0
Wiji Thukul: Antara Kontekstual dan Universal
Oleh Riyon Fidwar* 

Siapa yang tak mengenal nama Wiji Thukul. Penyair (sekaligus aktivis) yang menjadi korban penculikan tragedi 1998. Sebagai penyair, Wiji Thukul menulis puisi-puisi yang sebenarnya bukan untuk sebuah protes terhadap pemerintah, melainkan protes untuk dirinya sendiri yang terjepit oleh kemiskinan. Seperti dalam kumpulan puisi Aku Ingin Jadi Peluru, di sana sangat jelas sekali bagaimana Thukul menggambarkan kehidupannya yang miskin tanpa ada rasa takut dan malu. Menurut Robertus Robert bahwa puisi Wiji Thukul itu bagian dari aksi, bukan mengenai aksi, bukan juga gaya yang hendak ditambah-tambahkan untuk memberi kesan estetis terhadap suatu aksi. Puisi Wiji Thukul tak ada unsur paksaan untuk berbuat aksi, sehingga (bagi saya sendiri) enak dibaca dan mampu melebur ke manapun dan siapapun yang membacanya. Juga memiliki makna yang beragam (bernilai politis dan sastra).
            
Mengingat Wiji Thukul seorang penyair mutakhir (sampai sekarang), puisi-puisinya sering dibacakan dalam acara solidaritas juga dalam aksi-aksi demo. Puisi yang berjudul Peringatan  selalu bergema bahkan telah menjadi jargon dalam aksi-aksi demo. Seperti pada kutipan berikut: ... apabila usul ditolak tanpa ditimbang/ suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan/ dituduh subversif dan mengganggu keamanan/ maka hanya ada satu kata: lawan! (Peringatan: 61). Salah satu puisi Wiji Thukul dengan ketegasan memberikan perlawan terhadap pemerintah yang otoriter (orba). Kepedulian Wiji Thukul terhadap nasib rakyat yang termarjinalkan saya rasa tidak perlu ditanyakan lagi. Apalagi pada waktu itu rezim orde baru berlaku semena-mena, semua yang sifatnya menggugat pemerintah dilarang. Seperti pada puisi tersebut Thukul memprotes lewat puisinya “suara dibungkam” “kritik dilarang” dan “dituduh mengganggu keamanan”. Sifat semena-mena tersebut dicatat oleh Wiji Thukul, selaku rakyat, tidak bisa hanya diam dan menerima. Rakyat harus melawan karena pemerintah sudah lagi tidak mengacuhkan. Pemerintah sudah sibuk mementingkan urusannya sendiri-sendiri.
          
Perlawanan itu membuatnya harus mengorbankan semuanya, termasuk keluarga  bahkan nyawanya sendiri. Perjuangannya bukan hanya di atas kertas (puisi) melainkan dia juga ikut turun ke jalan. Bahkan pada sebuah aksi bersama-sama dengan buruh pabrik PT Sri Rejeki Isman Textile (Sritex). Aksi tersebut sempat mengalami bentrok dengan petugas keamanan. Akibatnya, Wiji Thukul harus menahan rasa sakit karena pelipis matanya pecah kena gebuk oleh beberapa orang petugas keamanan berbaju loreng.
            
Puisi-puisi Wiji Thukul yang tergabung dalam Aku Ingin Jadi Peluru, menurut saya, adalah salah satu bentuk sumbangan Thukul kepada dunia sastra Indonesia khusunya puisi. Selain mengandung unsur “perlawanan” juga dinikmati oleh semua kalangan tanpa harus memandang apakah dia seorang sastrwan atau bukan. Ada beberapa alasan saya dalam mengagumi puisi Thukul, pertama, selain tegas juga menggambarkan kehidupan sebagaimana mestinya. Artinya, apa yang terjadi (pada Thukul sendiri maupun pada lingkungannya) itu yang diramu menjadi sebuah puisi yang nikmat. Misalnya pada puisi yang berjudul Reportase dari Puskesmas. Pada puisi itu, Thukul menceritakan bagaimana kondisi masyarakat miskin mendapatkan pelayanan rumah sakit. Mulai dari yang menderita batuk, pilek, pusing, bahkan sampai kepada kaki yang terinfeksi karena terijak paku. Setiap penderita mendapat pelayanan dan obat yang sama. Seperti dalam penggalan kutipan ini: .... “sakit apa, pak?”... “batuk pilek pusing sesak napas/ wah! campur jadi satu nak!”... “o ya pagi itu seorang tukang kayu sudah tiga/ hari tak kerja. kakinya merah bengkak gemetar/ “menginjak paku!” katanya, meringis./ puskesmas itu demokrasi sekali, pikirku/ sakit gigi, sakit mata, mencret, kurapan, demam/ tak bisa tidur, semua disuntik dengan obat yang sama..... /ini namanya sama rata sama rasa./ ini namanya warganegara mendapatkan haknya/ semua yang sakit mendapatkan haknya! (Reportase dari Puskesmas: 26).
           
