikannya. Inilah tahap-tahap yang harus saya lalui untuk mencintai sastra tersebut. Berbilang waktu dan pengalaman, akhirnya saya menemui jati diri siapa saya sebenarnya. Pola hidup saya atur dengan cara menulis dan membaca. Apa yang saya tulis? Ini adalah sebuah pertanyaan yang harus saya jawab sendiri. Mulanya saya menulis puisi. Meskipun puisi yang ditulis itu bukan benar-benar puisi, melainkan sebuah susunan huruf-huruf, kemudian berbentuk kalimat, penopangnya adalah tanda baca. Jangan tanya arti dan maknanya. Jika dilihat dari segi fisik atau tipografinya jelas yang saya tulis itu adalah puisi. Ada judul dan isi. Tak lupa juga saya memberi tanggal dan tahun pembuatannya.
            
Kemudian saya ragukan apa yang sudah ditulis dengan pertanyaan, benarkah ini sebuah puisi yang mengandung nilai estetika dan akan disukai oleh banyak pembaca seperti puisi-puisi yang sudah saya baca? Pertanyaan ini membuat saya sedih. Namun kecintaan saya terhadap puisi semakin meruncing. Akhirnya saya gila kepadanya dan dia pun menggilai saya. Dalam letih yang melelahkan dia datang menggoda pikiran saya. Menari-nari di puncak mata dan sembunyi di ujung lidah. Kemudian dia menjelma menjadi seorang perempuan setengah telanjang. Berdiri di hadapan mata saya. Dan tanpa saya sadari dia telah menjadi bait-bait yang hitam terlentang di lembaran kertas buku.
            
Begitulah puisi. Jika kita gila kepadanya dia akan lebih sadis menggilai kita. Karya sastra paling tua menurut saya adalah puisi. Sebab dia lahir jauh sebelum berkembangannya ilmu pengetahuan. Di Yunani. Di sanalah tempat terburainya “darah” dan tangisan pertama puisi. Waktu itu pengarangnya masih bersifat anonim. Namun kemudian timbul kesadaran oleh pengarang, bahwa nama pengarang memang sangat penting bagi sebuah karya. Dengan begitu setiap karya sastra lahir sudah dengan nama pengarang. Salah satu pengarang dari negeri ilmu pengetahuan itu adalah Erros. Bagi rakyat Yunani pada masa itu puisi dijadikan sebagai sebuah doa untuk pemujaan Tuhan. Sebab puisi berisi kata-kata yang indah. Menurut keyakinan mereka Tuhan lebih suka yang indah-indah. Oleh sebab itu, mereka memuja Tuhannya dengan bahasa yang indah-indah.
           
Puisi sebagai bahasa yang indah itu hingga sekarang masih dipakai oleh sebagian orang dalam mengartikannya. Dalam proses karya sastra saat ini, pengertian itu tidaklah terlalu dijadikan sebagai referensi lagi. Buktinya ada juga puisi yang tidak mengandung bahasa-bahasa yang indah. Seperti puisi yang ditulis oleh Sutardji Colzoum Bachri dalam kumpulan puisinya O, Amuk, Kapak yang buming. Di sana bisa dikatakan tak ada bahasa yang indah seperti yang diharapkan sebelumnya. Misalkan saja puisinya yang berjudul Sajak Babi I dan Sajak Babi III, secara bahasa tak ada yang indah. Namun secara simbol dan makna, mungkin. Selain itu, puisinya yang berjudul Tragedi Winka & Sihka, Kakekkakek & Bocahbocah juga belum menggambarkan bahasa yang indah. Tidak seperti puisinya Sapardi Djoko Damono dan Acep Zamzam Noer yang penuh dengan keharmonisan dan mengandung bahasa yang indah.
            
Ilmu pengetahuanlah yang mempengaruhi keberadaan puisi itu. Semulanya hanya menggunakan bahasa yang indah menjadi sebuah bangunan yang berisi makna. Apakah puisi yang tidak menggunakan bahasa yang indah itu bukan puisi? Tentu saja itu puisi. Meskipun tidak menggunakan bahasa yang indah. Hakekat sebuah puisi di Indonesia sudah dihancurkan. Dan itu terjadi semenjak munculnya puisi “mantera”-nya Sutardji CB dengan alasan bahwa karya sastra itu (puisi) sifatnya tidak mengikat alias bebas. Puisi sekarang diikat dengan makna bukan bahasa.
            
