Sastra Kita

Dendam Nazam kepada Dirinya

Sudah hampir 24 bulan,<br />
jarak selama itu telah merubah diriku,<br />
dan sekarang aku sudah mengerti arti rindu<br />
yang sesungguhnya, Kenang Nazam.<br />
<br />
Dia sangat menyesal atas apa yang sudah menimpa rumah-tangganya.<br />
Rumah yang dahulu menjadi tempat berlindung<br />
kini berubah menjadi sarang duri.<br />
Ada saja yang sakit jika dia pulang,<br />
tapi entah di bagian tubuh yang mana.<br />
<br />
Tangga tempat naik-turun<br />
telah pula menjadi lembah -di bawahnya batu<br />
tanpa ada anak sungai dan pohon.<br />
Ada saja yang berdarah ketika dia<br />
menaiki dan menuruni tangga itu.<br />
<br />
Pelan-pelan dia menarik masa-lalunya<br />
untuk menghangatkan kembali tubuh lesunya,<br />
seperti dia menarik selimut di malam hari.<br />
Di rasakannya tangan perempuan memeluk bidang dadanya,<br />
juga hangat nafas di telinganya.<br />
<br />
Betapa dekatnya lara,<br />
seperti maut.<br />
<br />
Jarak yang jauh telah menelan pandangnya,<br />
waktu yang lama telah memakan sebagian tubuhnya.<br />
"Terkutuklah aku!" Sesal Nazam.<br />
<br />
Padang, 22102015

Dendam Nazam kepada Dirinya

Sudah hampir 24 bulan, jarak selama itu telah merubah diriku, dan sekarang aku sudah mengerti arti rindu yang sesungguhnya, Kenang Nazam....

Mengenang Pemuda yang mati Muda

Sastra Kita 0 puisi 01:03

<div>
Hari ini </div>
<div>
mari kita menekurkan kepala</div>
<div>
untuk mengenang para pemuda</div>
<div>
yang mati muda.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Mereka adalah pelopor-pelopor bangsa</div>
<div>
yang mulia.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Ideologi mereka menjadi ajimat saat ini,</div>
<div>
selalu kita amalkan.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Lihat saja, Soe Hok Gie, Wiji Thukul, Panglima Besar Soedirman,</div>
<div>
R.A Kartini, W.R Soepratman, Chairil Anwar ...</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Namun ketika doa hendak dibaca</div>
<div>
seorang anak berusia 9 tahun menjerit</div>
<div>
<br />
"Bapak, mengapa tidak menyebut nama Nazam?!</div>
<div>
dia juga seorang pahlawan yang mati</div>
<div>
diusia muda."</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Padang, 2015</div>
<div>
<br /></div>
<div>
<br /></div>
<div>
<br /></div>
<br />
<div>
</div>
<br />
<div style="-webkit-text-stroke-width: 0px; color: black; font-family: 'Times New Roman'; font-size: medium; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; letter-spacing: normal; line-height: normal; orphans: auto; text-align: start; text-indent: 0px; text-transform: none; white-space: normal; widows: 1; word-spacing: 0px;">
<div style="margin: 0px;">
<br /></div>
</div>

Mengenang Pemuda yang mati Muda

Hari ini mari kita menekurkan kepala untuk mengenang para pemuda yang mati muda. Mereka adalah pelopor-pelopor bangsa yang mul...

