0
Cerita Riyon Fidwar

Kami memanggilnya Rukmini. Nama itu sebenarnya tidaklah cocok untuknya. Dengan rupa dan badan yang seindah itu. Dia lebih pantas dipanggil dengan nama Dewi atau Anggun. Tapi, entah mengapa, nama Rukmini bisa melekat padanya. Saya pernah mendengar sebuah cerita tentangnya dan nama yang disematkan pada dirinya. Pada umur tujuh hari sampai umurnya dua tahun, orang tua Rukmini memberikan nama yang indah, yaitu Annisa Kato Mahligai. Nama yang membuat para lelaki meleleh mendengarnya. Itu nama sangat cocok dengan parasnya yang aduhai. Mata lolak, hidung tinggi, bibir tipis merona, pipi ayu dan rambut ikal panjang bergerai. Laki-laki mana yang tidak suka kepadanya. Mulai dari nama hingga paras. Ditambah lagi ketika kecil itu, Rukmini sangat lincah dan riang. Jarang menangis. Selalu ceria. Membuat ibu-ibu ketika hendak menggendongnya betah dan ingin memiliki anak seperti Rukmini kecil. Ayahnya memeberi panggilan “Mahligai” (sebelum berganti menjadi Rukmini).

Terlahir dari keluarga yang tidak miskin dan tidak juga kaya, Mahligai kecil memberikan harapan yang besar kepada ayah dan ibunya kelak akan besar, harapan ayahnya dia akan disekolahkan pada sekolah tinggi jurusan Sastra. Ayahnya seorang nelayan (penyuka sastra) dengan penghasilan yang tidak bisa dipastikan. Sementara ibunya hanya sebagai penjual cendol biasa. Keluarga mereka tinggal di sebuah desa di pinggir pantai. Tepatnya di sebuah pulau yang sangat jauh dari perkotaan. Jarak tempuh yang memakan waktu empat sampai lima jam perjalanan jika ditemput memaluli kapal boat (selanjutnya bot). Kapal kayu yang panjangnya dua puluh hingga dua puluh lima meter dengan kapasitas muatan tiga puluh sampai empat puluh ton. Itulah satu-satunya transportasi yang menghubungkan pulau tempat mereka tinggal dengan ibu kota kabupaten. Jadwal keberangkatan bot tersebut pun tidak bisa ditentukan. Selain bergantung pada cuaca, bot akan berangkat jika ada muatan ikan yang akan dibawa.

Sebagai nelayan, ayah Mahligai berangkat pagi sekali dan pulang pada petang hari, pukul lima sore. Sementara ibunya akan menyiapkan segala perbekalan di subuh buta. Begitu selesai sembahyang subuh ayah Mahligai akan mendorong perahunya ke tengah laut dan nasibnya akan ditentukan oleh cuaca dan Tuhan. Sementara ibunya, sebagai penjual cendol akan juga bersiap menyelesaikan pekerjaan yang seharusnya dia lakukan sebelum Mahligai terbangun.

Kami yang dilahirkan sebagai keluarga nelayan sebenarnya bukanlah kehendak kami. Apalagi terlahir di pulau yang jauh dari perkotaan. Kami berada di tengah-tengah lautan yang maha luas. Jika saja bisa memilih, lebih baik kami dilahirkan di perkotaan dengan kecukupan yang memadai. Tapi, kami tidak dibenarkan lahir di sana. Kami ingin ke kota. Namun orang kota ingin lahir di desa. Di tengah lautan. Seorang nelayan berangkat pagi sekali dengan doa yang sudah pasti, yaitu terbebas dari maut laut yang selalu mengancam. Harapan itu tidak akan berubah jauh dari harapan ayah Mahligai. Nelayan yang satu ini sangat berbeda dari nelayan-nelayan lain. Jika para nelayan yang pulang pada sore hari, malamnya, setelah sembahyang maghrib para nelayan di kampung kami akan pergi ke warung kopi. Mereka akan membicarakan perjalanan mereka juga penghasilan hari ini. Lalu menghabiskan dua bahkan tiga gelas kopi sebelum pulang pada pukul dua belas malam.