Dari puisi tersebut memberikan keterangan bahwa ada perbedaan hak antara yang miskin dan yang kaya. Kesenjangan sosial ini yang membuat Thukul bersikeras untuk melakukan penggebrakan terhadap pemerintah yang tidak mau memperdulikan rakyat miskin (bahkan sampai sekarang pun kesenjangan sosial itu masih ada). Kedua, bahasa yang digunakannya tidak sulit untuk dimengerti oleh siapa pun, baik itu dari kalangan menengah kebawah sampai kepada kalangan menengah ke atas. Bisa dikatakan bahwa puisi Thukul adalah puisi yang sifatnya merakyat. Bukan seperti puisi-puisi yang ditulis oleh penyair-penyair lain yang bersifat universal. Ya, yang tujuan pembacanya adalah kalangan menengah ke atas dan kualitasnya ditentukan oleh beberapa orang saja (dari kalangan tertentu). Inilah bagi saya sendiri, kekuatan puisi yang dimiliki oleh Wiji Thukul. Dia berani keluar dari khazanah puisi yang banyak ditulis para pengarang-pengarang lain.
              
Wiji Thukul dikenal dengan penyair kerakyatan, sebab sebagian besar puisinya ditulis dengan bahasa yang merakyat. Cara penulisan puisi seperti ini disebabkan oleh pengaruh lingkungan yang selalu dihadapinya, masalah ekonomi yang susah, masalah lingkungannya yang juga sudah sudah, sehingga dengan begitu muncullah puisi-puisi yang bertema “menggugat” kemiskinan itu. Ya, sebagai anak tukang becak, Thukul tentunya menyadari apa yang sebenarnya dilakukan untuk bisa keluar dari jerat tersebut. Tetapi tetap saja keadaan tersebut lebih kuat dibandingkan dirinya. Salah satu puisi Thukul yang menggugat kemiskinan tersebut adalah yang berjudul Puisi untuk Adik. Di mana pada puisi ini, Thukul sangat ingin menerobos pintu kemiskinan itu dengan cara belajar (membaca) lebih banyak lagi sehingga kita bisa tahu bagaimana cara menepis kemiskinan tersebut. Saya salut kepada penyair ini (Thukul), meskipun dalam keadaan miskin, tapi dia tidak pernah berhenti belajar. Seperti pada puisi tersebut: apakah nasib kita terus akan seperti/ sepeda rongsokan karatan itu?/ o. tidak, dik!/ kita akan terus melawan// ... //kita harus membaca lagi/ agar bisa menuliskan isi kepala/ dan memahami dunia/ (Puisi untuk Adik: 55).
            
Thukul benar-benar memiliki semangat untuk terus belajar meskipun dalam keadaan apapun. Thukul pernah sekolah di Jurusan Tari Sekolah Menengah Karawitan Indonesia, tapi tidak tamat. Itu disebabkan oleh keterbatasan biaya. Kemudian Thukul menjadi penjual koran dan menjadi tukang pelitur di perusahaan mabel. Penyair dengan nama asli Wiji Widodo (namun terkenal dengan nama Wiji Thukul) ini lahir di Solo, 26 Agustus 1963 tepatnya di kampung buruh Sorogenen. Selain menulis puisi, Thukul juga pegiat teater.
            
Dari puisi-puisi Thukul ini, saya, banyak mengambil pelajaran yang sangat berharga, terutama rasa kemanusiaan yang sangat mengental dalam setiap diksi yang digunakannya dalam puisi. Inilah yang membedakan puisi-puisi Thukul dengan pengarang-pengarang yang lain, seperti Taufik Ismal, Sutardji CB, Afrizal Malna, Goenawan Muhammad, dan lain-lain. Thukul berani keluar dari khazanah bahasa puisi yang selama ini digunakan oleh pangarang- pengarang lain. Bagi Thukul sendiri, (menurut yang saya amati dari tiap puisinya) keindahan bahasa itu ada di mana dia seharusnya digunakan. Bukan keindahan bahasa yang dipaksakan. Dari kata-kata sederhana itu Thukul menemukan sendiri keindahan bahasa puisinya, misalnya, kata “becak”, “comberan”, “cicit tikus”, “buruh pabrik”, sampai kepada penyakit pun disebut dalam penulisan puisinya, seperti “sesak napas”, “puising”, “terinfeksi paku”, dan sebagainya.
            