Tatto di Punggung Belakang

Sastra Kita 0 puisi 00:32

<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEieFqRrGmTHIqEkcqRYqyWOhNyg7KSu_dRPyMwsak2jel8MffhBD6aisw0spAiJ2WP_EgviI8KZCKl6r1w0uSr9PIKT6bBFCPX0jvPPPhtjUv4oYfjDoJOmJMH0P3EPsb3ki0f7hvQJlGhn/s1600/yon.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEieFqRrGmTHIqEkcqRYqyWOhNyg7KSu_dRPyMwsak2jel8MffhBD6aisw0spAiJ2WP_EgviI8KZCKl6r1w0uSr9PIKT6bBFCPX0jvPPPhtjUv4oYfjDoJOmJMH0P3EPsb3ki0f7hvQJlGhn/s1600/yon.jpg" /></a><br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Saat ditemukan dalam kondisi yang mengenaskan<br />
jasad pemuda itu dibawa ke rumah-sakit<br />
untuk diotopsi dan divisum.<br />
Mencari tahu apa penyebab kematiannya.<br />
<br />
Tempat penemuan itu masih ramai.<br />
Banyak manusia yang berdatangan<br />
ada juga yang mau pulang.<br />
Beberapa orang polisi<br />
melakukan olah tempat kejadian perkara.<br />
<br />
Keterangan yang didapat:<br />
<br />
Pemuda ini hilang sekitar 5 hari yang lalu,<br />
laporan itu kami terima dari salah seorang keluargan korban.<br />
Lalu tim kami melakukan penyisiran dengan cepat,<br />
menanyakan beberapa orang saksi.<br />
<br />
Selain itu, kami juga telah menyebarkan intel.<br />
Setelah dua hari melakukan pelacakan,<br />
barulah hari ini (hari ke-3) kami bisa menemukan korban<br />
dengan kondisi yang sangat mengenaskan. Tegas seorang komandan.<br />
<br />
Pemuda itu ditemukan setelah 5 hari menghilang.<br />
Kabar itu langsung membuatku hilang akal,<br />
pasalnya pemuda itu adalah sekawananku juga.<br />
<br />
Aku kunjungi rumah-sakit tempat di mana dia diotopsi,<br />
setelah kurang lebih 3 jam<br />
aku dipersilakan masuk untuk melihat<br />
: tak bisa aku berkata-kata waktu itu.<br />
<br />
Ada satu pesona yang membuat aku sangat terkesan<br />
yaitu tatto di punggung belakangnya,<br />
: dua ekor kecoa.<br />
<br />
Aku kenal gambar itu. Sangat kenal.<br />
Ini gambar tat<br />
to seorang perempuan<br />
yang beberapa bulan lalu kami jumpai.<br />
<br />
Badanku terasa sangat dingin<br />
ketika membaca sekalimat tulisan<br />
di bawah gambar itu<br />
: kau selanjutnya!<br />
<br />
Keterangan yang didapat:<br />
<br />
Kami akan melakukan penyelidikan lebih dalam terhadap kasus ini,<br />
kuat dugaan pemuda ini sengaja dibunuh. Namun, siapa pelaku dan<br />
apa penyebab malapetaka ini, kami belum bisa memberi jawaban saat ini.<br />
Tegas komandan itu.<br />
<br />
Diam-diam aku menjawab pertanyaan kuli tinta itu<br />
dalam hati.<br />
Aku tahu pelaku dan penyebabnya.<br />
<br />
Padang, 2015

Tatto di Punggung Belakang

Saat ditemukan dalam kondisi yang mengenaskan jasad pemuda itu dibawa ke rumah-sakit untuk diotopsi dan divisum. Mencari tahu ...

Puisi-puisi Riyon Fidwar di Haluan Minggu (18/10)

Sastra Kita 0 foto 00:05

Puisi-puisi Riyon Fidwar di Haluan Minggu (18/10)

