0


*Dua Prolog

Cerita Riyon Fidwar*

1

Hari ini adalah hari pertama kami bertemu. Setelah sekian tahun tidak pernah berjumpa. Jika dihitung dengan jari tangan, tidak akan terbilang dan digabung dengan jari kaki, juga tidak cukup. Tahun-tahun memang sangat cepat terganti dan tanpa disadari umur tambah tinggi. Kini, kami berjumpa untuk pertama kalinya dari sekian tahun dulu. Tak ada kabar.

Perjumpaan ini tentu sangat memberikan arti bagi kami. Akan ada banyak cerita yang akan kami ceritakan dengan penuh suka ria. Kami akan bertemu di salah satu kafe yang sudah dipesan tiga hari yang lalu.

***
Hari itu, hujan lebat sekali. Membuat saya malas untuk ke luar rumah. Waktunya malas-malasan sambil membuka salah satu akun media yang saya punya. Tiba-tiba ada yang meminta pertemanan. Saya buka. Namanya aneh sekali. Seperti akun anak muda yang baru puber nampaknya, saya pikir. Tidak saya tanggapi pertemanannya. Setelah setengah jam berlalu, ada pesan masuk. Saya buka, isinya, “Mohon konfirmasi pertemanan ini, Bung. Salam Kawanmu.” cepat-cepat saya buka pertemanan tadi. Saya masuk akunnya dengan mengklik nama akun yang aneh tersebut. Rasanya saya pernah lihat orang ini, tapi di mana?

***

Pikiran saya mulai merangkak jauh, tapi tidak tentu tujuan. Merambah masa lalu, meraba-raba waktu yang entah. Tepat sekali. Saya pernah berjumpa orang ini. Annisa Khalifah Abdillah. Gadis berwajah manis yang alim. Perempuan ini pernah membuat saya setengah gila. Belum sempat hank. Mengapa tiba-tiba dia meminta pertemanan? Dari mana dia tahu nama akun saya? Pesannya seperti memaksa saya untuk menerima pertemanan ini, mengapa?

***
Pada pertemuan ini, kami pasti tenggelam dalam cerita lama. Kisah-kisah yang sepertinya usang akan dibuka lagi. Saya benci sebenarnya mengulang-ulang hari lalu. Bagaimana pun itu, saya akan terima.

***
2

Memang benar, kata Nur Laila, lelaki itu sangat ganteng di jaman kami sekolah dahulu. Perempuan mana yang tidak lekat sama dia. Bahkan si cantik Annisa Khalifah Abdillah pun pernah jatuh hati padanya. Ini saya tahu dari kawan Annisa. Saat itu saya kecewa. Si Tampan (begitu kami menggelarinya) itu ciri-cirinya kira-kira begini, rambut ikal, badan atletis. Tinggi. Hebat beladiri, karate, silat dan taekwondo. Semua segan kepadanya. Kehebatannya itu dibuktikan dengan menjuarai berbagai lomba, khusunya dalam bidang beladiri. Sekolah kami, waktu itu, sangat disegani. Sementara di bidang pelajaran, dia juga jago sains. Ilmu hitung semua dilibas. Guru pun segan kepadanya. Bukan hanya karena ketampanannya, melainkan kepadaian dan kesopanannya.

Banyak laki-laki di sekolah kami dahulu iri kepadanya. Baik di bidang asmara maupun di bidang pelajaran. Mau dikeroyok, tidak sanggup. Dia hebat bela diri. Rata-rata laki-laki di sekolah kami dahulu, hanya gigit jari.

Dia jarang pula bergaul. Kawannya hanya beberapa orang laki-laki di lokal kami saja yang akrab dengannya. Selebihnya, kawan begitu saja. Bagaimana tidak, semua pada segan berkawan dengannya. Jika ada laki-laki yang berkawan dengannya, orang lain pasti sudah menebak duluan, orang itu pasti ingin memanfaatkan ketampanannya untuk mendekati seorang perempuan. Hanya saja, perempuan yang didekati itu, sudah bakal tidak suka dengan pria yang berkawan dengan lelaki tampan itu. Malah si perempuan lebih memilih dekat dengan Si Tampan.

Ada juga sebagian berpendapat, bahwa berkawan dengannya itu hanya memanfaatkan situasi saja, yakni ketika ujian. Dengan berkawan dengan Si Tampan, maka beberapa soal ujian bisa tertolong. “Dia anak yang baik. Tidak pelit.” kata seorang siswi yang pernah ditunjukkannya satu jawaban soal ujian waktu itu.