Puisi Thukul yang menurut saya sangat “sadis” adalah puisi yang berjudul Suara dari Rumah-Rumah Miring. Ini adalah potert kehidupan yang sangat tragis sekali. Layaknya orang-orang pinggiran, berumah seadanya di atas tanah yang sempit, dan yang lebih parah lagi adalah orang-orang seperti ini harus pula diusir dari tempat tinggal mereka. Seperti dalam kutipan ini: di sini kamu bisa menikmati cicit tikus/ di dalam rumah miring ini/ kami mencium selokan dan sampah/ bagi kami setiap hari adalah kebisingan/ di sini kami berdesak-desakkan dan berkeringat/ bersama tumpukan gombal-gombal/ dan piring-piring/ di sini kami bersetubuh dan melahirkan/ anak-anak kami// ... //kami bermimpi punya rumah untuk anak-anak/ tapi bersama hari-hari pengap yang/ menggelinding/ kami harus angkat kaki/ karena kami adalah gelandangan. (Suara dari Rumah-Rumah Miring: 4). Saya selaku pembaca, terus-terang, sangat merasakan keadaan tersebut. Seolah-olah saya berada di antara mereka menikmati comberan dan bau selokan bahkan terusir. Tak ada kata malu dalam bersastra bagi Thukul dan tak ada yang perlu disembunyikan. Memang seperti itulah sisi buruk Indonesia, mau apalagi. Tugas kita sekarang adalah memperbaiki suasana tersebut. Jika selama ini orang-orang pinggiran itu termarjinalkan, mulai saat ini (seharusnya sudah dimulai dari dahulu) harus bersama-sama hidup dengan hak dan kewajiban yang sama. Semua kesenjangan sosial yang selama ini menjerat orang-orang miskin maunya dihapuskan. Jangan ketika pemilu saja orang-orang miskin baru diperlukan.
            
Menulis dengan tema seperti kondisi sosial seperti ini sangat jarang para pengarang yang melakukannya. Kebanyakan dari para pengarang itu, menulis, hanya untuk memperbesar nama sendiri. Mereka menulis dengan tema-tema tertentu supaya puisi yang mereka tulis tersebut bisa diterima oleh (mereka maksudkan kepada khalayak banyak)  kalangan-kalangan menengah ke atas atau kalangan-kalangan tertentu saja. Tak jarang juga para pengarang mengeluh kepada khalayak pembaca yang tidak memiliki kesadaran terhadap karya sastra. Disalahkan khalayak yang tidak peduli terhadap perkembangan sastra. Dikatakan pikunlah, tidak memiliki pengetahuan, dan yang lebih buruknya lagi adalah menjengkal kemampuan para khalayak pembaca. Bagi saya sendiri, hal tersebut adalah sebuah kesalahan yang sangat besar. Bagaimana mungkin khlayak pembaca menikmati sebuah karya sastra –dalam hal ini puisi- jika puisi tersebut tidak dimengerti sama sekali oleh pembaca. Apakah pembaca harus memaksakan diri untuk mengerti? Sebab tujuan menulis –puisi- itu sudah bukah milik khalayak banyak, melainkan bagi kalangan-kalangan tertentu atau hanya mengikuti selera redaktur untuk bisa lolos di media cetak.
            
Saya selaku penikmat sastra mengharapkan kepada para pengarang –puisi- seharusnya memberi ruang untuk para khalayak. Dengan kata lain, pengarang harus mengenali publik yang ingin dituju. Jika publiknya koran atau buku, khalayak pembaca jangan terlalu cepat disalahkan jika karya tersebut tidak terjamah sama sekali. Sebab tidak semua orang yang suka membaca sastra –puisi- yang telah terbit di media cetak koran atau buku. Selain keterbatasan wawasan terhadap sastra, mungkin, juga ada yang terbatas materi, sehingga tidak dapat menjamah karya tersebut. Ya, pengarang harus lebih hati-hati terhadap pembaca dan yang perlu saya catat di sini adalah penggunaan bahasa yang tidak sama sekali dimengerti oleh pembaca (yang awam) sastra. Apakah itu salah? Tentu saja tidak. Bahasa tersebut merupakan salah satu ideologi dalam sastra –puisi.
            