Pertemuan dalam Mimpi

Sastra Kita 0 puisi 01:51

<i>: buat Maira</i><br />
<br />
Ke mana ombak membenamkan diri<br />
jika bukan ke pantai.<br />
<br />
Almanak yang terus berubah<br />
tak mampu membalikkan rindu.<br />
<br />
Oh, Nazam diamuk kisah<br />
di hari-hari yang parau.<br />
Dia terus melenguh,<br />
nasibnya tak sebaik takdir orang lain.<br />
<br />
Dilihatnya tenang-tenang sebuah gambar<br />
di dinding rumahnya -sebuah wajah-<br />
menyimpan amukan rindu.<br />
<br />
Wajah perempuan itu membuatnya tak percaya<br />
meniti hari. Apalagi ketika kudanya hilang,<br />
tak ada cara untuk mempercepat pertemuan.<br />
<br />
Arus di laut, angin di gunung<br />
akankah bertemu dalam sebuah belanga?<br />
<br />
Nazam bimbang, kehilangan akal.<br />
Dia memutar-mutar pikirannya<br />
-bagaimana cara untuk meminang?<br />
<br />
Ini sebuah peperangan yang panjang,<br />
jika terus menerus seperti ini<br />
Nazam takut akan kehabisan peluru.<br />
Nazam takut kehilangan tameng buat berlindung.<br />
<br />
Almanak terus berubah<br />
sedangkan rindunya terus meruncing.<br />
<br />
Seandainya Si Pincang -sebutan kepada kuda yang hilang-<br />
masih bersamanya, tentu akan mempercepat larinya,<br />
mempermudah geraknya,<br />
hingga perang usai.<br />
<br />
Tapi kuda itu tak ada kabar sama-sekali.<br />
<br />
Semalam suntuk dia mempertimbangkan pikiran<br />
dan halusinasinya terhadap perempuan itu.<br />
Matanya tak terpicing sedikitpun.<br />
<br />
Ketika paraksiang datang,<br />
entah bagaimana caranya<br />
Nazam tertidur juga.<br />
<br />
Dalam tidur itulah<br />
dia melihat seorang perempuan<br />
persisi seperti wajah perempuan di dinding rumahnya,<br />
"Kaukah itu?" gumamnya dalam tidur.<br />
Namun perempuan itu tak menjawab -hanya tersenyum.<br />
Betapa kau sudah merubah takdirku,<br />
kau rela datang dari zaman yang sangat jauh.<br />
<br />
Beginikah cara kita bertemu?<br />
<br />
Padang, 15102015

Pertemuan dalam Mimpi

: buat Maira Ke mana ombak membenamkan diri jika bukan ke pantai. Almanak yang terus berubah tak mampu membalikkan rindu. Oh, Nazam ...

Penari Telanjang

Sastra Kita 0 puisi 00:37

<div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: left;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjiREzRQeYY5C7eQeOsqYWYU5QFchawSsl5IY8_6vDUt-ZmZSeR6kHIyAuB4-IPX1osRaDCXpOfCWX_0xwK2PmXJ3c8Z7GcakW0qkXEZiwpEyq2shaf5564u21Ij5YsEt38zYXsP1SNNeKd/s1600/yyy.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="200" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjiREzRQeYY5C7eQeOsqYWYU5QFchawSsl5IY8_6vDUt-ZmZSeR6kHIyAuB4-IPX1osRaDCXpOfCWX_0xwK2PmXJ3c8Z7GcakW0qkXEZiwpEyq2shaf5564u21Ij5YsEt38zYXsP1SNNeKd/s200/yyy.jpg" width="200" /></a></div>
Dulu sewaktu Nazam hidup</div>
<div>
tak ada satu orang pun yang melanggar aturan</div>
<div>
termasuk tata bicara.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Tapi Nazam bukanlah siapa-siapa</div>
<div>
buktinya dia bisa juga mati</div>
<div>
dan tidak dihormati lagi.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Laki-laki sudah akrab dengan arak,</div>
<div>
dan telah pandai menggauli wanita orang lain</div>
<div>
dengan istilah: satu ular punya tiga empat lubang </div>
<div>
<br /></div>
<div>
Perempuan sudah pintar menari</div>
<div>
mengikuti irama </div>
<div>
dan tanpa sadar baju dan celananya kececeran.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Anak-anak remaja laki-laki</div>
<div>
sudah sangat pintar membedakan</div>
<div>
mana perawan mana yang tidak.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Semenjak Nazam mati</div>
<div>
kami belajar jadi penari</div>
<div>
sambil membuka baju dan celana kami,</div>
<div>
bisik seseorang ke kupingku</div>
<div>
ketika menontong orkestra.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Padang, 2015<br />
<br />
*Telah terbit di Haluan Minggu (18/10)</div>

Penari Telanjang

Dulu sewaktu Nazam hidup tak ada satu orang pun yang melanggar aturan termasuk tata bicara. Tapi Nazam bukanlah siapa-siapa buk...