Dengan begitu, penulisan puisi pun menjadi berubah. Bebas. Dari semula hanya mempertahankan keindahan, kini sudah mengikatnya dengan makna. Akhirnya, banyak karya sastra yang menjadi kontrofersi. Misalkan saja puisi yang berjudul Malaikat (saya lupa siapa penulisnya) menjadi sebuah polemik yang agak hangat pada waktu itu. Antara penulis, penerbit, dan kaum beragama. Sebab dalam penulisan puisi itu yang disinggunnya adalah tentang keyakinan. Jangan heran jika puisi dijadikan sebagai sebuah tameng untuk menahan dan menghancurkan kekuatan yang dianggap lawan. Para sastrawan dijadikan sebagai senjata dan puisi adalah peluru. Penyair tak segan-segan lagi menulis puisi dengan bahasa yang keras dan kasar. Sebab mereka begitu mengamalkan makna “kebebasan” dalam penulisan puisi tersebut. Dengan begitu puisi berubah fungsi. Semula digunakan sebagai doa untuk memuja Tuhan, sekarang digunakan sebagai “pamflet”.
            
Akhirnya kesastraan Indonesia menjadi sebuah kebudayaan sastra yang “chaos”. Antara kelompok sastra yang satu menyerang kelompok sastra yang lain. Karya sastra menjadi sebuah ideologi yang “membunuh manusia” bukan lagi memanusiakan manusia. Salah satu tragedi perang antar ideologi sastra ini adalah pada tahun 60-an. Zaman ini merupakan sebuah sejarah yang tercatat dalam perkembangan sastra di Indonesia. Bahkan sebelum memasuki tahun 60-an, kesastraan di Indonesia ada dua sebutannya, yaitu sastra tinggi dan sastra rendah. Yang dianggap sastra tinggi adalah karya sastra yang ditulis dengan bahasa Indonesia dan sudah meninggalkan bahasa melayu. Sedangkan sastra rendah adalah karya sastra yang ditulis dengan menggunakan bahasa melayu, mereka adalah pengarang keturunan Tionghoa. Salah satu pengarang Tionghoa yang menggunakan bahasa melayu adalah Kwee Tek Hoay.
             
Banyaknya paradigma terhadap perkembangan sastra di Indonesia telah berlangsung hingga saat ini. Di mana para pengarang sastra, seperti puisi, dinobatkan sebagai penyair apabila karya mereka sudah diterbitkan di media cetak. Terutama koran-koran yang bertaraf nasional. Disadari atau tidak disadari, pandangan seperti ini telah menjadi sebuah kebudayaan dalam kesastraan Indonesia. Dengan demikian, para pengarang sastra pun berlomba-lomba “mengejar” untuk mendapatkan penobatan itu. Sebenarnya budaya yang seperti ini sudah dikenalkan kepada kita semenjak hadirnya Balai Pustaka.

Budaya Sastra
            
Karya sastra akan banyak dikenang apabila mendapat sesuatu yang baru dari sastra itu sendiri. Sastra tidak akan berkembang apabila tidak diperkenankan hadir ke tengah masyarakat pembaca. Di tangan para pegiat (pengarang dan kritikus sastra) sastralah karya sastra itu bisa tumbuh dan dikenal banyak orang. Dari tangan mereka jugalah sastra itu berubah arah seperti yang sudah saya sebutkan di atas tadi. Apabila diharapkan kepada masyarakat pembaca, karya sastra akan seperti itu saja, jalan di tempat. Tak ada yang peduli kepada karya sastra selain para pegiatnya sendiri. Mengapa demikian? Sebab para masyarakat pembaca tugasnya hanya membaca. Tidak lebih dari itu. Apapun itu karyanya, puisi cerpen, dan novel. Yang lebih menyedihkan adalah nasib karya yang dipublikasikan di media cetak (koran) yang terbit setiap minggu. Seringkali karya yang sudah mereka baca di koran itu terbuang begitu saja. Kadang-kadang dimanfaatkan juga sebagai pembungkus bahan-bahan makanan di pasar dan kedai nasi.
            
