0

Oleh Riyon Fidwar*

Dalam sebuah cerita pendek yang berjudul Seorang Wanita & Jus Mangga merupakan sebuah adegan yang sudah tak asing lagi bagi kita, masyarakat, umumnya. Adegan-adegan tersebut merupakan sebuah interpretasi dari kehidupan saat ini. Dengan kepiawaian yang matang, Agus Noor mengolahnya dengan sangat matang dan elegan, sehingga pembaca hanyut dalam alur cerita. Kedataran bahasa sangat terasa, tanpa ada kata yang menyulitkan untuk dipahami. Semua terasa seperti percakapan sehari-hari saja. Meskipun demikian, pengarang mampu memberi sebuah kejutan yang mencengangkan. Bagi saya, selaku pembaca, di sinilah nilai estetik yang terkandung dalam cerita ini.

Karya sastra memang sebuah dunia baru yang diciptakan oleh pengarang. Namun dalam penciptaan itu, tidak semua orang yang mampu menciptakan dunia tersebut. Hanya “orang-orang pilihan” saja. Di sinilah kodrat pengarang ditinggikan sehasta. Pengarang mampu mencipta dunia baru dari dunia realitas. Pengarang mampu mengadopsi isi dunia ini dengan cara menghayati sedalam-dalamnya kenyataan. Apakah pengarang itu Tuhan? Ya, untuk dunia yang dia cipta itu. Pengarang berhak membunuh atau mengekalkan seseorang dalam dunianya (karya sastra).

Pada cerita Seorang Wanita & Jus Mangga ini ada pesan moral yang disampaikan pengarang (Agus Noor) kepada kita selaku pembaca. Pesan-pesan moral tersebut adalah, pertama kita selaku manusia (laki-laki dan perempuan) adalah makhluk yang sama derajatnya. Di tengah masyarakat saat ini, peran gender memang sudah ditingalkan. Jika laki-laki bisa berkerja untuk menafkahi keluarga, maka perempuan juga sudah mampu bekerja dan menafkahi. Kedua perempuan yang dulu dianggap “lemah” itu ternyata memiliki kekuatan layaknya atau bahkan melebihi laki-laki. Lihat saja dalam adegan cerita Seorang Wanita & Jus Mangga di mana si “Aku” (perempuan) mencoba ‘mengancam’ si laki-laki dengan cara menguliti kepalanyanya (kepala si laki-laki) dengan pisau seperti menguliti buah mangga.

“Suatu hari, mungkin aku akan menguliti kepalamu, seperti aku mengupas mangga ini,” katanya. “Aku akan memulainya dari ubun-ubunmu…”

Adegan ini menyiratkan bahwa, perempuan memiliki kemampuan untuk membunuh, seperti laki-laki. Sifat perempuan kita kenal lembut dan penyayang, namun perempuan juga merupakan ancaman yang sangat berbahaya. Perempuan mampu menyembunyikan perasaannya dengan sangat rapi. Namun dalam adegan ini, Agus Noor, memberi ruang yang baru kepada pembaca, yaitu satu dari sekian banyak cara yang dilakukan oleh perempuan dalam menyembunyikan perasaannya adalah dengan cara mengupas buah mangga.

Cara tersebut memang terkesan sederhana, namun sangat jarang digunakan oleh pengarang lain. Meski demikian, makna dan pesan moral secara disadari atau tidak, tidak luput bagi kita selaku pembaca. Sebab, Agus Noor, mengemasnya dengan bahasa yang secara mahfum kita kenali dan kita gunakan dalam percakapan atau kejadian sehari-hari.

Wanita memang selalu berbahaya, karena kita tak pernah tahu apa yang dipikirkannya. Ia seperti ingin memperlihatkan pelajaran terbaik untuk mengenali perasaan wanita melalui caranya mengupas. Jangan hanya memperhatikan tangan yang mengupas, katanya, tapi perasaan yang disembunyikannya. Seorang wanita bisa menutupi perasaannya dengan senyuman paling manis, tapi tidak ketika ia sedang mengupas buah…

Paragraf di atas adalah alur cerita dan trik yang digunakan oleh Agus Noor untuk mengajak kita, pembaca, mengikuti jalannya cerita. Dengan begitu, adegan demi adegan (dalam cerita ini) tidak menjenuhkan. Melainkan memberikan semangat untuk mencari puncak klimaks dari keseluruhan adegan tersebut. Apakah ini juga termasuk bahasa perempuan? Ya. Ini adalah bahasa simbolik. Akan sangat berbeda dengan laki-laki. Sebagaimana yang dituturkan oleh Anang Santoso bahwa bahasa perempuan diasumsikan memiliki sejumlah karakteristik atau ciri khusus yang membedakannya dengan laki-laki (2009:14).

Perempuan korban kekerasan

Jika perempuan menjadi tempat pelampiasan kekerasan bagi laki-laki, itu sudah bukan rahasia lagi. Banyak sudah kita saksikan, baik langsung maupun tidak langsung, perempuan dijadikan bulan-bulanan oleh laki-laki. Sebagaimana yang ditulis oleh Agus Noor dalam cerita tersebut. Seorang perempuan (dalam cerita tokoh ‘ibu’) dianiaya oleh laki-laki (dalam cerita tokoh ‘ayah’) dengan meninggalkan bekas memar pada pipi perempuan (tokoh ibu). Walaupun begitu, perempuan (ibu) masih tetap bisa menyimpan perasaan kebenciannya kepada laki-laki (ayah).

… Aku pulang sekolah sore itu, ketika mendapati Ibu mengupas mentimun. Ia mengupas dengan tenang, tetapi geram. Aku memperhatikan sorot matanya yang tajam, seolah mentimun itu adalah daging yang ingin disayatnya. Aku melihat memar di bawah mata kiri Ibu. Seperti bekas pukulan atau hantaman…

Kekerasan yang dilakukan laki-laki kepada perempuan tak terlepas dari ketidakjelasan yang disebabkan oleh kurangnya penjelasan tentang kaitan antara konsep gender dengan masalah ketidakadilan. Apa yang diharapkan si laki-laki (dalam cerita ini) dari kekerasan tersebut selain seks. Itu disadari oleh Agus Noor, adegan tersebut dia uraikan dalam cerita.

Aku mendengar Ayah memaki-maki Ibu dalam kamar. Mungkin karena kecapean memaki-maki, akhirnya aku tak mendengar lagi suara Ayah. Mungkin juga Ayah berhenti memaki karena ia sudah birahi. Aku dengar dengus nafasnya. Suara gedebag-gedebug yang membuatku ingin muntah. Terbayang Ibu yang terlentang diam sementara Ayah dengan kasar menyetubuhinya…

­­­­Ketidakberdayaan ini memberi dampak yang sangat kuat bagi perempuan. Perilaku demikian tentu saja akan memiliki pengaruh secara psikologis kepada perempuan tersebut. Maka jangan heran ketika suatu waktu mereka (perempuan) akan membalas perilaku tersebut dengan cara yang lebih sadis. Bukan hanya dalam cerita ini, melainkan juga kejadian-kejadian yang sudah kita saksikan pada realitasnya sangat mencengangkan. Seorang perempuan memutilasi laki-laki. Ini merupakan sebuah efek yang ditimbulkan perilaku si laki-laki sendiri.

Padang - TJ, 2014
*Riyon Fidwar tinggal di Padang


Post a Comment

 
Top