Bayi-bayi Kesurupan

Sastra Kita 0 puisi 00:19

<div class="separator" style="clear: both; text-align: left;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg0aUs3V8-T97pjtEOhUw6n1-xey2sQfxtRw3Q7BAuvzJnqII5iv5Mi7ETEpZjNoCph2uK7BGq29aGfQmfLZHV9hMxnPMq3oQ0qKyYDML_mvC9e3KhSEhnnQpY4G7Rz1faPRyoTzSdistVM/s1600/Fav+riyon.png" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="200" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg0aUs3V8-T97pjtEOhUw6n1-xey2sQfxtRw3Q7BAuvzJnqII5iv5Mi7ETEpZjNoCph2uK7BGq29aGfQmfLZHV9hMxnPMq3oQ0qKyYDML_mvC9e3KhSEhnnQpY4G7Rz1faPRyoTzSdistVM/s200/Fav+riyon.png" width="200" /></a></div>
Dari dalam kabut ini<br />
bayi-bayi kesurupan.<br />
Apalagi saat mendengar batuk<br />
kakak-kakaknya setiap waktu.<br />
<br />
Mata bayi itu merah bara,<br />
kedua tangannya mengepal tinju<br />
kedua kakinya di jingkrak-jingkrakkan ke udara,<br />
minta berdiri.<br />
<br />
Dalam hatinya pasti berkata,<br />
"Siapa yang membakar hutan Kalimantan dan Sumatera?"<br />
Tapi kedua orang tuanya tentu saja tidak mendengar,<br />
apalagi kakak-kakaknya yang diserang batuk<br />
yang disebabkan asap dari hutan itu.<br />
<br />
Di dalam kabut<br />
bayi itu sudah dewasa<br />
ikrar yang dahulu dinyatakannya<br />
sama sekali tidak bisa ditunaikannya.<br />
Sebab seluruh badannya sudah dipenuhi abu.<br />
Abu yang yang dari dahulu dihirupnya.<br />
<br />
Kedua orang tuanya telah mati dimakan usia,<br />
kakak-kakaknya juga mati disebabkan penyakit<br />
yang membatu di dada mereka.<br />
<br />
Terkenang semua masalalu.<br />
Kembali didengarnya batuk kakak-kakaknya<br />
yang setiap saat itu, juga keluhan orang tuanya.<br />
<br />
Kabut masih membungkus kulitnya.<br />
Batuknya kian menyesak paru-paru.<br />
Lalu dia berteriak seperti orang kesurupan<br />
"Kakak-kakaku telah mati dalam kabut asap<br />
hutan Kalimantan dan Sumatera"<br />
<br />
Padang, 07102015<br />
<br />
<br />

Bayi-bayi Kesurupan

Dari dalam kabut ini bayi-bayi kesurupan. Apalagi saat mendengar batuk kakak-kakaknya setiap waktu. Mata bayi itu merah bara, kedua ...

Dongeng-dongeng yang Hilang

Sastra Kita 0 puisi 23:47

Dongeng-dongeng yang Hilang

Dahulu aku pernah mendengar sebuah cerita bahwa Haloban memiliki dongeng. Mulai dari dongeng Putri Duyung, Pulau Kepala Naga (Pulau Rago...

Kabut Asap yang Panjang

Sastra Kita 0 23:20

Kabut Asap yang Panjang

Jika dahulu (bahkan sekarang) kita menghirup asap dari produksi industri yang dikemas dalam bentuk kretek, lain halnya sekarang. ...

