0
: buat Maira

Ke mana ombak membenamkan diri
jika bukan ke pantai.

Almanak yang terus berubah
tak mampu membalikkan rindu.

Oh, Nazam diamuk kisah
di hari-hari yang parau.
Dia terus melenguh,
nasibnya tak sebaik takdir orang lain.

Dilihatnya tenang-tenang sebuah gambar
di dinding rumahnya -sebuah wajah-
menyimpan amukan rindu.

Wajah perempuan itu membuatnya tak percaya
meniti hari. Apalagi ketika kudanya hilang,
tak ada cara untuk mempercepat pertemuan.

Arus di laut, angin di gunung
akankah bertemu dalam sebuah belanga?

Nazam bimbang, kehilangan akal.
Dia memutar-mutar pikirannya
-bagaimana cara untuk meminang?

Ini sebuah peperangan yang panjang,
jika terus menerus seperti ini
Nazam takut akan kehabisan peluru.
Nazam takut kehilangan tameng buat berlindung.

Almanak terus berubah
sedangkan rindunya terus meruncing.

Seandainya Si Pincang -sebutan kepada kuda yang hilang-
masih bersamanya, tentu akan mempercepat larinya,
mempermudah geraknya,
hingga perang usai.

Tapi kuda itu tak ada kabar sama-sekali.

Semalam suntuk dia mempertimbangkan pikiran
dan halusinasinya terhadap perempuan itu.
Matanya tak terpicing sedikitpun.

Ketika paraksiang datang,
entah bagaimana caranya
Nazam tertidur juga.

Dalam tidur itulah
dia melihat seorang perempuan
persisi seperti wajah perempuan di dinding rumahnya,
"Kaukah itu?" gumamnya dalam tidur.
Namun perempuan itu tak menjawab -hanya tersenyum.
Betapa kau sudah merubah takdirku,
kau rela datang dari zaman yang sangat jauh.

Beginikah cara kita bertemu?

Padang, 15102015

Post a Comment

 
Top