Inilah keunggulan Thukul dalam menulis puisi, yaitu penggunaan bahasa. Ketulusan dan kejujuran yang dimiliki Thukul memang sangat saya kagumi. Dengan begitu setiap puisi yang dia tulis enak dan enteng untuk dipahami (itu sudah saya buktikan beberapa orang teman yang tidak mengerti puisi sama sekali, saya memberi puisi Thukul dan Sutardji, mereka lebih gampang menangkap pesan yang disampaikan dalam puisi Thukul. Dalam pengujian ini, bukan hanya puisi Sutardji yang saya gunakan sebagai perbandingan itu, melainkan puisi-puisi pengarang lain, baik yang berasal dari Sumater Barat (berhubung saya tinggal di Sumatera Barat) maupun di luar Sumatera Barat sendiri, yang temanya sama-sama membahas tentang kondisi sosial).
            
Saya sengaja mengambil orang yang tak mengerti sastra sama sekali (jangankan memahami menulis saja pun tidak pernah), tujuannya untuk mengetahui seberapa berpengaruhnya karya sastra –puisi- di tengah khalayak pembaca. Ternyata dari hasil saya (memang belum final) karya sastra yang penggunaan bahasanya hanya dutujukan kepada kalangan-kalangan menengah ke atas sama sekali tidak dimengerti maksud dan pesannya. Saya sendiri kasihan melihat keadaan karya sastra –puisi- seperti itu. Jika begini, pengarangnyalah yang gagal dalam menulis karya tersebut.
            
Tapi lain halnya dengan Thukul (bukan berarti dalam hal ini saya membela dan membenarkan Thukul menggunakan bahasa puisi seperti ini dan saya juga tidak mengajak atau menyuruh kepada setiap pengarang itu harus menulis menggunakan bahasa seperti yang telah Thukul lakukan). Dengan kesederhanaan yang dimilikinya, akhirnya orang-orang dari kalangan manapun mengerti dengan pesan-pesan yang disampaikannya. Seperti puisinya yang berjudul Catatan Malam misalnya, sangat merana sekali dan Thukul sendiri mengakui nasibnya sebagai orang miskin. Puisi tersebut akan saya tulis di sini, sebagai berikut: anjing nyalak/ lampuku padam/ aku nelentang/ sendirian/ kepala di bantal/ pikiran mengawang/ membayangkan pernikahan/ (pacarku buruh/ harganya tak lebih/ dua ratus rupiah per jam)/ kukibaskan pikiran/ tadi malam gelap makin lekat// /aku ini penyair miskin/ tapi kekasihku cinta// /cinta menuntun kami ke masa depan//. (Catatan Malam:5).
           
Pada puisi ini, Thukul menuliskan dirinya sendiri tanpa rasa malu. Saya rasa dalam penulisan ini (ada keromantisan), keadaan yang memaksa Thukul menulis demikian bukan Thukul yang memaksa menulis seperti ini. Itulah sebenarnya karakter Thukul dalam menulis puisi. Jadi, tanpa harus ditulis pun namanya, jika puisinya dibaca semua orang sudah pasti tahu bahwa ini puisi Thukul. Menurut Arief Budiman sendiri sastra itu harus mengerti dengan dengan publiknya dan harus berangkat dari kenyataan sosial dan masyarakatnya. Menurut hemat saya, Thukul sudah (disadari atau tidak) menerapkan pernyataan Arief Budiman. Selain pernyataan itu, ada satu lagi kata-kata Arief Budiman yang membuat saya kagum, dikatakannya bahwa suatu dosa bila karya sastra tidak mempersoalkan masalah bangsanya, yaitu kemiskinan dan ketidakadilan.
           
Dari pernyataan Arief di atas, seharusnya para pengarang menyadari dengan kondisi bangsa dan keadaannya. Bukan berbohong dari kenyataan. Atau berbohong untuk diakui. Saya sendiri setuju sekali apa yang dinyatakan Arief tersebut. Begitu hendaknya dalam menulis karya sastra (baik itu cerpen, puisi, novel, naskah drama, dll) tak ada kemunafikan di dalamnya. Selain itu, memperhatikan bahasa juga sangat berpengaruh.
            