Kabar Air

Sastra Kita 0 22:29

Kabar Air

Setelah kabut ini usai kita sudah tak ada di bumi sebab tak lama lagi seseorang akan memanggil kita dari arah yang entah : maut atau k...

Puisi-puisi Riyon Fidwar

Sastra Kita 0 foto 01:00

Puisi-puisi Riyon Fidwar

Puisi-puisi Riyon Fidwar di koran Singgalang Minggu

Aku Bukan Malin Kundang

Sastra Kita 0 puisi 00:51

<div class="separator" style="clear: both; text-align: left;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhf5wfRntk2vwtDTSbnrhnxfJRG6Cho_F-Rb6IeOrK-L60Ww_CUAMmXPA-2kbzWNwjjxcx9HkuVnlLWJGobdnjpVMaA_fYHF66c0M-dfAPmom9WKIdTcQ7wJrMMIB3NuBt2QGRZjs5LoXL_/s1600/1.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="200" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhf5wfRntk2vwtDTSbnrhnxfJRG6Cho_F-Rb6IeOrK-L60Ww_CUAMmXPA-2kbzWNwjjxcx9HkuVnlLWJGobdnjpVMaA_fYHF66c0M-dfAPmom9WKIdTcQ7wJrMMIB3NuBt2QGRZjs5LoXL_/s200/1.jpg" width="153" /></a></div>
<div class="_4_j7" style="background-color: white; color: #141823; font-family: helvetica, arial, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 18px;">
<span style="line-height: 20px;"><br /></span></div>
<div class="_4_j7" style="background-color: white; color: #141823; font-family: helvetica, arial, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 18px;">
<span style="line-height: 20px;">Aku bukan Malin Kundang, Ibu</span></div>
<div class="_4_j7" style="background-color: white; color: #141823; font-family: helvetica, arial, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 18px;">
<span style="line-height: 20px;">jangan pernah engkau menyebutku demikian.</span><span style="line-height: 20px;"> </span></div>
<div class="mbm _5k3v _5k3y" style="background-color: white; color: #141823; font-family: helvetica, arial, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 20px; margin-bottom: 10px; margin-top: 16px; overflow: hidden; word-wrap: break-word;">
<div class="text_exposed_root text_exposed" id="id_560e3690c22f38b01155681" style="display: inline;">
Aku tak pulang<br />
<div class="text_exposed_show" style="display: inline;">
bukan berarti tali kasih kita terputus.<br />
<br />
Aku sangat ingin pulang, Ibu<br />
memelukmu, menyalami dan menciumi<br />
usia yang telah tua<br />
<br />
Tapi nasib berkata lain<br />
dan tanpa aku sadari<br />
tahun ini<br />
tak bisa pulang lagi.<br />
<br />
Sebenarnya aku lelah<br />
memijaki rantau terkutuk ini<br />
<br />
Namun setelah aku renungi kembali<br />
rantau telah memberiku sedikit pelajaran<br />
ilmu, Ibu. Ilmu.<br />
<br />
Bukankah karena ilmu<br />
Ibu merelakan aku ditelan tanah rantau?<br />
<br />
Aku sudah bisa menterjemahkan isyarat<br />
yang dulu tidak aku mengerti. Namun,<br />
lain daripada itu<br />
aku ingin pulang, Ibu.<br />
<br />
Jangan pernah engkau memanggilku, Malin Kundang<br />
karena aku tak bisa menjengukmu.<br />
<br />
Berkatilah aku, Ibu<br />
di tadah tanganmu itu<br />
ada doa-doa yang tidak bisa terhijab<br />
oleh apapun di dunia ini.<br />
<br />
Padang, 2015</div>
</div>
</div>

Aku Bukan Malin Kundang

Aku bukan Malin Kundang, Ibu jangan pernah engkau menyebutku demikian. Aku tak pulang bukan berarti tali kasih kita terputus. ...