Cerpen Riyon Fidwar*
Sudah dua bulan saya berada di Sibolga, kota Nauli dengan hiruk
pikuk yang menyenangkan. Membuat saya lupa apa yang menjadi tujuan saya datang
ke kota ini, yaitu jalan-jalan. Menghabiskan uang. Tabungan hasil laut yang
hampir setahun saya tabung-saya simpan. Sekaranglah saatnya untuk menghabiskan
semuanya, tanpa sisa-sisa. Belanja baju dan celana, makan dan minum apa saja. Apalagi baru pertama
melihat kota sebesar Sibolga, segalanya, semaunya ingin dibeli. Ingin dimakan. Ah, betapa
rakusnya.
Benar kata orang yang telah pulang dari kota ini, segalanya memang
ada. Tak puas hati kita jika diperturutkan kehendak diri. Asal ada uang,
segalanya dapat. Lampu kotanya sangat banyak warnanya, berkelap-kelip. Kendaraan begitu
padat. Pelabuhan kapalnya sangat besar dan itu mengingatkan saya pada kampung
halaman yang tidak mungkin dibangun di sana. Kapal-kapal banyak yang datang dan
pergi. Terompetnya terdengar sampai ke rumah di mana aku menumpang tinggal, jalan Sambas. Benar kata
orang kampung saya lagi, bahwa Sibolga itu dipadati orang Batak, Cina, Nias, Padang, Jawa dan
lain-lain. Satu hal yang perlu kauingat, kata orang kampung saya, jika orang
Batak itu berucap dengan kata yang keras dan tajam, kauharus balas dengan
kejam. “Saya
takut,” tukasku. Makanya, kata orang kampung saya, cobalah datang ke sana. Rasakan
sendiri sensasinya.
Jika kaupergi ke sana, jangan lupa datang ke Alun-alun Kota, Pajak
(pasar), Pasar Belakang, Tagor dn beberapa tempat eksotik lainnya. Kata-kata
itu membuat saya seakan-akan sudah berada di sana. Mulai saat itu, saya niatkan
untuk datang ke sana dan mengumpulkan uang sebanyak yang saya sanggup.
Sekurang-kurangnya, untuk ongkos dan belanja selama satu bulan atau lebih.
Untuk ongkos rumah tidak perlu saya pikirkan, sebab ada rumah kakak saya yang
bisa ditumpang di jalan Sambas.
Segala bayangan keindahan dan kesenangan mengawang-ngawang di
kepala. Tak sabar menanti hari yang ditunggu. Setiap ada hasil saya dari laut,
tidak lagi saya berikan sepenuhnya kepada ibu, melainkan saya simpan. Saya hanya
berikan sekali dua hari atau seperlunya saja. Ibu tak pernah protes. Saya semakin giat melaut.
Sudah sepuluh hari berlalu saya mengumpulkan uang, barulah niat ini saya
utarakan kepada ibu dan ayah. Mereka awalnya tidak memberikan izin. Namun,
setelah saya desak, barulah mereka menyerah. “Baiklah” kata ibu sambil melirik muka ayah. Kata
itu yang saya tunggu sebenarnya. “Terserah kaulah, Nak!” sambung ayah pula.
+++
Sejak keberangkatan dari kampung ke kota ini, membuat saya berpikir
ulang kembali. Seandainya saya tidak berkeras diri menyikapi kata ibu, tentu
tidaklah seperti ini. Saya mulai takut. Tidak percaya diri. Mengingat semua
yang terjadi membuat saya seperti seekor kucing yang baru saja kena lidi.
Kadang, hampir setiap malam saya menangis. Teringat ibu. Teringat ayah.
Teringat kawan-kawan. Teringat kenangan yang sudah saya tinggalkan. Teringat
segalanya yang membuat saya bahagia selama ini. Saya menangis dengan suara yang
sedikit ditahan, takut-takut akan terdengar kepada kakak saya. Saya mulai rajin
sembahyang. Padahal, sebelumnya
tidak, jika pun ada, hanya melepas hutang kepada ayah. Sudah
dua hari sembahyang lima waktu tidak pernah ompong. Kakak saya heran dan
bertanya, “Apa yang terjadi, mengapa tiba-tiba kauseperti orang ‘suci’?” Dengan
keheranan yang tampak dari sorot matanya membuat saya sedikit malu. Sementara
suaminya hanya tertawa geli. Saya malu sekali. “Matamu mengapa sebengkak itu?”
tanyanya dengan muka diheran-herankan. Saya tidak menjawab.