Bahasa bersifat universal. Tetapi, di dalam sastra sendiri harus sesuai dengan peletakannya sebagaimana mestinya. Bukan berarti saya menekankan setiap menulis karya sastra itu harus sesuai dengan struktur (S, P, O, K) bahasa. Penggunaan bahasa yang saya maksud adalah seperti kata “pun” ini, bagi saya, sedikit menjadi masalah. Tentu saja yang kerap kali mempermasalahkan hal tersebut adalah orang-orang yang “tidak mengerti” sastra sama sekali. Di mana kata (pun) tersebut digabungkan dan di mana harus dipisah. Ini sebenarnya hal yang paling dasar (bagi para pembaca atau penikmat yang sudah mengerti sastra, setidaknya yang sudah membaca karya berkali-kali), namun bagi mereka yang fakum ilmu sastra, permasalah yang dianggap enteng itu yang menjadi masalah besar. Saya sendiri setiap menghadapi orang-orang yang seperti itu, saya harus bersabar menjawab dan menerangkannya. Sebagai yang mengerti tentang penulisan (sastra) saya dituntut untuk menjelaskan kepada mereka yang tidak mengerti sama sekali tentang penulisan di dalam karya sastra. Ini pernah dipermasalahkan oleh seorang (yang ngakunya) sastrawan hebat, bahwa apa yang saya ajarkan kepada orang-orang yang fakum terhadap sastra itu adalah pekerjaan yang hanya buang-buang waktu saja. Mengapa tidak diajarkan apa itu sastra, bagaimana bentuk sastra, dan sebagainya.
            
Lalu saya jawab, pengertian sastra yang anda maksud dengan yang saya maksud itu berbeda, terutama publiknya. Anda berkata seperti itu dikarenakan publik anda adalah orang-orang yang mengerti sastra (setidaknya memahami), sedangkan saya, publik saya adalah orang-orang yang tidak sama sekali mengerti dengan sastra tetapi dia ingin mempelajari sastra. Nah, apakah hal tersebut salah? Ketika mereka mempertanyakan hal tersebut (mengenai kata “pun”) saya harus jawab itu adalah pelajaran anak SD. Tentu saja tidak mungkin, saya selaku orang yang mengerti tentang penulisan sastra, mau tidak mau harus menjelaskan supaya mereka mengerti bagaimana sastra itu sebenarnya. Jika pengertian sastra dan bentuk sastra yang dijelaskan, itu baru pelajaran anak SD. Mendikte. Intinya, permasalahan tersebut tidak akan bertemu ujungnya, sebab pangkalnya tidak menyatu. Sampai hari kiamat pun, masalah tersebut akan terus berlanjut selagi publik yang dituju itu masih berbeda (ini masalahnya berangkat dari sebuah status di fesbuk, sengaja saya catat di sini sebagai pertimbangan saja).
            
Kembali kepada puisi, dalam hal ini, saya merujuk kepada pendapat Arief Budiman yang mengatakan bawah kecenderungan sastra (kita) Indonesia adalah meneruskan kebijakan pengembangan sastra yang dilakukan oleh kolonial. Saya (lagi-lagi) sepaham dengan pendapat tersebut. Jika diamati sungguh-sungguh memang benar, sastra Indonesia itu meneruskan kebijakan-kebijakan kolonial, sehingga para pengarang sastra lupa dengan keadaan sosial yang dialaminya sendiri. Jadi jangan heran ketika sastra Indonesia dirugikan oleh kebijakan tersebut. Contoh-contoh karya sastra yang dirugikan itu saya rasa sudah banyak, terutama pada zaman penjajahan Belanda. Banyaknya karya sastra Indonesia yang dilarang edar ke tengah publik atau tidak bisa edar sama sekali sebab mengganggu kepetingan kolonial itu sendiri. Pengaruh itu tertular pada zaman orde baru (baca: OrBa). Seperti yang dikatakan oleh Arief kebijakan kolonial adalah membesarkan sastra yang menguntungkan atau paling tidak ia tidak membahayakan kepentingan kolonial. Kebijakan ini diambil oleh kolonial karena untuk menekan dan membuang karya-karya kelas bawah yang mencerminkan keadaan rakyat yang sebenarnya. Menurut Arief kecenderungan ini harus diubah.
            
Sastra kerakyatan (salah satu contoh, seperti puisi-puisi Thukul) saya rasa tidak kalah mutu dan kualitasnya dengan karya yang bersifat universal itu. Bahkan sastra kerakyatan itu lebih gampang diterima di kalangan masyarakat. Tetapi sayang, puisi-puisi Thukul “banyak” terlepas dari pengamatan sastrawan dan kritikus. Sehingga nama Wiji Thukul tidak terlalu dikenal di dunia kesusastraan, seperti W.S. Rendra, Taufik Ismail, Sutardji, Afrizal Malna, dan lain-lain. Thukul lebih dikenal sebagai seorang aktivis yang hilang pada tragedi ’98. Dari tulisan ini, saya berharap, puisi-puisi Thukul lebih dijamah lagi seperti puisi pengarang-pengarang yang lain. Semoga!

Padang, 11042014

*Penulis lahir di Haloban, Aceh-Singkil. Sekarang tinggal di Padang dan bekerja di ruang pendokumentasian Tubuh Jendela.

Post a Comment

 
Top