Memang dia anak yang baik dan sopan. Sebenarnya dia tidak suka memilih-milih kawan. Tapi, orang segan kepadanya, karena ketampanannya dan kepandaiannya. Tapi, sebanyak itu siswi yang keseleo matanya bila berhadapan, tak satu pun siswi yang dipacarinya di sekolah kami waktu itu. Pernah ada seorang kawannya yang dengan iseng menanyakan tentang pacar, tapi si pemuda tampan itu hanya menggeleng saja. “Apa kamu homo?” tanya kawannya dengan sedikit gurauan. “Aku ingin menikah dahulu, baru pacaran,” jawabnya. Namun pada waktu itu, kawannya tidak bisa menafsirkan dengan saksama arti dari perkataan Si Tampan itu.

Semenjak kami masuk sekolah, barulah mahu tamat ini saya baru tahu sedikit tentang seluk-beluk keluarga Si Tampan ini. Wajar dia bersikap seperti itu, alim dan sopan. Dia punya ayah seorang ustad. Mengajar di sebuah sekolah pesantren. Tamatan sekolah tinggi di salah satu perguruan tinggi agama. Sementara ibunya hanya seorang pengurus rumah tangga dengan latar pendidikan sarjana pula dan sangat taat kepada suaminya, ayah Si Tampan.

Wajarlah dia berpenampilan begitu, selain tampan, juga memiliki sikap yang baik, pintar dan sopan. Tapi, tidak banyak siswa-siswa yang berteman dengannya dikarenakan beberapa faktor. Yaitu, kepintarannya, ketampanannya, kealimannya, kesopanannya, kebaikannya, dll.

Dia sangat sempurna ketika kami masih sekolah dahulu. Jika dia mati pada waktu itu, tentu surga baginya. Tunai.

***
Dalam acara reunian ini, para perempuan yang sempat kecewa dengan tidak diterima cintanya oleh Si Tampan itu, sering diolok-olok. Saya pikir bukan hanya seorang dua saja, melainkan seluruh perempuan di meja ini sempat patah hati waktu itu. Bukan karena mereka tidak cantik, melainkan sebaliknya, mereka pun termasuk perempuan yang diperhitungkan waktu itu dalam dunia perempuan pujaan hati lelaki waktu itu. Apalagi kami satu lokal dengan Si Tampan, tentu ini menjadi nilai plus bagi perempuan ini bersolek dengan wewangian ala anak sekolahan.

Hanya saja, Si Tampan itu yang tidak membuka hatinya kepada perempuan manapun di sekolah kami maupun di luar sekolah kami waktu itu. Perempuan-perempuan di meja ini dengan geli menceritakan bagaimana kejadian mereka jatuh hati kepada Si Tampan, satu per satu. Sementara kami laki-laki yang dengan tenang mendengar cerita mereka. Walaupun itu sudah terjadi di tahun-tahun yang sudah lampau menurut kami saat ini.

Pertemuan kami kali ini memang sangat indah dan berkesan. Laki-laki dan perempuan membawa bini dan suami serta anaknya, bagi yang sudah menikah dan punya anak. Ada juga di antara kami yang belum menikah. Kebanyakan itu dari laki-laki.

Setelah berbincang-canda selama itu, baru saya teringat seseorang. Saya lihat di sekeliling kami, tidak ada. Saya beranikan diri untuk bertanya, “Di mana Abdul Ghani, Si Tampan itu? Mengapa tidak diundang?” seketika pertanyaan itu membuat semua orang terdiam seketika. Saya heran mengapa mereka membuat ekspresi seperti itu.

Memang beberapa orang di antara kami ada yang tahu mengenai kabar Abdul Ghani ini. Tapi kebanyak dari kami yang hadir saat ini tidak tahu sama sekali.

“Ya,” cetus perempuan-perempuan yang pernah patah hati waktu itu. Barulah semua perempuan berceloteh lagi. Mengutuk perbuatan Abdul Ghani, Si Tampan itu.

“Jika dia datang, aku akan menanyakan kepadanya seperti ini,” dengan penuh ekspresi Nur Laila membuat lelucon di hadapan kami dan suaminya serta anaknya yang masih kecil. “Abdul Ghani, Si Tampan mengapa kauberani menolak cintaku dahulu?!” sambungnya. Suami Nur Laila hanya tersenyum datar. Nur Lailalah yang merasakan langsung efek cinta yang ditolak mentah-mentah oleh Abdul Ghani ini waktu itu. Makanya dia juga yang paling nyinyir bila membahas tentangnya.

Semua bersorak-sorak melihat aksi Nur Laila. Perempuan memang banyak ekspresi bila bertemu dengan kawan lama. Mereka tak segan-segan membuat lelucon yang tak pantas dipertontonkan. Bahkan tak sesuai dengan paras wajah mereka yang kian cantik saat ini.

Nur Laila memang sangat cantik saya lihat direunian ini. Walaupun ada dua orang yang di atasnya, yaitu Sakinah dan Warahmah. Si anak kembar yang sudah bersuami pula dan memiliki anak. Sayang, dia sudah menikah.