Selama dua hari itu, saya tidak pernah ke luar rumah. Saya tidak
pernah lagi datang melihat gereja di tengah kota Sibolga itu lagi. Padahal,
selama saya di sini, saya selalu mengunjungi gereja itu. Tapi saya tidak pernah
masuk ke dalam. Hanya di luarnya saja. Begitu besarnya. Mungkin inilah gereja
yang terbesar yang pernah saya lihat dengan ukiran tradisional Batak dan itu
membuat saya terpikat. Indah sekali. Jika malam hari, saya datang ke Masjid
Raya, tidak jauh dari gereja tersebut. Saya menikmati lampu masjid di tamannya.
Indah sekali. Tapi saya tidak pernah masuk ke dalam. Hanya di luar saja.
Dua bulan, rasanya saya sudah hafal sebagian besar jalan-jalan dan
persimpangan Kota Sibolga. Saya tidak tersesat lagi seperti sebelumnya. Tempat
mana yang tidak saya kunjungi di sini, semuanya rasanya sudah. Termasuk daerah
Pandan dan Hajoran. Bahkan saya sudah bisa melafalkan dengan baik beberapa kata
bahasa Batak seperti, “Olo”, “Marjolo”, “Sannari”, “Sigaret”, “Tulang”,
“Bodad”. Walaupun saya tidak bisa menyambungnya menjadi sebuah kalimat
pembicaraan. Saya mulai terbiasa dengan bahasa ‘bentak’ dan ‘maki’ serta “keras”. Saya mulai
terbiasa dengan semuanya.
Inilah yang membuat saya lupa kepada ibu dan ayah. Lupa segalanya.
Bahkan kepada Tuhan. Saya mulai bergaul dengan alkohol dan kondom. Rumah tempat
saya menumpang menginap mulai saya tinggalkan. Tiga hari sekali baru pulang,
itupun hanya untuk tidur dan ganti baju. Perangai itu membuat kakak saya dan
lakinya bertengkar. Tapi tidak menjadi urusan saya. Uang dalam saku masih
memadai.
Tempat-tempat hiburan yang pernah diceritakan oleh orang kampung saya dahulu
sudah saya singgahi. Bahkan ada beberapa tempat yang sering saya datangi,
seperti Tagor dan Pajak (Pasar). Mulanya saya hanya pelanggan di Tagor itu,
tapi setelah lebih lima belas malam, saya menjadi ‘tukang hidang’ minuman
setiap malam. Bekerja part time membuat
saya tidak lagi memikirkan uang belanja. Sementara pagi hari, jika tidak
mengantuk, saya akan datang ke Pajak, bekerja menjadi tukang buang sampah.
Dengan begitu, saya putuskan untuk tidak tinggal lagi di rumah
kakak. Saya menyewa sebuah rumah kecil untuk tinggal. Beberapa kawan sudah pula
saya kenal dengan baik. Lebih tepatnya kawan mabuk. Minum tuak setiap malam
–sebelum dapat kerja di Tagor- bergitar, bernyanyi menghabiskan waktu begitu
saja. Tapi selama bekerja, “kawan mabuk” itu tidak lagi datang sesering biasa. Mereka maklum,
saya bekerja.
+++
Suatu malam, dalam kondisi sedang mabuk, saya dan beberapa teman
mencoba menghibur diri dengan nyanyian yang tak karuan di dekat terminal kota.
Sekitar pukul setengah dua belas malam. Seorang perempuan lewat. Jika dilihat
dari pakaian yang digunakannya, jelas baru pulang kerja. Kerja apa? Kami tak
tahu. Perempuan itu lewat persis di depan kami. Seorang di antara kami mencoba
menggodanya dengan siulan orang mabuk. Lalu diikuti dengan kata “Cewek, boleh
Abang antar pulang?” dengan bahasa Batak. Perempuan itu tidak menoleh. Setelah
berlalu. Mata kami saling pandang. Ada yang tertinggal di antara kami. Begitu
memikat. Ah, parfum perempuan itu sangat harum. Dengan nakal yang tajam,
seseorang memberi isyarat untuk mengejarnya. “Potong jalannya lewat belakang. Biar
saya dari depan!” perintahnya. Kami langsung bubar dan meninggalkan gitar dan sisa-sisa
tuak yang kami minum.
Dahsyatnya pengaruh alkohol yang bersarang di dalam otak, tak mampu
dikendalikan. Saya dan kawan saya itu
sempat terbirit-birit dihoyongkan pekatnya pengaruh alkohol keparat itu. Kami
berkumpul di depan tugu Taman Kota. “Bagaimana, ada liat dia?” tanya kawanku.