Nah, dari sini bisa dilihat bagaimana para masyarakat pembaca memperlakukan karya sastra yang ditulis oleh para pengarang. Kepada para pegiat dan pencinta sastralah seharusnya karya itu berada. Agar nilai karya tersebut dapat terjaga. Salah satu budaya dalam menjaga kualitas karya adalah adanya penghargaan seperti Katulistiwa Literary Award, UBUD Writer, anugerah SEA Award, dan sebagainya. Penghargaan-penghargaan karya ini telah menjadi budaya dalam perkembangan kesastraan Indonesia. Selain itu, pengumpulan karya dari beberapa pengarang untuk dijadikan sebuah buku bacaan sastra juga sering dilakukan. Seperti inilah yang saya maksudkan tadi, bahwa karya sastra itu akan bernilai lebih di tangan pegiat dan kritikus sastra sendiri.
            
Hari-hari besar sastra juga telah ditetapkan dan menjadi sebuah peringatan yang berkepanjangan ke depannya. Seperti hari Teater se-dunia, hari Sastra, dan hari Puisi. Hari besar sastra tersebut diselenggarakan dengan penampilan-penampilan karya yang kreatif dan inovatif dari para pegiat. Khusus hari Sastra dan hari Puisi telah ditetapkan pada tahun 2013 lalu di Bukittinggi, Sumatera Barat oleh Taufik Ismal dan kawan-kawan. Hari sastra jatuh pada hari lahirnya Abdoel Moeis seorang pengarang novel Salah Asuhan. Dengan alasan bahwa novel tersebut adalah karya sastra modern pertama yang lahir di Indonesia. Sedangkan hari Puisi jatuh pada hari lahirnya penyair legendaris Indonesia, yaitu Chairil Anwar. Meskipun tidak semua pihak yang mau menerima penobatan hari besar sastra tersebut. Artinya, masih ada kubu-kubu sastra yang bertolak pandang dengan para penggagas hari besar ini. Seperti kelompok sastra joernalpoetra yang menolak atas hari sastra Indonesia yang telah ditetapkan oleh Taufik Ismail itu. Mereka ingin hari sastra itu jatuh kepada hari lahirnya Pramoedya Ananta Toer. Di Sumatera Barat sendiri ada juga kelompok-kelompok sastra yang tak setuju dengan penobatan hari sastra tersebut. Ideologi-ideologi sastra ini dapat mempengaruhi perkembangan sastra ke depannya. Atau akan menjadi sebuah problematik terhadap karya dan pengarangnya seperti yang terjadi pada masa penjajahan Belanda dan rezim Orde Baru.
            
Di Sumatera Barat sendiri telah ada budaya baru dalam perjalanan kesusastraannya, yaitu adanya pengangkatan Raja dan Ratu Penyair. Kegiatan ini telah berlangsung beberapa minggu yang lalu, tepatnya pada tanggal 30 Desember 2013 di Taman Budaya Sumatera Barat. Pagelaran tersebut digagas oleh Tufik Ismail dan Leon Agusta. Dengan adanya event ini para pengarang-pengarang Sumatera Barat mendapat semacam lecutan yang tak terbendung perihnya. Sebab, menurut mereka yang diangkat menjadi Raja dan Ratu Penyair itu mereka yang memang bukan dari kalangan penyair. Polemik pun tak dapat dihindari. Banyak yang mengecam penobatan itu, ya, pasti banyak pula yang mendukung. Seremonial sastra ini diharapkan berjalan dan berlanjut di tahun-tahun selanjutnya. Dan inilah nantinya akan membangun sebuah budaya dalam perkembangan sastra Indonesia.
           
Menurut saya penobatan-penobatan seperti ini memang harus diberikan, tetapi kepada mereka yang benar-benar bergiat dalam bidang sastra. Bukan kepada pengarang musiman atau pesanan. Agar kualitas sastra tersebut tidak disepelekan oleh para masyarakat pembaca umumnya. Inilah sastra yang bisa merubah pandangan terhadap sesuatu. Mempertajam pikiran dan wawasan. Inilah budaya yang dinamis. Budaya yang telah ditetapkan dalam perkembangan sastra Indonesia hendaknya bisa diperingati setiap tahunnya oleh setiap kalangan. Dengan adanya penetapan hari-hari besar sastra, penobatan pengarang dan penghargaan terhadap karya ini bisa memberi kemajuan terhadap karya sastra Indonesia. Amin!

*Riyon Fidwar lahir di Haloban, Aceh. Sekarang tinggal di Padang dan bekerja di ruang Pendokumentasian Tubuh Jendela.           

*Tulisan ini pernah terbit di koran Singgalang Minggu dan Republika.

Post a Comment

 
Top