Selain itu, saya juga pernah jatuh hati kepada si Sakinah ini. Tapi tidak pernah saya utarakan. Baik kepadanya langsung maupun kepada kawannya. Bahkan hari ini, di reunian ini, saya sempat kagum melihatnya. Apalagi Annisa Khalifah Abdillah, oh, mata keranjangku mulai genit.

Setelah semua perempuan yang duduk di meja sambil menikmati hidangan yang sudah dipesan, saya mengungkit lagi tentang Abdul Ghani, Si Tampan itu. “Mengapa tidak diundang?” lagi-lagi pertanyaan itu saya utarakan.

“Apakah dia sudah menikah?” cetus saya lagi. Semua perempuan terdiam dan terlihat gugup.

“Sudah,” jawab Qori. Semua perempuan melepaskan nafas panjang dengan kemurungannya sendiri-sendiri.
Qori ini adalah kawan baik dan sangat dekat dengan Abdul Ghani bila dibandingkan dengan kami semua. Jadi, hingga kini pun, mereka masih berteman karib. Begitu penjelasan Qori pada kami. Namun, Qori sempat kehilangan kontak dengan Si Tampan. Mereka tidak pernah berjumpa. Namun, saat Si Tampan menikah, Qori turut diundang pula. Mulai saat itu, mereka menjalin lagi komunikasi sampai saat ini, jelas Qori.
Qori juga sudah mengajak Si Tampan datang ke sini, tapi dia tidak bisa janji untuk hadir. Sebab, dia mengajar di sekolah tempat ayahnya mengajar dulu. Jadi, sayang meninggalkan anak-anak, jelasnya. Tapi, jika ada waktu nanti, setelah jampelajaran usai dia akan datang. Alamat ini sudah diberikan kepada beliau. Sambung Qori lagi.

“Tentulah cewek yang menjadi isterinya sangat cantik,” sesal perempuan yang duduk di sebelah Warahmah.

“Tentu. Cewek pilihan Abdul Ghani, Si Tampan itu, pastilah lebih cantik, melebihi kita ini,” cetus Nur Laila lagi sambil melihat kepada suaminya yang pura-pura tidak mendengar perkataan isterinya barusan.
Cantik memang. Jawab Qori. Tapi yah, begitulah. Nasib manusia siapa yang tahu. Jelas Qori menanggapi celoteh itu.

“Orang mana isterinya, Qor,” tanya ketua kelas kami dahulu.

“Orang kita juga,” tukasnya sambil bercanda.

“Seriuslah,” keluh Annisa yang duduk di sebelah Warahmah.

Sambil tertawa Qori menjelaskan, bahwa Abdul Ghani, Si Tampan yang membuat hati perempuan meleleh dengan ketampanan dan kepadaiannya itu, telah menikah dengan seorang janda yang sudah beranak. Kalian tahu janda yang dinikahi itu? Kami semua diam menunggu kelanjutan Qori. “Guru kita, isteri Pak Rajab almarhum!”

Semua yang duduk di meja itu melompat dan terpekik dan mengulang kata-kata Qori yang terakhir “Guru kita, isteri Pak Rajab almarhum?!” “Janda. Tua? Dengan dua orang anak itu,” sambung perempuan serempak. Setelah Qori menjelaskan panjang-panjang mengenai hal ihwal Si Tampan, Abdul Ghani itu, tidak ada lagi percakapan mengenai Si Tampan itu lagi.

Kami semua berdiam saja mendengar pejelasan Qori itu. Perempuan-perempuan di meja ini tidak ingin berbicara satu pun. Sepertinya, cerita mengenai Abdul Ghani, Si Tampan itu sudah tidak perlu lagi dibahas. Sudah basi. Hanya kami, laki-laki saja yang terus berceloteh dengan kenyinyiran yang tidak tentu arahnya.

Tiba-tiba seseorang memarkir sepeda motornya di parkiran kafe. Kami bisa melihatnya dengan jelas. Sebab jarak antara parkir dengan tempat kami duduk tidak terlalu jauh. Seseorang yang duduk di belakangnya sambil menggendong seorang anak kecil mengikuti Abdul Ghani dari belakang. Anak pertamam mereka. Sementara anak yang dua orang lagi sedang ,menjalani mata pelajaran di sekolah mereka.

“Itu. Itu. Ituuuuu.....” pekik geli perempuan yang duduk di meja ini.


Gosong Telaga, 2018

Biodata: Riyon Fidwar lahir di Haloban, Agustus 1990. Sekarang di Ketapang Indah, Gostel, Aceh Singkil.

*Sebelumnya Cerpen ini berjudul "Dua Prolog" tapi oleh Redaksi diubah menjadi "Cerita Lama"

**Cerpen ini telah terbit di Serambi, (23/12) edisi Minggu

Post a Comment

 
Top