Mereka bicara seolah-olah tak ada beban yang mereka pikul. Tugas mereka hanyalah melaut dan hasilnya diberikan kepada isteri untuk belanja rumah. Begitu seterusnya. Bahkan dari dahulu selalu seperti itu. Mereka tidak memikirkan bagaimana isteri mereka sangat merindukan mereka sepenjang hari. Mereka tidak juga memikirkan isteri mereka ingin berbicara mengenai kerinduannya itu. Lalu mereka juga tidak punya waktu mendengar cerita anak-anaknya. Betapa egoisnya nelayan kami ini. Sebagai kepala rumah tangga, tanggung jawab mereka hanyalah sekedar “uang” untuk menutupi belanja dapur dan perut. Begitulah sedikit gambaran kehidupan nelayan di kampung kami. Tapi, bisa dimaklumi, sebab, tingkat pendidikan mereka hanya sebatas es-de itu pun banyak yang tidak mendapatkan ijazah. Jadi, jika pemikiran mereka seperti itu mengenai keluarga tidaklah salah. Sebab, keluarga bagi mereka hanyalah sebagai wadah yang harus diisi. Tidak bisa kosong. Tapi, jika mereka tahu hakekat keluarga itu, mereka tidak akan membiarkannya seperti itu, pelepas hutang.

Padahal wadah itu, selain diisi, juga harus dijaga dan dirawat. Mulai dari belakang rumah sampai ke ujung jalan di depan rumah. Termasuk di sudut-sudut kamar dan dinding lemari. Lelaki juga harus tahu. Nelayan di kampung kami memang sangat egois. Mereka tidak akan peduli dengan segala kejadian di dalam rumah tangga mereka. Semuanya harus ditanggung oleh isteri. Anak menangis, mengganti celana anak, menyuci baju, menggosok lantai sumur. Memasak dan mengiris bawang. Membersihkan halaman rumah dan belakang rumah. Semua beban itu diemban oleh isteri. Laki hanya mencari uang di lautan dan membaginya. Setelah itu, laki akan menuntut haknya, yaitu menindih isterinya di malam hari ketika seluruh anggota keluarganya yang lain pada lelap tertidur. Jika tidak terpenuhi haknya, laki akan menghancurkan segala yang ada di rumah itu. Bahkan rela meninju, menempeleng isteri bahkan laki tak akan segan-segan menerjang isteri. Biadab.

Jadi, di kampung kami laki-laki yang meresa sebagai “budak” adalah raja yang memiliki hasrat sepenuhnya untuk menguasai perempuan. Perempuan dijadikan kain lap yang membersihkan segalanya. Luar dan dalam rumah. Ada sebenarnya keinginanku untuk mengatakan hal ini kepada nelayan laki-laki di kampung kami, bahwa laki-laki itu bukan hanya sekedar memberikan belanja rumah tangga dan melupakan kewajiban yang lebih penting dari uang, yaitu mendidik keluarga. Menjaga anak dan mengajarinya sembahyang serta ayat-ayat pendek. Juga mengajari isteri cara bertutur dan menjaga sikap di saat laki keluar rumah mencari rizki. Tapi aku tidak memiliki kekuatan. Aku sedikit berdosa karena telah membiarkan ini terjadi selama bertahun-tahun, dan itu tidak kami sadari. Kami menganggap hal seperti itu sudah biasa. Bukan lagi sesuatu yang dimalukan. Laki menjemur pakaian anak dan isteri dianggap sebuah hal yang tidak pantas, dikatakan sebagai laki-laki yang tidak punya harga diri. Pada hal itu  salah satu cara menjaga keakraban suami-isteri. Orang lain pun tidak akan memandang rendah kepada seorang isteri. Mengapa hanya isteri saja yang dibenarkan untuk menjaga harga diri suami? Apakah suami tidak berhak untuk menjaga harga diri isterinya?

Ayah Mahligai tidak demikian. Dia akan pulang ke rumah dan tidak lagi keluar setelah sembahyang maghrib selesai. Jika ingin minum kopi, dia akan memesan kepada isterinya dengan bahasa rayu dan menggoda. Mereka bercerita sampai pukul dua belas malam atau lebih mengenai pengalaman mereka setiap hari selama mereka tidak berjumpa. Keduanya sudah bertekad untuk saling percaya di mana pun mereka berada. Saksi mereka adalah Tuhan. Tapi, di luar rumah, mereka selalu diperolok-olok. Ayah Mahligai dikatakan sebagai orang kikir karena tidak mau pergi ke warung meminum segelas kopi dan menghabiskan waktu dengan para nelayan lainnya. Sementara isterinya, dikatakan sebagai seorang isteri yang sudah menjatuhkan harkat dan martabat suami karena sudah menyuruh suaminya menjemur kain sperai yang terkena kencing anak mereka.