“Tidak, Bang.” Sambung yang satunya. “Ke mana cewek itu pergi? Cepat sekali jalannya.
Bodad!” gerutunya. Saya hanya garut-garut badan saja. Rasanya ada yang menyesak
dari dalam. Kepala saya sedikit berat. Badan sedikit mendingin dan berkeringat.
Saya tahan. Namun, yang mendesak dari dalam itu lebih kuat, dan ... ueeekkk....
saya muntah. Kawan-kawan saya sangat jijik melihat kelakuan saya malam itu.
Saya merasa malu sekali. Sudah sering saya minum tuak baru malam ini saya
muntah. Oh, sialnya saya, batin saya terus menjerit malu. Melihat kondisi saya
yang ‘babak belur’ begitu, akhirnya kami balik lagi ke tempat kami semula.
Menghabiskan lagu yang masih tersisa dan bekas mabuk yang masih bersarang. Kami
habiskan hingga subuh buta.
Sejak malam itu, saya tidak lagi bermain dengan
kawan-kawan di terminal. Saya hanya bekerja dan bekerja. Rumah kakak saya sudah
tidak lagi saya huni. Semua perlengkapan saya sudah saya bawa ke rumah sewaan
saya. Sebab, saya tidak tahan lagi melihat dan mendengar kakak saya dan
suaminya bertengkar terus-menerus hanya karena ulah saya.
+++
Pada akhirnya, saya putuskan untuk kembali. Ke
rumah kakak saya. Setelah hampir lima tahun saya tidak pernah mampir. Satu kota
tapi tidak pernah ketemu sama sekali. Hampir lima tahun, itu waktu bukan tidak
lama. Sementara kampung halaman saya, tidak pernah terpikir untuk pulang ke
sana. Ayah dan ibu apa kabar, saya tidak tahu. Selama itu saya di Tapanuli ini,
saya hanya bekerja –ini itu- tidak pernah tetap selama tiga tahun. Sementara
hampir dua tahun, saya bekerja sebagai kernet –supir cadangan- ke Medan untuk
mobil truk pengangkut buah sawit dan getah.
Kerja selama hampir lima tahun dan gajinya tidak
tersimpan, serta tidak pernah mampir ke rumah kakak adalah kesalahan yang tidak
tertanggung. Bahkan saya lupa bagaimana cara bicara kepada kakak saat pertama
sekali mampir ke sana setelah hampir lima tahun absen. Sikap mulut saya yang
sudah terbiasa kepada supir atau kepada orang-orang di jalanan maupun di warung
membuat saya lupa bahwa yang saya ajak bicara itu adalah kakak saya.
“Muncungmu!,” bentak kakak. Saya langsung meminta maaf saat sadar membuat
kesalahan. Kita bicara hari itu mengenai hal-hal yang biasa-biasa saja. Saya
tidak menyinggung perihal yang membuat kakak tersinggung, demikian pula kakak.
Suaminya lebih relax hari itu.
+++
Tujuh minggu setelah saya datang ke rumah kakak,
saya putuskan untuk pulang kampung dahulu dan akan memutuskan kembali kota mana
yang akan saya tuju selanjutnya.
“Jadi, kamu akan pergi lagi?,” tanya kawan saya
suatu hari ketika kami sedang duduk menunggu si Tukang Besi itu memperbaiki
parang yang kami berikan kepadanya satu setengah jam yang lalu. “Ya,” jawabnya
singkat.
“Tunggu dulu,” putus lawan kawanku “Selama hampir
lima tahun, hanya begitu saja ceritanya? Ah, tidak menarik. Saya pikir, ada
penggalan cerita yang belum kauceritakan?!” lawan kawanku.
“Mungkin. Tapi itu biarlah aku saja yang punya.
Pun, akan aku ceritakan kepada kalian jika aku pulang lain waktu,” sambungnya
sambil berkelakar.
Besi diperaduan terus juga dipukulnya.
Dentingannya begitu sunyi. Anak-anak api berjentik-jentik di perut induk
palunya. Merah besi yang dibakar, dentingan palu yang memukul, pangkal lengan
yang kokoh, hawa panas dari tungku api, serta keringat yang berminyak dari
badan seorang tukang cerita. Membuat saya berpikir bahwa, enaknya menjadi
seorang “tukang lapau” (tukang ota) yang bisa menjinakkan pelanggannya. Ah.
Gostel, 2018
*Riyon Fidwar lahir di Haloban, 27 Agustus.
Menulis Sastra dan blogger. Sekarang tinggal di Gosong Telaga, Aceh Singkil.
**Pernah dipublikasikan di Serambi edisi Minggu (4/11)
Post a Comment