Foto: Dari e-paper Serambi |
Aku sangat merindukan ombak
ombak yang menangkis tangis
tangis yang berderai ketika kelahiran anak pertama
Aku rindu karang
karang yang mendinding kerakusan
kerakusan yang lahir dari kuasa manusia
manusia yang lahir dari kebencian
Aku merindukan pantai
pantai tempat menidurkan segala mimpi
mimpi yang terbenam dalam di rusuk malam
malam yang selalu memutar kelam
Aku rindu air laut
air laut yang memandikan aku dengan garam asin
garam asin yang selalu dimasak oleh Bunda
Bunda yang selalu sadar dan sabar menunggu dengan
doa
doa yang selalu hilang ditelan kegaiban
Ketapang Indah, 16102019
Air mengalir dari hutan hingga ke tali jantungku
kemudian bermuara ke hatimu
Kapal-kapal akan segera berlayar mengarungi mata
angin
Di airmu yang yang tenang tergenang air mata
yang meluluhkan Bukit Barisan
Di airku yang gamang tergenang mata air
yang membawaku hanyut entah ke mana.
Air di rimba tinggal menggenang mengairi akar-akar
pohon kayu
sementara air di laut terbang menguap menjadi
segumpal awan hitam.
Ketapang Indah, 21102019
Gemuruh ombak lautan membawa kenangan
dari tahun-tahun yang berlalu
membaca masalalu
Merenungi segala gelisah yang baru
dengan luka yang lama
sakit yang baru
dengan darah yang beku
Tak sia-sia engkau lepaskan tali kapal itu, kawan
kapal yang membawamu berlayar sejauh mata memandang
Gemuruh ombak lautan itu
berdebur di pelabuhan ini
tercium juga kabarmu
kubaca juga jejakmu
di kampung kita
jejak yang lekat oleh karat waktu
Tak sia-sia
tak sia-sia
Ketapang Indah, 19112019
Biodata:
*Riyon Fidwar lahir di Haloban, Pulau Banyak
Barat, Aceh Singkil. Menulis puisi.
**Puisi ini telah dimuat di Koran Serambi edisi Minggu (15/12).
Post a Comment