Selain itu, bermacam-macam kata yang membikin hati tersayat dihujani kepada mereka. Tapi, keduanya tetap pada pendirian dan menyerahkan segalanya kepada Allah, Tuhan Yang Esa. Mengapa setiap orang yang ingin mencoba meluruskan niatnya dalam keluarga selalu menjadi tumpukan “ejekan” sosial? Mereka mencoba hidup dengan damai tanpa menghiraukan sindiran dari orang lain. Mahligai anak mereka kini beranjak dua tahun umurnya. Dia semakin lincah bagai kijang di tengah rimba. Ditambah tawa riang yang menjadi obat lelah kedua orang tua itu. Malang melintang menerpa anak lincah itu. Demam tinggi. Dalam sekejap, badannya yang berisi bagai jangung terkulai kurus. Matanya yang penuh semangat redup seketika. Ayahnya sudah tidak lagi pergi melaut untuk sementara. Begitu juga dengan ibunya, menutup sementara gerai cendolnya.

Obat kampung berupa ramuan untuk anak-anak mereka berikan. Mulai dari daun sidingin yang diletakkan di kening Mahligai, untuk pencabut panas hingga air beras untuk diminum. Tapi semua sia-sia. ASI tidak lagi diteguknya. Badannya panas tinggi. Siang malam, kedua orang tua muda itu bergantian menjaga anaknya. Sesekali saja dihisapnya puting susu ibunya, tapi tidak selahap dahulu. Mahligai selalu menangis. Orang tua dari suami isteri ibu Mahligai datang ke rumah melihat cucu mereka. Beberapa sanak famili yang peduli dengan mereka juga datang membesuk. Seminggu. Belum ada perubahan dari sakitnya. Dua minggu. Begitu juga. Belum ada tanda-tanda bahwa Mahligai kecil akan pulih dari demam.

Dokter dari puskemas pembantu di kecamatan datang juga ke rumah. Diberikannya sirup dan vitamin untuk anak. Setelah bebeapa hari, juga belum ada harapan. Kedua orang tua muda itu, hampir putus asa. Mereka terus merawat anak kijang yang lincah itu. Badannya semakin kurus. Beberapa orang dukun kampung pun sudah didatangkan. Tapi tetap tidak ada jawaban kepulihan puteri kecil itu. Entah mengapa terlintas saja kepada mertua isteri dari ayah Mahligai itu sebuah pernyataan, bahwa anak ini harus diganti namanya. “Sebab nama Annisa Kato Mahligai tidak cocok untuknya. Terlalu berat. Makanya dia sakit dan belum sehat sampai sekarang.” jelas ibu dari ayah Mahligai. Tapi itu terlalu berat bagi ibu Mahligai. Tidak mungkin. Apalagi mereka sudah mengakekahkan anak kijang itu. Tidak mungkin diganti begitu saja. “Pertimbangkanlah,!” tutup mertuanya dengan peduli.

“Ini sangat bertentangan dengan akal pikiranku, Bang. Mengapa harus begitu. Apakah tidak ada jalan lain?” ungkap isterinya. Lakinya hanya diam saja sambil mengelus-elus kepala Mahligah di pangkuan isterinya. “Jika tidak ada perubahan sampai esok hari, terpaksa kita ganti namanya,” balas suaminya. Kepercayaan adat seperti ini memang sangat tidak masuk akal. Apa hubungannya nama dan kesehatan? Tapi begitulah adat kepercayaan orang pulau tersebut. Jika anak sakit dan tidak sembuh-sembuh juga selama berbulan atau sakit-sakitan, maka solusinya berganti nama.

