Oleh Riyon Fidwar*
Dalam
sebuah cerita pendek yang berjudul Seorang
Wanita & Jus Mangga merupakan sebuah adegan yang sudah tak asing lagi
bagi kita, masyarakat, umumnya. Adegan-adegan tersebut merupakan sebuah
interpretasi dari kehidupan saat ini. Dengan kepiawaian yang matang, Agus Noor
mengolahnya dengan sangat matang dan elegan, sehingga pembaca hanyut dalam alur
cerita. Kedataran bahasa sangat terasa, tanpa ada kata yang menyulitkan untuk
dipahami. Semua terasa seperti percakapan sehari-hari saja. Meskipun demikian,
pengarang mampu memberi sebuah kejutan yang mencengangkan. Bagi saya, selaku pembaca,
di sinilah nilai estetik yang terkandung dalam cerita ini.
Karya
sastra memang sebuah dunia baru yang diciptakan oleh pengarang. Namun dalam
penciptaan itu, tidak semua orang yang mampu menciptakan dunia tersebut. Hanya
“orang-orang pilihan” saja. Di sinilah kodrat pengarang ditinggikan sehasta.
Pengarang mampu mencipta dunia baru dari dunia realitas. Pengarang mampu
mengadopsi isi dunia ini dengan cara menghayati sedalam-dalamnya kenyataan.
Apakah pengarang itu Tuhan? Ya, untuk dunia yang dia cipta itu. Pengarang
berhak membunuh atau mengekalkan seseorang dalam dunianya (karya sastra).
Pada
cerita Seorang Wanita & Jus Mangga ini
ada pesan moral yang disampaikan pengarang (Agus Noor) kepada kita selaku
pembaca. Pesan-pesan moral tersebut adalah, pertama
kita selaku manusia (laki-laki dan perempuan) adalah makhluk yang sama
derajatnya. Di tengah masyarakat saat ini, peran gender memang sudah
ditingalkan. Jika laki-laki bisa berkerja untuk menafkahi keluarga, maka
perempuan juga sudah mampu bekerja dan menafkahi. Kedua perempuan yang dulu dianggap “lemah” itu ternyata memiliki
kekuatan layaknya atau bahkan melebihi laki-laki. Lihat saja dalam adegan
cerita Seorang Wanita & Jus Mangga di
mana si “Aku” (perempuan) mencoba ‘mengancam’ si laki-laki dengan cara
menguliti kepalanyanya (kepala si laki-laki) dengan pisau seperti menguliti
buah mangga.
“Suatu hari, mungkin aku akan
menguliti kepalamu, seperti aku mengupas mangga ini,” katanya. “Aku akan
memulainya dari ubun-ubunmu…”
Adegan
ini menyiratkan bahwa, perempuan memiliki kemampuan untuk membunuh, seperti
laki-laki. Sifat perempuan kita kenal lembut dan penyayang, namun perempuan
juga merupakan ancaman yang sangat berbahaya. Perempuan mampu menyembunyikan
perasaannya dengan sangat rapi. Namun dalam adegan ini, Agus Noor, memberi
ruang yang baru kepada pembaca, yaitu satu dari sekian banyak cara yang
dilakukan oleh perempuan dalam menyembunyikan perasaannya adalah dengan cara
mengupas buah mangga.
Cara
tersebut memang terkesan sederhana, namun sangat jarang digunakan oleh
pengarang lain. Meski demikian, makna dan pesan moral secara disadari atau
tidak, tidak luput bagi kita selaku pembaca. Sebab, Agus Noor, mengemasnya
dengan bahasa yang secara mahfum kita kenali dan kita gunakan dalam percakapan
atau kejadian sehari-hari.
Wanita memang selalu berbahaya,
karena kita tak pernah tahu apa yang dipikirkannya. Ia seperti ingin
memperlihatkan pelajaran terbaik untuk mengenali perasaan wanita melalui
caranya mengupas. Jangan hanya memperhatikan tangan yang mengupas, katanya,
tapi perasaan yang disembunyikannya. Seorang wanita bisa menutupi perasaannya
dengan senyuman paling manis, tapi tidak ketika ia sedang mengupas buah…
Paragraf
di atas adalah alur cerita dan trik yang digunakan oleh Agus Noor untuk mengajak
kita, pembaca, mengikuti jalannya cerita. Dengan begitu, adegan demi adegan
(dalam cerita ini) tidak menjenuhkan. Melainkan memberikan semangat untuk
mencari puncak klimaks dari keseluruhan adegan tersebut. Apakah ini juga
termasuk bahasa perempuan? Ya. Ini adalah bahasa simbolik. Akan sangat berbeda
dengan laki-laki. Sebagaimana yang dituturkan oleh Anang Santoso bahwa bahasa
perempuan diasumsikan memiliki sejumlah karakteristik atau ciri khusus yang
membedakannya dengan laki-laki (2009:14).
Perempuan korban kekerasan
Jika
perempuan menjadi tempat pelampiasan kekerasan bagi laki-laki, itu sudah bukan
rahasia lagi. Banyak sudah kita saksikan, baik langsung maupun tidak langsung,
perempuan dijadikan bulan-bulanan oleh laki-laki. Sebagaimana yang ditulis oleh
Agus Noor dalam cerita tersebut. Seorang perempuan (dalam cerita tokoh ‘ibu’)
dianiaya oleh laki-laki (dalam cerita tokoh ‘ayah’) dengan meninggalkan bekas
memar pada pipi perempuan (tokoh ibu). Walaupun begitu, perempuan (ibu) masih
tetap bisa menyimpan perasaan kebenciannya kepada laki-laki (ayah).
… Aku pulang sekolah sore itu,
ketika mendapati Ibu mengupas mentimun. Ia mengupas dengan tenang, tetapi
geram. Aku memperhatikan sorot matanya yang tajam, seolah mentimun itu adalah
daging yang ingin disayatnya. Aku melihat memar di bawah mata kiri Ibu. Seperti
bekas pukulan atau hantaman…
Kekerasan
yang dilakukan laki-laki kepada perempuan tak terlepas dari ketidakjelasan yang
disebabkan oleh kurangnya penjelasan tentang kaitan antara konsep gender dengan
masalah ketidakadilan. Apa yang diharapkan si laki-laki (dalam cerita ini) dari
kekerasan tersebut selain seks. Itu disadari oleh Agus Noor, adegan tersebut
dia uraikan dalam cerita.
Aku mendengar Ayah memaki-maki
Ibu dalam kamar. Mungkin karena kecapean memaki-maki, akhirnya aku tak
mendengar lagi suara Ayah. Mungkin juga Ayah berhenti memaki karena ia sudah
birahi. Aku dengar dengus nafasnya. Suara gedebag-gedebug yang membuatku ingin
muntah. Terbayang Ibu yang terlentang diam sementara Ayah dengan kasar
menyetubuhinya…
Ketidakberdayaan
ini memberi dampak yang sangat kuat bagi perempuan. Perilaku demikian tentu
saja akan memiliki pengaruh secara psikologis kepada perempuan tersebut. Maka
jangan heran ketika suatu waktu mereka (perempuan) akan membalas perilaku
tersebut dengan cara yang lebih sadis. Bukan hanya dalam cerita ini, melainkan
juga kejadian-kejadian yang sudah kita saksikan pada realitasnya sangat
mencengangkan. Seorang perempuan memutilasi laki-laki. Ini merupakan sebuah
efek yang ditimbulkan perilaku si laki-laki sendiri.
Padang
- TJ, 2014
*Riyon Fidwar tinggal di Padang
Post a Comment