Mitos-mitos seperti ini memang sangat tidak masuk akal. Tapi sudah banyak dicoba oleh orang pulau. Bahkan sudah dari dahulu kepercayaan ini dipegang teguh oleh kelompok masyarakat tersebut. Lalu mencarikan si anak orang tua untuk mengobati “Orang tua obat”. Anak tersebut akan memanggil orang tua obat itu sebagaimana orang tua kandungnya. Perbedaannya, ada kata “obat”. Kepada laki-laki anak itu akan memanggil “Pakubek (ayah obat)” dan kepada perumpuan “Makubek (mak obat)”. Si anak yang sakit akan mereka bawa pulang ke rumah mereka untuk beberapa hari lamanya. Lalu dikembalikan lagi kepada orang tua kandungnya. Ada juga kedua orang tua obat ini tidak membawa si anak yang sakit ke rumah mereka, cukup di rumah orang tua kandung si anak itu saja. Mereka yang datang beberapa kali saja untuk melihat si anak. Menurut keparcayaan orang kampung kami, cara tersebut sangat membantu si sakit. Untuk mencari “orang tua obat” itu, perlu keahlian seorang dukun, siapa yang cocok untuk mengasuh anak yang sakit itu. Biasanya indera seorang dukun itu tidak akan meleset menunjukkan nama orang tua obat tersebut.

Cara itulah yang menyelamatkan Mahligai dari sakit yang sudah empat bulan lebih menjeratnya. Kurus sangat badannya. Matanya cekung ke dalam. Berat badannya sudah tidak seimbang lagi. Tawanya yang renyah belum lagi tersungging dari bibirnya. Suaranya belum keluar walaupun tangan dan kakinya sudah bermain satu-satu. Acara pergantian nama tersebut tidak lagi dengan upacara adat atau semacamnya, hanya dilakukan begitu saja. Setiap ada orang yang datang, ketika mereka memanggil nama Mahligai, ayahnya langsung mengalihkan nama tersebut, “Rukmini. Namanya sekarang Rukmini,” tukas ayah muda itu. O, Rukmini. Manis sekali. Balas yang menyapa tadi .....

“Sejak saat itu nama Rukmini melekat kepadanya,” jelas ibu kepadaku. Begitulah sedikit gambaran keluarga Mahligai yang aku dengar dari ibu. Ibu bercerita dengan penuh kesadaran dan meninggalkan keheranan pada wajahku. “Sukakah engkau pada Rukmini, Anakku!” tanya ibu. Seperti bedil yang diletuskan di tepi telingaku. Aku tergagap menjawab tidak. Lalu aku diam tanpa berkata apapun. “Bu, aku ingin mendengar semua cerita mengenai keluarga Rukmini. Sebab, aku merasa “kasihan” kepadanya. Ah...” aku mulai terbawa suasana dan keinginan untuk mencintai dan menjaganya. Tapi ibu hanya menjawab, “Engkau jatuh cinta, Anakku!”. “Tidak, Ibu,” aku membela.

Mengapa tiba-tiba saja aku ingin membahas keluarga Rukmini, padahal sebelumnya aku tidak tertarik membahas orang lain. Tapi, ketika aku melihat Rukmini yang sudah dewasa itu di halaman rumahnya. Ketika itu dia sedang menyapu. Tak sengaja aku lewat depan rumahnya, pandang kami bertaut. Sejak saat itu pula wajahnya yang manis itu terbayang-bayang. Cantik, baik, walaupun sekolahnya tidak selesai sampai starata 1 (satu). Tapi sudah cukup membuat aku sedikit gila. Hari itu, ibu menceritakan segalanya tentang keluarga Mahligai yang sudah berganti menjadi Rukmini. Kebaikan dan kesabaran mereka menempuh segalanya dengan cinta.

Benar apa kata ibu, aku sedang jatuh cinta. Tapi sejak kapan? Ah, Rukmini. Aku malu mencintaimu dengan ketololanku. Ai, ternyata cinta tidak diajarkan di sekolah tinggi. Aku hanya tersenyum-senyum dan ibu semakin tahu maksudku menanyakan perihal keluarga Rukmini.

Haloban-Singkil, 7 – 9 Februari 2018


Biodata:

Riyon Fidwar lahir di Haloban, Pulau Banyak Barat, Aceh Singkil. Sekarang tinggal di Gosong Telaga. Alumnus Sastra Indonesia Universitas Andalas ini aktif menulis berupa puisi, cerpen dan artikel yang pernah dipublikasikan di media massa cetak seperti Padang Ekspres, Singgalang, Rakyat Sumbar, Haluan, DinamikaNews, Republika, Rakyat Sultra, Batam Pos, Lampung Post. Sekarang bergiat di komunitas TJ. Dia bisa dihubungi di riyonfidwar@gmail.com

Post a Comment

 
Top